Minggu, 11 Desember 2016

Pesan Natal dari Malang



Saya mengikuti ibadah natal pertama pada di tahun ini pada tanggal 11 desember. Natal di kota malang, di hari minggu, pagi.

Seperti biasa setiap ibadah tentunya ada elemen khotbah. Khotbah memiliki bobot yang tinggi dalam ibadah, setidaknya itu yang diyakini tokoh reformatoris. Khobah pada hari natal biasanya lebih spesial. Selain isinya yang seputaran kelahiran Yesus, pembicaranya juga berasal dari luar.

Khotbah pada hari itu dibawakan oleh dosen dan pengajar homiletika di salah satu sekolah teologi di Malang. Jika dibandingkan dengan Ps. Gilbert L, pengikutnya di twitter tidak seberapa, seribuan orang. Jika dia menulis status ataupun memasukkan gambar di fb penyukanya seringkali mencapai 600-an orang, sangat banyak jika dibandingkan dengan fb saya. Setidaknya itu menggambarkan sedikit tentangnya.

Khotbah di bawakan dengan berlatar Matius 1:1-17. Pesan yang dibawakan adalah Allah memulihkan umatnya. Umatnya mengalami damai, bahagia, sejahtera dari dalam dirinya. Pemulihan yang memutus ikatan dosa yang biasa dikenal dosa individual. Allah tidak memulihkan ekonomi, kesehatan, politik atau hal luaran lainnya.

Pertanyaannya adalah apakah kelahiran Yesus di dunia hanya bertujuan demikian? Apakah Yesus abai dengan dosa struktural?
                                   
Dosa

Dosa merupakan natur dan pelanggaran terhadap hukum Allah. Pelanggaran pertama kali dilakukan oleh adam dan Hawa (dosa asal). Mereka berdosa dan naturnya menjalar ke seluruh manusia. Akibatnya manusia telah berdosa sekalipun masih dalam kandungan (Mazmur 51:5). Manusia juga berdosa ketika ia berpikir, berkata dan berperilaku tidak sesuai dengan hukum Allah (dosa aktual).

Dosa ini mengakibatkan gambar dan rupa Allah rusak. Manusia rusak total (total depravity) secara spiritual namun ia dapat melakukan perilaku moral yang sesuai dengan hukum Allah (kebaikan alamiah, kebaikan sipil, kebaikan agamawi). Walaupun perilakunya baik namun tidak benar di mata Allah (Roma 3:10). Tetapi tidak berarti apa yang baik tersebut Allah tidak kehendaki. Umat Niniwe dituntut Allah untuk bertobat melalui seruan nabi Yunus, pertobatan tersebut dalam artian perilaku moral karena umat Allah bersifat partikularistik, eksklusif bagi bangsa Israel.

Dosa tersebut merusak hubungan manusia dengan Allah, dirinya sendiri, sesama dan lingkungan. Keterpisahan manusia dengan Allah menyatakan kematian rohani. Manusia juga bergelut dengan dirinya tentang pemikiran, nafsu dan keinginan. Manusia menjadi serigala bagi sesamanya, saling memangsa demi kepuasan. Lingkunganpun menerima akibat, dengan habis dibabat.

Dosa individual (dosa asal dan aktual) diakui dalam tradisi ajaran Injili. Dosa tersebut merambat pada struktur sosial kehidupan yang dibentuk manusia, baik itu ekonomi, politik, hukum, sosial, budaya. Dosa tersebut melembaga dan berbentuk sistem. Dosa itu tidak lepas dari penilaian Allah. Kebijakan-kebijakan yang tidak adil, mempermiskin, memperbodoh, menindas, mengintimidasi bertentangan dengan hukum Allah.

Dalam Kitab-kitab Perjanjian Lama, umat Allah diberi larangan membebankan bunga kepada orang miskin. Juga hukum yang melindungi supaya orang tidak menjadi miskin, yaitu dalam peraturan tahun Sabat dan tahun Yobel. Dalam peraturan-peraturan tersebut sangat jelas kaitan antara norma-norma sosial dan motivasi-motivasi religius saling mendukung untuk mentransformasi struktur sosial-ekonomi yang menindas masyarakat. Asumsi teologisnya adalah, bahwa Allah adalah Pembebas yang telah membebaskan umat-Nya supaya mereka juga membebaskan sesamanya. Allah menghukum mereka yang mencatut dan memberi bunga atas pinjaman yang diberikan kepada orang miskin (Yehezkiel 22:12). Nabi-nabi juga mencela pembagian tanah yang tidak adil ketika penguasa-penguasa merampas tanah rakyat dan mengusir mereka ke perbatasan (Hosea 5:10; Yesaya 5:8).

