Minggu, 12 Maret 2017

Buku: Enam Dekade Ketimpangan



Berdasarkan data Januari-Desember 2016 Konsorsium Pembaharuan Agraria, konflik tanah di provinsi JaTim berada di posisi kedua. Prestasi yang patut dibanggakan? Tentu tidak. Konflik tanah bukan perlombaan sepakbola. Dalam spakbola, semakin banyak TimNas memenangkan pertandingan, maka peringkat FIFA semakin naik, rakyatpun bahagia. Namun, konfik tanah tidak seperti itu. Konflik tanah tidak jarang mengakibatkan penganiayaan, kriminalisasi hingga pembunuhan. Rakyat menderita.

Buku yang “tipis” ini ditulis oleh dua orang ahli Indonesia, Gunawan Wiradi dan Dianto Bachriadi. Buku ini menganalisis sensus pertanian setiap sepuluh tahun sejak 1963. Dalam sensus tersebut memperlihatkan ketimpangan penguasaan tanah yang berdampak juga pada konflik tanah. Konflik tanah terjadi tidak hanya tahun 2016, konflik tersebut dibuahi sejak lama oleh kebijakan negara. Kebijakan yang  justru tidak berpihak kepada yang lemah.

Di tengah mekarnya konflik tanah di Indonesia, buku ini merefleksikan apakah kebijakan negara saat ini yang paling tepat demi terciptanya keadilan. Ketika tanah diprivatisasi, dianggap sebagai sarana penggandaan kapital, petani skala kecil terpinggirkan, petani menjadi tunakisma, rasio gini kepemilikan tanah membengkak, apakah ini satu-satunya solusi bagi kemajuan negeri ini?

Konflik tanah memang tidak hanya melibatkan para petani, tetapi juga masyarakat adat dan kaum miskin kota. Namun, melalui buku ini setidaknya memberikan gambaran kecil mengenai apa yang sedang terjadi di tengah fenomena konflik tanah.

Silahkan unduh di: http://arc.or.id/wp-content/uploads/2014/11/edk.pdf 


Jumat, 10 Maret 2017

Lingkungan Hidup dan Kaum Injili


Isu mengenai lingkungan hidup dalam kekristenan Injili di Indonesia belum menjadi topik yang serius untuk diperbincangkan. Apalagi aliran Injili konservatif, seperti yang diklasifikasi oleh Roger Olson, menganggap bumi ini telah ditentukan untuk hancur binasa. Kehancuran bumi akan tiba saat Injil telah diberitakan kepada semua orang. Mereka berlomba untuk memberitakan Injil dan memalingkan muka dengan berbagai persoalan lingkungan. Tidak hanya yang konservatif, survey yang dilakukan di Amerika menunjukkan bahwa kaum Injili umumnya cenderung tidak peduli dengan persoalan lingkungan. Dan saya rasa kenyataan inipun sama seperti di Indonesia.

Namun, ada secercah cahaya dengan kepedulian sejumlah tokoh Injili di Amerika untuk mengangkat isu ini sebagai perbincangan penting. Orang Injili menurut mereka memiliki kontrubusi yang besar untuk mempengaruhi kebijakan publik yang terkait dengan isu lingkungan. Sayangnya yang tersadarkan baru sebagian kecil. Akibatnya, orang Injili disana sebagian besar berpihak pada Donald Trump ketika pemilihan presiden, presiden yang tidak percaya pemanasan global.  

Contoh persoalan lingkungan di Indonesia adalah berkurangnya sumber mata air di kota Batu. Dari sekitar seratus lebih sumber mata air menyusut menjadi kurang dari 50 titik mata air. Tidak heran masyarakat di sekitaran Gemulo menolak pembangunan hotel di lingkungan sumber air tersebut. pembangunan yang dapat berdampak pada penyusutan debit air. Pembangunan yang semakin memperkecil jumlah titik mata air di kota batu.

Apa jadinya jika manusia hidup tanpa air? Sehabis makan saja kita tak terbiasa tanpa meneguk segelas air. Mandi -tidak mungkin tanpa air- juga sudah jadi ritual keseharian. Sebagian besar tubuh kitapun terdiri atas air. Manusia tanpa air tentu tidak akan bertahan hidup. Namun, manusia bisa hidup tanpa nilai lebih yang diperoleh dari pembangunan hotel.

Lingkungan hidup dan kemanusiaan tentunya berkaitan erat. Rusaknya alam maka berdampak pula pada kehidupan manusia. Allah sendiri telah berpesan agar memelihara bumi ciptaanNya. Pesan untuk mengasihi sesama dalam Injil tentu juga menjadi aneh dengan tidak pedulinya kita terhadap lingkungan hidup. Tidak perlu pandangan hirearkis dalam ciptaan Allah, yang meninggikan derajat manusia dibandindingkan ciptaan lain, dilenyapkan. Cinta terhadap alam adalah wujud cinta terhadap Allah dan sesama manusia.

mengharapkan bergesernya isu kepada persoalan lingkungan dalam dunia Injili mungkin juga akan membutuhkan waktu. Contohnya saja ketika interpretasi dan inspirasi berteologi Asia dan negara belahan dunia ketiga lainnya mulai sadar untuk mandiri, kaum Injili sendiri masih memuja superioritas Barat. Ini terlihat dari kurangnya suara-suara dari Asia yang terlibat dalam konferensi Injili sedunia pada awal abad ke-20. kemudian dapat terlihat juga dari keterlibatnya Injili dalam isu kemanusiaan. Keterlibatan tersebut dapat dikatakan telat. Ketika dunia telah terdampak oleh berbagai bencana kemanusiaan, perang merajalela, kesenjangan sosial, fasisme menggelora, kaum Injili yang baru menunjukkan sikap kepeduliannya di konferensi Lausanne pada 1974. Kali ini isu bergeser lagi ke persoalan mengenai kerusakan lingkungan, harapan untuk kaum Injili terlibat saat ini ibarat pertanyaan Filipus kepada Natanael ketika ia mengatakan telah menemukan mesias: “Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazareth?”   


Diberdayakan oleh Blogger.

Featured Post Via Labels

Instagram Photo Gallery