Saya mengikuti ibadah
natal pertama pada di tahun ini pada tanggal 11 desember. Natal di kota malang,
di hari minggu, pagi.
Seperti biasa setiap
ibadah tentunya ada elemen khotbah. Khotbah memiliki bobot yang tinggi dalam
ibadah, setidaknya itu yang diyakini tokoh reformatoris. Khobah pada hari natal
biasanya lebih spesial. Selain isinya yang seputaran kelahiran Yesus,
pembicaranya juga berasal dari luar.
Khotbah pada hari itu
dibawakan oleh dosen dan pengajar homiletika di salah satu sekolah teologi di
Malang. Jika dibandingkan dengan Ps. Gilbert L, pengikutnya di twitter tidak
seberapa, seribuan orang. Jika dia menulis status ataupun memasukkan gambar di
fb penyukanya seringkali mencapai 600-an orang, sangat banyak jika dibandingkan
dengan fb saya. Setidaknya itu menggambarkan sedikit tentangnya.
Khotbah di bawakan
dengan berlatar Matius 1:1-17. Pesan yang dibawakan adalah Allah memulihkan
umatnya. Umatnya mengalami damai, bahagia, sejahtera dari dalam dirinya.
Pemulihan yang memutus ikatan dosa yang biasa dikenal dosa individual. Allah
tidak memulihkan ekonomi, kesehatan, politik atau hal luaran lainnya.
Pertanyaannya adalah
apakah kelahiran Yesus di dunia hanya bertujuan demikian? Apakah Yesus abai
dengan dosa struktural?
Dosa
Dosa merupakan natur
dan pelanggaran terhadap hukum Allah. Pelanggaran pertama kali dilakukan oleh
adam dan Hawa (dosa asal). Mereka berdosa dan naturnya menjalar ke seluruh
manusia. Akibatnya manusia telah berdosa sekalipun masih dalam kandungan
(Mazmur 51:5). Manusia juga berdosa ketika ia berpikir, berkata dan berperilaku
tidak sesuai dengan hukum Allah (dosa aktual).
Dosa ini mengakibatkan
gambar dan rupa Allah rusak. Manusia rusak total (total depravity) secara spiritual namun ia dapat melakukan perilaku
moral yang sesuai dengan hukum Allah (kebaikan alamiah, kebaikan sipil,
kebaikan agamawi). Walaupun perilakunya baik namun tidak benar di mata Allah
(Roma 3:10). Tetapi tidak berarti apa yang baik tersebut Allah tidak kehendaki.
Umat Niniwe dituntut Allah untuk bertobat melalui seruan nabi Yunus, pertobatan
tersebut dalam artian perilaku moral karena umat Allah bersifat
partikularistik, eksklusif bagi bangsa Israel.
Dosa tersebut merusak
hubungan manusia dengan Allah, dirinya sendiri, sesama dan lingkungan.
Keterpisahan manusia dengan Allah menyatakan kematian rohani. Manusia juga
bergelut dengan dirinya tentang pemikiran, nafsu dan keinginan. Manusia menjadi
serigala bagi sesamanya, saling memangsa demi kepuasan. Lingkunganpun menerima
akibat, dengan habis dibabat.
Dosa individual (dosa
asal dan aktual) diakui dalam tradisi ajaran Injili. Dosa tersebut merambat
pada struktur sosial kehidupan yang dibentuk manusia, baik itu ekonomi, politik,
hukum, sosial, budaya. Dosa tersebut melembaga dan berbentuk sistem. Dosa itu
tidak lepas dari penilaian Allah. Kebijakan-kebijakan yang tidak adil,
mempermiskin, memperbodoh, menindas, mengintimidasi bertentangan dengan hukum
Allah.
Dalam Kitab-kitab
Perjanjian Lama, umat Allah diberi larangan membebankan bunga kepada orang
miskin. Juga hukum yang melindungi supaya orang tidak menjadi miskin, yaitu
dalam peraturan tahun Sabat dan tahun Yobel. Dalam peraturan-peraturan tersebut
sangat jelas kaitan antara norma-norma sosial dan motivasi-motivasi religius
saling mendukung untuk mentransformasi struktur sosial-ekonomi yang menindas
masyarakat. Asumsi teologisnya adalah, bahwa Allah adalah Pembebas yang telah
membebaskan umat-Nya supaya mereka juga membebaskan sesamanya. Allah menghukum
mereka yang mencatut dan memberi bunga atas pinjaman yang diberikan kepada
orang miskin (Yehezkiel 22:12). Nabi-nabi juga mencela pembagian tanah yang
tidak adil ketika penguasa-penguasa merampas tanah rakyat dan mengusir mereka
ke perbatasan (Hosea 5:10; Yesaya 5:8).