Kehadiran Yesus

Yesus hadir ke dunia tidak hanya menyimbolkan Allah yang ingin menyelamatkan manusia berdosa. Allah juga memberi teladan dan bersolidaritas terhadap manusia yang berdosa. Ia pernah merasa ditinggalkan oleh Allah (Mat. 27:46). Ia pernah merasakan konflik dengan dirinya sendiri (Mat. 26:38). Ia juga hidup menjadi dan bersama orang yang menderita akibat tatanan masyarakat.

Dosa itu hadir melalui satu orang tetapi berdampak sosial-struktural. Struktur yang dibentuk oleh manusia namun juga mengkondisikan manusia. Penderitaan tidak hanya ada di dalam ruang batin tetapi juga akibat tatanan masyarakat yang tidak adil. Yesus datang ke dunia menghadirkan teladan. Ia menyuarakan pembebasan terhadap dosa. Suaranya seperti pedang bermata dua, yang menusuk ke dalam pertimbangan dan pemikiran manusia (Ibr. 4:12). Tetapi suaranya juga mengganggu tatanan masyarakat. oleh karenanya, orang yang diuntungkan dengan tatanan tersebut (penguasa, alim ulama dan orang kaya) seringkali berseteru dengan Yesus.

Dalam Perjanjian Lama, tindakan Allah membebaskan umat-Nya yang tertindas merupakan tindakan melayani (diakonein), sedangkan dalam Perjanjian Baru, kedatangan Yesus ke dunia adalah bertujuan untuk melayani (diakonein). Jadi pelayanan adalah suatu tindakan yang berorientasi pada tindakan Allah yang menyelamatkan, sehingga manusia akan menentukan kehidupan yang sejati sebagai gambar Allah.

Dasar alkitabiah kita sangat kuat untuk mendukung pembebasan terhadap orang-orang tertindas dan sengsara, seperti orang miskin dalam ikatan struktur yang tidak adil. Hal ini juga yang seharusnya menjadi dasar umat kekristenan meneladani praksis tersebut. 

Pembebasan yang Yesus inginkan bersifat menyeluruh (individual dan struktural) tetapi belum sepenuhnya terlaksana. Pembebasan penuh akan terjadi di kedatangan Yesus ke dua (Kis. 1:7). Apakah Yesus menginginkan kesejateraan ekonomi, politik, kesejahteraan jasmani, dsb.? Ya, Dia ingin. Tugas manusia sekarang adalah menjadi saksinya sampai ke ujung bumi (Kis. 1:8). Saksi kepada manusia yang terjerat dosa.

Lalu bagaimana dengan tatanan masyarakat saat ini? Apakah kesaksian juga perlu sampai ke tahap itu? tentunya perlu, jika tatanan masyarakat tersebut tidak adil, hanya untuk kepentingan segelintir orang.

Konteks Masyarakat Kita

Indonesia mengalami kemajuan dalam kesenjangan ekonomi. 1% orang Indonesia hampir menguasai 50% kekayaan negara. Ketidakadilan sosial terpampang jelas di wajah kita. Keadilan sosial yang tertera dalam Pancasila sekadar hiasan.

Banyak orang-orang menderita akibat tatanan yang tidak adil. Ketidakadilan tersebut tidak hanya ekonomi namun sejalan dengan politik. Orang-orang kayalah yang menguasai demokrasi Indonesia. tidak perlu referensi dan analisa ketat untuk mengetahuinya.

Dosa tentunya telah mengakar secara struktural. Pemulihan ekonomi-politik pun juga Allah inginkan. Membebaskan orang yang menderita akibat diusir dari tanahnya, direbut hak-haknya, digusur dari rumahnya, direnggut nyawanya merupakan maksud Yesus datang ke dunia. Entah bagaimanapun solusinya namun pengabaian terhadap hal ini juga merupakan pengabaian pesan natal itu sendiri.



Diberdayakan oleh Blogger.

Featured Post Via Labels

Instagram Photo Gallery