Jumat, 07 Oktober 2016

Kelas Menengah


Kelas menengah seringkali menjadi bahan olok-olok di media sosial. Kelas menengah “ngehe” istilah yang sering dijumpai untuk menyebut mereka yang hidup sekadar bersaing dalam gaya. Kelas menengah yang tidak peduli akan permasalahan sosial ataupun sekadar reaktif kemudian berlalu begitu saja. Namun siapakah mereka kelas menengah?

Beragam definisi untuk memaknai kelas menengah, pendekatannya mulai dari ekonomi, psikologi, sosiologi, dll. Saya sendiri akan memaknai kelas menengah sebagai mereka yang lahir dari kampus. Kelas menengah ini memiliki kesadaran intelektual untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.

Pramodya Ananta Toer menyebutkan bahwa anak-anak yang memperoleh pendidikan di zamannya di sekolahkan oleh orangtua (biasanya golongan priyayi, pedagang ataupun para tuan tanah) yang memiliki harta lebih. Mereka ini disekolah untuk mendapatkan jabatan-jabatan di pemerintahan.

Namun, adapula mereka yang belajar kemudian mengorganisasi diri untuk memperjuangkan kemerdekaan di tengah konteks penjajahan zaman itu. Kelas menengah inilah yang menjadi motor kemerdekaan Indonesia. para pejuang kemerdekaan yang kita kenal adalah mereka yang terdidik dan mahir dalam berorganisasi. Mereka memiliki kesadaran intelektual untuk memperjuangkan Indonesia terbebas dari penjajahan.

Setelah lewat kemerdekaan, pergerakan kelas menengah tidak lantas hilang. Kesadaran intelektual anak-anak terdidik terbentuk untuk melawan ketimpangan kelas, kemiskinan, ketidakadilan sosial. Lawan mereka bukan lagi para penjajah asing yang menduduki tanah negeri.

Kelas menengah di Indonesia sendiri mempunyai dampak yang cukup besar bagi perubahan sosial. Yang nyata kemudian ketika soeharto diturunkan melalui perlawanan mahasiswa yang bergelora di penjuru negeri. Mereka mempertahankan idealismenya hingga rela terancam nyawa demi yang namanya perubahan.

Hingga akhirnya sekarangi, kelas menengah kemudian semakin adem ayem dan tidak terlalu tampak pergerakannya bagi perubahan di tengah masyarakat.
Apakah kepekaan sosial telah luntur di kalangan kelas menengah?

 Rejendra Singh membagi dua pergerakan sosial. Pergerakan sosial lama dan baru. pergerakan sosial lama seperti yang dilakukan oleh para intelektual terdahulu yang memiliki satu kepentingan. Mereka memiliki visi dan misi yang sama, misalnya dalam melawan penjajahan ataupun rezim pemerintahan yang buruk. Sedangkan gerakan sosial baru memiliki isu dan kepentingan yang berbeda. Mereka biasanya tergerak setelah mengetahui isu-isu yang menyebar di media sosial dan cenderung reaktif.

Media sosial saat ini sangat mempengaruhi pergerakan kelas menengah. media sosial biasanya mempengaruhi opini publik untuk melihat kenyataan sosial yang terjadi. Kelas menengah mudah melihat berbagai isu yang menjadi permasalahan di Indonesia, mulai dari kriminalitas, ketidakadilan, kemiskinan, dsb. Tampak nyata ketika kasus Mirna yang selalu diberitakan media maka yang menjadi perbincangan kelas menengah mengenai kasus tersebut. Begitu pula dengan isu-isu lainnya.

Perjuangan kelas menengah menjadi terpecah, tidak hanya itu, perjuangan hanya sebatas wacana. Perjuangan hanya sebatas hastag atau empati yang tertulis di status facebook dan twitter. Perjuangan semakin mengerucut ketika diajak berkumpul kemudian memperbincangkan masalah dan mengerucut lagi ketika diajak untuk melakukan pergerakan.

Di tengah hutan rimba isu yang di bentuk media sosial, pergerakan kelas menengah semakin kehilangan arah. Bahkan idealisme tidak jarang ditinggalkan ketika telah terjun ke dunia kerja. Kelas menengah yang menggelembung ini harus bersaing untuk mendapatkan pekerjaan, persaingannya dilakukan dengan cara apapun termasuk menyogok, seperti banyak kasus calon PNS yang dimintai uang agar dapat diterima kerja.

Kesadaran intelektual yang dimiliki para pendahulu semakin terkikis. Kesadaran kritis yang diawali dari realita sosial dan kegelisahannya mulai ditinggalkan. Kelas menengah “ngehe” pun muncul ke permukaan. Kelas menengah ini hanya sekadar kuliah, lulus, bekerja, menikah, punya rumah, mobil kemudian hidup bahagia.

Fungsi sosial seorang intelektual kelas menengah tidak lagi setajam dulu. Seorang intelektual seharusnya merasa resah melihat ketidakadilan, manipulasi politik, dsb. Atas dasar kemanusiaan sebagai nilai yang dijunjung tinggi maka rela berkorban untuk membebaskan dari-ikatan yang merusak di masyarakat. Seorang intelektual sewajibnya membumi dan mau menjalankan peran transformatif bagi perubahan sosial. Keberpihakan kepada yang lemah dan tertindas menjadi prinsip yang dipegang teguh. Tidak hanya reaktif namun relalah berkorban bagi kehidupan yang lebih baik.

  

  

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Featured Post Via Labels

Instagram Photo Gallery