Tanah di zaman Perjanjian Lama merupakan simbol dari berkat, tanah pula dapat merupakan simbol kekayaan, tanah adalah tempat dan sumber orang untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari namun tanah pula salah satu sumber konflik hingga terjadi pertumpahan darah. Tanah merupakan aspek yang penting dalam kehidupan manusia, namun demi tanah pula manusia mengorbankan sesamanya.
Konflik
mengenai tanah adalah bagian dari konflik agraria. Menurut
Gunawan Wiradi, konflik agraria
sebagai suatu gejala sosial merupakan proses interaksi antara dua orang atau
kelompok atau lebih yang masing-masing memperjuangkan kepentingan antar objek
yang sama, seperti air, tanaman, udara, tambang di tanah yang bersangkutan.[1]
Dalam konflik ini biasanya yang ikut terlibat dalam konflik yakni pemerintah,
pengusaha dan rakyat. Konflik agraria jika tidak terkontrol bisa berakibat pada
fatal seperti pembunuhan Salim Kancil, petani di Lumajang, Jawa Timur.
Menurut catatan akhir tahun
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), 1.085.817 kepala keluarga menjadi korban
konflik agraria (2004-2015), dengan luasan 6.942.381 hektar.[2] Akibat konflik
tanah tersebut dalam catatan tahun 2015 ratusan orang ditahan aparat, puluhan
orang ditembak, seratusan orang terluka dan 5 orang direnggut nyawa. Konflik ini
setiap tahunnya justru memperlihatkan peningkatan.
Ketika menjabat
sebagai wakil ketua KPK pada tahun 2015, Bambang Widjojanto mengatakan kejahatan
korupsi di sektor agraria berada di tiga besar kasus korupsi di Indonesia.[3]
Akibatnya terjadi ketidakadilan terjadi bagi rakyat. Telah terjadi
ketimpangan pada struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah.[4]
Diantro Bachriadi dari Komnas HAM mengatakan bawa jaman Jokowi-JK “lebih ganas”
bahkan jika dibandingkan dengan rezim orde baru mengenai kasus agrarian. Hal
ini terjadi karena Jokowi-JK dianggap tidak peduli dengan konflik dan
ketidakadilan yang telah terjadi.
Usia
undang-undang pokok agrarian sudah lebih dari 50 tahun (sejak 1960), namun
sejak itu pula konflik agrarian tak kunjung redam. Konflik terus terjadi antara
rakyat dan pihak penguasa juga pengusaha hingga aparat negara. Rakyat, terutama
petani yang menjadi akar rumput yang tidak punya kuasa dan juga tidak terlibat
dalam sistem pemerintahan, tentunya akan menjadi korban demi kepentingan
tertentu dari pihak yang kuat.
Akar Masalah
Keinginan untuk
saling menguasai adalah sifat yang khas dari spesies manusia terlihat di
sepanjang sejarah. Itupun yang terjadi dengan penguasaan sebagian orang
terhadap tanah. beberapa poin akan penulis paparkan mengenai akar pertikaian
terkait dengan kepemilikan tanah.
Setelah fenomena
krisis pada tahun 2008 mereda,
terjadi fenomena lain yang mengglobal yakni perampasan tanah secara luar biasa
(massive land grabbling).Perampasan
tanah ini akibat tanah yang dianggap kosong (lahan tidur) berpindah tangan
utnuk dikembangkan berbagai keperluan dalam skala besar. Pelaku dibalik
fenomena ini biasanya adalah perusahaan besar bahkan pemerintah, namun, tanah
yang seringkali kosong tersebut merupakan tanah adat atau rakyat setempat yang
telah turun temurun tinggal, tetapi hak mereka tidak dihargai.
