Kelas menengah seringkali menjadi bahan olok-olok di media
sosial. Kelas menengah “ngehe” istilah yang sering dijumpai untuk menyebut
mereka yang hidup sekadar bersaing dalam gaya. Kelas menengah yang tidak peduli
akan permasalahan sosial ataupun sekadar reaktif kemudian berlalu begitu saja. Namun
siapakah mereka kelas menengah?
Beragam definisi untuk memaknai kelas menengah, pendekatannya
mulai dari ekonomi, psikologi, sosiologi, dll. Saya sendiri akan memaknai kelas
menengah sebagai mereka yang lahir dari kampus. Kelas menengah ini memiliki
kesadaran intelektual untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.
Pramodya Ananta Toer menyebutkan bahwa anak-anak yang
memperoleh pendidikan di zamannya di sekolahkan oleh orangtua (biasanya golongan
priyayi, pedagang ataupun para tuan tanah) yang memiliki harta lebih. Mereka ini
disekolah untuk mendapatkan jabatan-jabatan di pemerintahan.
Namun, adapula mereka yang belajar kemudian mengorganisasi
diri untuk memperjuangkan kemerdekaan di tengah konteks penjajahan zaman itu. Kelas
menengah inilah yang menjadi motor kemerdekaan Indonesia. para pejuang
kemerdekaan yang kita kenal adalah mereka yang terdidik dan mahir dalam
berorganisasi. Mereka memiliki kesadaran intelektual untuk memperjuangkan
Indonesia terbebas dari penjajahan.
Setelah lewat kemerdekaan, pergerakan kelas menengah tidak
lantas hilang. Kesadaran intelektual anak-anak terdidik terbentuk untuk melawan
ketimpangan kelas, kemiskinan, ketidakadilan sosial. Lawan mereka bukan lagi
para penjajah asing yang menduduki tanah negeri.
Kelas menengah di Indonesia sendiri mempunyai dampak yang
cukup besar bagi perubahan sosial. Yang nyata kemudian ketika soeharto
diturunkan melalui perlawanan mahasiswa yang bergelora di penjuru negeri. Mereka
mempertahankan idealismenya hingga rela terancam nyawa demi yang namanya
perubahan.
Hingga akhirnya sekarangi, kelas menengah kemudian semakin
adem ayem dan tidak terlalu tampak pergerakannya bagi perubahan di tengah masyarakat.
Apakah kepekaan sosial telah luntur di kalangan kelas
menengah?
Rejendra Singh
membagi dua pergerakan sosial. Pergerakan sosial lama dan baru. pergerakan
sosial lama seperti yang dilakukan oleh para intelektual terdahulu yang
memiliki satu kepentingan. Mereka memiliki visi dan misi yang sama, misalnya
dalam melawan penjajahan ataupun rezim pemerintahan yang buruk. Sedangkan gerakan
sosial baru memiliki isu dan kepentingan yang berbeda. Mereka biasanya tergerak
setelah mengetahui isu-isu yang menyebar di media sosial dan cenderung reaktif.
Media sosial saat ini sangat mempengaruhi pergerakan kelas
menengah. media sosial biasanya mempengaruhi opini publik untuk melihat
kenyataan sosial yang terjadi. Kelas menengah mudah melihat berbagai isu yang
menjadi permasalahan di Indonesia, mulai dari kriminalitas, ketidakadilan, kemiskinan,
dsb. Tampak nyata ketika kasus Mirna yang selalu diberitakan media maka yang
menjadi perbincangan kelas menengah mengenai kasus tersebut. Begitu pula dengan
isu-isu lainnya.
Perjuangan kelas menengah menjadi terpecah, tidak hanya itu,
perjuangan hanya sebatas wacana. Perjuangan hanya sebatas hastag atau empati yang tertulis di status facebook dan twitter. Perjuangan
semakin mengerucut ketika diajak berkumpul kemudian memperbincangkan masalah
dan mengerucut lagi ketika diajak untuk melakukan pergerakan.
Di tengah hutan rimba isu yang di bentuk media sosial,
pergerakan kelas menengah semakin kehilangan arah. Bahkan idealisme tidak
jarang ditinggalkan ketika telah terjun ke dunia kerja. Kelas menengah yang
menggelembung ini harus bersaing untuk mendapatkan pekerjaan, persaingannya
dilakukan dengan cara apapun termasuk menyogok, seperti banyak kasus calon PNS
yang dimintai uang agar dapat diterima kerja.
Kesadaran intelektual yang dimiliki para pendahulu semakin
terkikis. Kesadaran kritis yang diawali dari realita sosial dan kegelisahannya
mulai ditinggalkan. Kelas menengah “ngehe” pun muncul ke permukaan. Kelas menengah
ini hanya sekadar kuliah, lulus, bekerja, menikah, punya rumah, mobil kemudian
hidup bahagia.
Fungsi sosial seorang intelektual kelas menengah tidak lagi
setajam dulu. Seorang intelektual seharusnya merasa resah melihat
ketidakadilan, manipulasi politik, dsb. Atas dasar kemanusiaan sebagai nilai
yang dijunjung tinggi maka rela berkorban untuk membebaskan dari-ikatan yang
merusak di masyarakat. Seorang intelektual sewajibnya membumi dan mau
menjalankan peran transformatif bagi perubahan sosial. Keberpihakan kepada yang
lemah dan tertindas menjadi prinsip yang dipegang teguh. Tidak hanya reaktif
namun relalah berkorban bagi kehidupan yang lebih baik.