Kehadiran Yesus
Yesus hadir ke dunia
tidak hanya menyimbolkan Allah yang ingin menyelamatkan manusia berdosa. Allah
juga memberi teladan dan bersolidaritas terhadap manusia yang berdosa. Ia
pernah merasa ditinggalkan oleh Allah (Mat. 27:46). Ia pernah merasakan konflik
dengan dirinya sendiri (Mat. 26:38). Ia juga hidup menjadi dan bersama orang
yang menderita akibat tatanan masyarakat.
Dosa itu hadir melalui
satu orang tetapi berdampak sosial-struktural. Struktur yang dibentuk oleh
manusia namun juga mengkondisikan manusia. Penderitaan tidak hanya ada di dalam
ruang batin tetapi juga akibat tatanan masyarakat yang tidak adil. Yesus datang
ke dunia menghadirkan teladan. Ia menyuarakan pembebasan terhadap dosa.
Suaranya seperti pedang bermata dua, yang menusuk ke dalam pertimbangan dan
pemikiran manusia (Ibr. 4:12). Tetapi suaranya juga mengganggu tatanan
masyarakat. oleh karenanya, orang yang diuntungkan dengan tatanan tersebut
(penguasa, alim ulama dan orang kaya) seringkali berseteru dengan Yesus.
Dalam Perjanjian Lama,
tindakan Allah membebaskan umat-Nya yang tertindas merupakan tindakan melayani
(diakonein), sedangkan dalam
Perjanjian Baru, kedatangan Yesus ke dunia adalah bertujuan untuk melayani (diakonein). Jadi pelayanan adalah suatu
tindakan yang berorientasi pada tindakan Allah yang menyelamatkan, sehingga
manusia akan menentukan kehidupan yang sejati sebagai gambar Allah.
Dasar alkitabiah kita
sangat kuat untuk mendukung pembebasan terhadap orang-orang tertindas dan
sengsara, seperti orang miskin dalam ikatan struktur yang tidak adil. Hal ini
juga yang seharusnya menjadi dasar umat kekristenan meneladani praksis tersebut.
Pembebasan yang Yesus
inginkan bersifat menyeluruh (individual dan struktural) tetapi belum
sepenuhnya terlaksana. Pembebasan penuh akan terjadi di kedatangan Yesus ke dua
(Kis. 1:7). Apakah Yesus menginginkan kesejateraan ekonomi, politik, kesejahteraan
jasmani, dsb.? Ya, Dia ingin. Tugas manusia sekarang adalah menjadi saksinya sampai
ke ujung bumi (Kis. 1:8). Saksi kepada manusia yang terjerat dosa.
Lalu bagaimana dengan
tatanan masyarakat saat ini? Apakah kesaksian juga perlu sampai ke tahap itu?
tentunya perlu, jika tatanan masyarakat tersebut tidak adil, hanya untuk
kepentingan segelintir orang.
Konteks Masyarakat Kita
Indonesia mengalami
kemajuan dalam kesenjangan ekonomi. 1% orang Indonesia hampir menguasai 50%
kekayaan negara. Ketidakadilan sosial terpampang jelas di wajah kita. Keadilan
sosial yang tertera dalam Pancasila sekadar hiasan.
Banyak orang-orang
menderita akibat tatanan yang tidak adil. Ketidakadilan tersebut tidak hanya
ekonomi namun sejalan dengan politik. Orang-orang kayalah yang menguasai
demokrasi Indonesia. tidak perlu referensi dan analisa ketat untuk
mengetahuinya.
Dosa tentunya telah
mengakar secara struktural. Pemulihan ekonomi-politik pun juga Allah inginkan.
Membebaskan orang yang menderita akibat diusir dari tanahnya, direbut
hak-haknya, digusur dari rumahnya, direnggut nyawanya merupakan maksud Yesus
datang ke dunia. Entah bagaimanapun solusinya namun pengabaian terhadap hal ini
juga merupakan pengabaian pesan natal itu sendiri.