Akibat dari
krisis global 2008 adalah naiknya harga pangan dunia. Akibat dari kenaikan ini
tentunya memproduksi bahan pangan secara mandiri adalah jalan keluar bagi
negara-negara yang terbiasa mengimpor bahan pangan dari negara lain. Namun
perbedaan iklim adalah permasalahan baru bagi negara yang ingin melakukan
produksi bahan pangan yang ada di negara berbeda iklim. Contohnya adalah
negara-negara yang memiliki 4 musim tentunya tidak dapat menghasilkan bahan pangan
dari negara di iklim tropis. Sehingga perampasan tanah dari negara-negara
beriklim tropis adalah jalan keluar dari permasalahan ini.
Selain dari itu
perubahan iklim global yang terjadi saat ini juga menjadi akar terjadinya perampasan
tanah secara global. Akibat perubahan iklim maka negara Uni Eropa mengambil
kebijakan baru dalam pemakaian bahan bakar transportasi, emisi gas rumah kaca
di Eropa, dsb dengan menetapkan Pedoman Energi Terbarukan pada tahun 2009.
Akibat dari kebijakan ini, bahan bakar dari sumber biomassa menjadi pilihan
dari energi yang terbarukan.
Asia Tenggara
terutama Indonesia adalah sasaran empuk dengan banyaknya lahan yang tersedia untuk
dijadikan lahan produksi energi biofeul. Inggris dan Amerika menjadi pemodal yang
mengambil peranan bagi berjalannya industri energi yang terbarukan ini.[5]
Industri ini berjalan dengan membuka lahan-lahan bagi perkebunan yang berada di
desa. Industri-industri ini memang bertujuan bagi menata perubahan iklim yang
berdampak secara global, namun membutuhkan pengorbanan yang lain, yakni
kerusakan lingkungan dampaknya juga perubahan fungsi tanah di bumi bagian Selatan.
Meskipun hal ini
untuk mengontrol iklim yang terjadi di Eropa namun berdampak pada perluasan
tanah dan pembukaan tanah berskala besar di Selatan yang juga meningkatnya
pertikaian tanah akibat penggusuran dan pengusiran masyarakat di desa.
Disamping itu
semua, sistem neoliberalisme menjadi katalisator permasalahan yang terjadi.
Sistem neoliberalisme ini mengambil keuntungan dari sifat manusia sebagai homo oecominucus. Penguasa modal
mengambil keuntungan dari sifat konsumtif manusia. Keuntungan tidaklah salah,
namun jika keuntungan menjadi tujuan utama, maka relasi-relasi yang lain akan
dikesampingkan demi tujuan yang dicapai.[6]
Keuntungan akan dicapai dengan mengorbankan manusia, ekologi hingga biosfer.
Sebenarnya
kemerdekaan yang terjadi di Indonesia dan beberapa negara jajahan di Asia dan
Afrika, kecuali negara yang dikuasai kaum Marxis, tidaklah menyebabkan
kemerdekaan secara ekonomi, karena sistem ekonomi tetap menguntungkan
negara-negara kolonialis.[7]
Negara-negara tetap dijajah dengan diambilnya tanah oleh perusahaan-perusahaan
asing untuk dijadikan sumber produksi yang menguntungkan secara ekonomi
negara-negara “kolonial”. Investasi asing ini memang menguntungkan dan telah
menghasilkan pertumbuhan seperti yang terjadi di Malaysia dan Singapura, tetapi
menciptakan ketergantungan pada perusahaan-perusahaan asing.[8]
Sistem
neoliberalisme itu terwujud dalam lembaga-lembaga tertentu seperti IMF (International Monetary Fund), akibat
dengan bergabungnya negara-negara kaya akan minyak dengan negara-negara lain
dalam kekuasaan modal, maka negara-negara miskin hanya akan menikmati secuil
keuntungan dari kekayaan yang diperoleh.[9]
Demikian juga yang akan terjadi melalui kekuatan ekonomi yang baru, yakni Cina.
