Rabu, 23 Agustus 2017

Urgensi Misi Kristen bagi Keadilan Ekologis



Pembangunan yang dijalankan pada rezim pemerintahan tidak hanya meraup anggaran belanja negara yang besar, namun seringkali mengorbankan perampasan tanah rakyat secara paksa. Tanah rakyat seringkali dihargai dengan murah kepada negara atau perusahaan. Berbagai konflikpun semakin tahun semakin meningkat berdasarkan pantauan Konsorsium Pembaruan Agraria tahun lalu. Fenomena itu terlihat dari perlawanan petani menghadapi “kerakusan tanah” pemilik modal yang didukung oleh aparat. Tidak jarang para pejuang yang mempertahankan tanah dikriminalisasi dan difitnah. Sebutan anti pembangunan hingga komunis ditujukan kepada mereka. Contohnya adalah pendeta Sugianto dan guru ngaji Rajiman di Tulung Bawang, begitu juga yang terbaru, Joko Prianto di Rembang.

Agama kristen perlu berefleksi dalam melaksanakan praksis misi di tengah konteks saat ini. Kekristenan seharusnya tidak boleh diam ditengah ketidakadilan. Peran serta agama kristen pula harus menyentuh pada keadilan agraria melalui penataan ulang kepemilikan dan pengelolaan atas tanah.


Tanah, Ibu kita.

Allah menciptakan bumi bukan untuk dimiliki segelintir orang. Bumi diciptakan Allah demi kesejahteraan seluruh makhluk. Lynn White pernah menuliskan dalam artikel pendeknya, The Historical Roots of Our Ecological Crisis, bahwa akar masalah kerusakan bumi itu adalah agama kristen. Kekristenan menjadi dasar untuk melegitimasi eksploitasi atas alam secara massif. Hal tersebut didasarkan pada Kejadian 1:28 dan sifat antroposentris dalam pengajarannya. Namun, dalam kitab yang sama pula sebenarnya diajarkan manusia untuk mengelola/steward (Kejadian 2; Mazmur 24:1).

Pada zaman dulu Allah memberikan tanah kepada bangsa Israel untuk dimiliki secara komunal dan bukan barang pribadi yang diperdagangkan. Inilah yang menyebabkan Nabot tidak mau menjual tanahnya kepada Raja Ahab (1 Raja-Raja 21). Masyarakat dahulu pula menggunakan tanah dan hasil produksinya digilir secara periodik (Avila, 1983:6).

Tanah pula tidak sekadar dihuni oleh orang yang masih hidup, namun juga roh dan jasad orang yang sudah mati (Kejadian 49:29-32; Bilangan 26:52-55). Dari tanah pula manusia diciptakan sehingga ia tidak hanya bernilai ekonomis, tetapi memiliki makna spiritual, kultural dan sosial. Tanah sudah selayaknya disebut sebagai ibu pertiwi.

Status tanah yang berubah

Seiring dengan berjalannya waktu, perubahan status tanah terjadi. Hal ini diakibatkan penjajahan dan pendudukuan. Peraih nobel perdamaian pernah berkata:

“ketika orang Eropa datang ke Afrika mereka punya Alkitab dan kami punya tanah. Mereka mengajak kami berdoa. Selesai berdoa kami punya Alkitab dan orang Eropa punya tanah kami.”

Ketika terjadi kolonialisasi satu negara ke negara lain, maka terjadi perubahan status tanah. Status tanah berganti ke tangan penjajah. Hal lain yang mempengeruhi adalah penjualan tanah. Tanah telah dikomodifikasi. Begitu juga akibat industrialisasi dan pembangunan pemukiman dan infrastruktur. Tanah ciptaan Tuhan telah dikomodifikasi dan dieksploitasi tidak lagi dipelihara untuk sumber hidup dan kepentingan bersama.

Di Indonesia sendiri hukum nasional saat ini bukan berpihak kepada para petani namun melindungi mereka yang berinvestasi. Hal ini berawal dari kedatangan penjajahan Belanda yang sedikit demi sedikit mengubah hak milik atas tanah agar dimiliki beberapa pejabat atau warga Belanda yang bermukim di Indonesia. Melaluinya pemerintah membentuk UU Agrarisch Besluit yang diundangkan dalam Staatblad No. 118, 1870. Pada era tersebutlah modal swasta Eropa berduyun-duyun datang mencengkram Indonesia. disaat yang sama muncul berbagai perkebunan swasta yang besar di Jawa dan Sumatra dengan segala akibatnya.

Dalam era kemerdekaan, terdapat landasan agraria yakni salah satu pasal dalam UUD 45 pasal 33 tentang falsafah tata kelola sumberdaya alam: bumi dan air beserta kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Seabad setelah Agrarisch Wet ditetapkan, pada 1960, pemerintah mengeluarkan undang-undang baru yang pertama mengatur tentang agraria, yang dikenal dengan UUPA no 5 tahun 1960.

Di era Soeharto, rezim Orde Baru, melupakan UUPA 1960, kementrian agraria dihapuskan, kemudian menandatangani undang pokok tentang kehutanan nomor 5 tahun 1967, undang-undang yang tidang mengakar pada semangat UUPA no 5 tahun 1960. Undang-undang kehutanan tersebut memfasilitasi investasi lokal dan asing di wilayah hutan.

Wajah pembangunan justru mewariskan wajah kolonial. Kebijakan-kebijakan diperuntukkan “empire” bukan petani. Semboyan buruh dan petani sebagai soko guru revolusi maupun pembangunan telah disalahartikan. Buruh dan petani menjadi korban di era pembangunan dan hanya menerima “tetesan” pembangunan. Era orde baru yang menggiring kemajuan ekonomi juga bergandengan dengan perampasan tanah (land grabbing) di berbagai tempat di Indonesia. PT Freeport mendapatkan konsesi di Papua, PT Inco di Sulawesi Selatan dan PT BNIL di Sumatra. Rakyat seringkali hanya menjadi korban hukum pembangunan, kekayaan alam diperah oleh pendatang.  

Peran kekristenan

Peran agama dalam kepemilikan tanah seringkali mendua. Seperti yang dikatakan Desmond Tutu diatas pula telah terjadi di zaman Mesir kuno. Ketidakadilan yang dilakukan para imam mengakibatkan pemberontakan oleh para petani dan budak (Epsztein, 1983:27). Kehidupan para imam yang mendapat tunjangan dari Firaun  hanyalah alat untuk melegitimasi berbagai kebijakan negara. Para imam mendoakan Firaun namun tidak mendengar jeritan petani dan para budak. Konteks demikianlah yang memunculkan seorang pembebas budak, Musa.

Tahun Yobel sendiri mengajarkan umat Israel untuk menggilir tanah untuk digarap. Tanah yang digadaikan dikembalikan pada penggarap semula atau keluarganya (Imamat 25). Hal ini juga tidak asing di Mesopotamia yang tertulis di hukum Hamurabi. Jika sedikit melirik di saat ini, bagaimana dengan Freeport?


Melihat hali ini, peran agama melalui teologi lingkungan tidak ada artinya tanpa teologi keadilan agraria dengan penataan ulang kepemilikan dan pengelolaan tanah. Manusia yang merampas tanah orang lain sebenarnya tidak hanya merampok sesamanya, tetapi juga merampok milik Allah. keadilan ekologi dan ekonomi seharusnya menjadi fokus misi kristen saat ini (Luk. 4:18-20; Mat. 25:31-46; 2 Pet. 3:1-16; Why. 21) karena manusia adalah pengelola bumi ini, bukan pemilik apalagi merusak.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Featured Post Via Labels

Instagram Photo Gallery