Cina dan beberapa negara pendukung, yang salah satunya adalah Indonesia, telah
membentuk Asian Infrastructure and
Investment Bank (AIIB). Lembaga tersebut memang bertujuan untuk meminjamkan
uang kepada negara miskin dan negara-negara yang sedang membangun[10],
tetapi tujuan tersebut tidak murni tanpa imbalan namun ada kepentingan bagi
deregulasi domestikterkait dengan hak-hak kepemilikan tanah dan melapangkan
jalan investasi terkait dengan kepemilikan dan urusan sewa-menyewa properti
(tanah) di luar teritori negara.[11]
Selain
perampasan tanah dari luar, juga terdapat perampasan tanah dari dalam (Internal Land Grabbling), yang memainkan
aktor dalam peranan ini adaalah negara. Dengan alasan pembangunan, negara
menggusur rakyat dari tanah yang telah didiami turun temurun.[12] Sebagai
contoh yang terbaru adalah proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang disponsori
oleh Cina. Proyek ini menyingkirkan rakyat yang ada di tanah proyek pembangunan
rel kereta dan stasiun kereta, begitu pula mereka yang dekat dengan stasiun
kereta akan rentan untuk pembebasan lahan demi bisnis waralaba (tentunya
seperti apartemen bagi kalangan menengah dan juga toko-toko seperti alfamart,
indomart).[13]
Demikian pula proyek reklamasi teluk jakarta dan juga di Bali yang sudah
diwacanakan, proyek yang akan menyingkirkan nelayan dan merusak tatanan
ekosistem pantai[14]
yang justru kembali akan menguntungkan kalangan menengah ke atas dengan bisnis
properti baru di sekitarnya. Dengan dampak yang diakibatkan, wacana ini telah
banyak ditolak oleh aktivis-aktivis lingkungan.
Dengan berbagai
proyek berkedok pembangunan, pinjaman negara kepada luar negeripun semakin
bertambah. Hal ini dapat dilihat dalam catatan BAPPENAS yang bisa dibaca
langsung di website resminya. Namun konsep pembangunan seperti ini masih belum
berdampak bagi kesejahteraan dan keadilan sosial rakyat Indonesia. Konsep
pembangunan ini layaknya tidak berbeda jauh dengan pembangunan orde baru yang
menggunakan logika ekonomi efek tetesan kebawah (trickle down effect), pembangunan ini justru melebarkan jurang
kesenjangan sosial antara yang kaya dan miskin.[15]
Dampak
Pertikaian
Dengan melihat
akar pertikaian yang terkait hingga ke dalam sistem pemerintahan, tentu di
antara para pelaku pertikaian, yakni rakyat, pengusaha dan penguasa, yang
paling dirugikan dan menerima ketidakadilan adalah rakyat kecil. Rakyat kecil
adalah mereka yang tidak memiliki akses dalam sistem pemerintahan seperti para
penguasa dan juga tidak mempunyai modal yang besar layaknya pengusaha, mereka
juga tidak ditunjang pengetahuan akan hukum sehingga sering diperalat oleh
mereka yang berkepentingan neoliberalis (keuntungan sebagai tolak ukur yang
terutama dari segala sesuatu).
Seiring dengan
meningkatnya perampasan dan penggusuran tidak teriring pula dengan terciptanya
lapangan kerja atau pembangunan di desa-desa yang terjadi konflik. Bank Dunia
melaporkan bahwa perluasan lahan oleh para pemilik modal justru tidak mempunyai
dampak yang diharapkan, justru memperburuk keadaan yang sebelumnya. Berbagai
laporan menunjukkan bahwa kepentingan dari perampasan tanah yang terjadi di
negara-negara Selatan adalah kepentingan ekonomi, bukan demi kemajuan daerah
ataupun kepedulian terhadap iklim.
Dengan konflik
yang terjadi dan berbagai kepentingan yang terlibat, maka banyak rakyat kecil
justru yang kehilangan tanah yang telah
mereka diami turun-temurun. Dengan kehilangan tanah, maka kehilangan juga lahan
bagi mereka menghidupi kehidupan sehari-hari. Perlawanan yang dilakukan rakyat
kecil justru mengakibatkan hukuman, siksaan hingga nyawa yang jadi taruhan.
Jikalaupun mereka dilibatkan dalam industri yang dikuasai pemilik modal,
tentunya mereka akan menjadi buruh murah, namun tetap terlepas dari akses tanah
dan alam mereka.
Akibat dari
konflik ini maka rakyat kecil hanya berpangku tangan pada tenaga sendiri,
sementara untuk berkompetisi di daerah industrialisasi perkotaan mereka tidak
punya keterampilan dan pengetahuan. Akibat dari ketidakadilan kepada rakyat
kecil yang dipengaruhi sistem ini mengakibatkan juga kepada kemiskinan. Hal ini juga disadari Muslim Kasim mengenai karakteristik
kemiskinan di Indonesia, bahwa kemiskinan disebabkan oleh ketidakadilan
struktural dalam mengalokasikan dana dan sumber daya secara adil kepada
masyarakat.[16]
Kemiskinan seperti ini disebutkan oleh Paul Spicker sebagai Structural explanations, faktor ini
menganggap bahwa kemiskinan timbul akibat dari ketidakseimbangan, perbedaan
status yang dibuat oleh adat istiadat, kebijakan, dan aturan lain menimbulkan
perbedaan hak untuk bekerja, sekolah dan lainnya hingga menimbulkan kemiskinan
di antara mereka yang statusnya rendah dan haknya terbatas.[17]
Kemiskinan yang disebabkan oleh dampak kebijakan pemerintah, atau kebijakan
yang tidak berpihak pada kaum miskin juga masuk ke dalam faktor ini, sehingga
kemiskinan yang timbul itu sering disebut dengan kemiskinan struktural.
Kesimpulan
Tanah merupakan
bagian yang tak terpisahkan bagi kelangsungan seluruh makhluk hidup di bumi. Tanah
adalah tempat di mana pula manusia dapat memperoleh sumber sandang, pangan dan
papan. Tanah adalah anugrah dari Tuhan yang diberikan bagi manusia. Namun
adapula manusia yang demi keuntungan rela mengorbankan manusia lain demi
memperoleh hak atas tanah. pertikaian tanahpun tak terhindarkan. Dimulai dari
krisis global yang mempengaruhi harga pangan dunia hingga sistem neoliberalisme
yang menjadi motor penggerak berjalannya tatanan dunia mengakibatkan pertikaian
mengenai tanahpun semakin melonjak secara presentase.
Pertikaian ini
tidaklah terjadi secara seimbang karena rakyat terus menjadi korban. Rakyat tergusur dari tanah yang telah mereka diami turun-temurun. Mereka
seringkali pula dimanipulasi akibat keterbatasan akan pengetahuan mengenai
hukum. Jikalaupun mereka melawan maka nyawa yang menjadi taruhan. Akibatnya
rakyat terlepas dari akses mereka kepada tanah dan alam. Mereka hanya dapat
berpangku tangan kemudian kemiskinan menjadi sahabat hingga turun temurun. Hal
ini mengakibatkan kesenjangan sosial yang menganga semakin lebar antara yang
kaya dan yang miskin di Indonesia. Kemiskinan yang terjadi secara struktural.
Isu ini haruslah
juga menyentuh kedalam kegelisahan berteologi gereja. Isu ini mengenai tanah
tetapi juga berkaitan langsung dengan manusia. Tanah yang telah dijadikan lahan
produksi oleh para penguasa dan pengusaha tak jarang pula mengorbankan
lingkungan dan juga sesama demi pencapaian keuntungan yang sebesar-besarnya. Calvin menuliskan bahwa alam ini adalah teater kemuliaan
Allah jika alam ini dipakai hanya untuk keserakahan, kebodohan dan agresi yang
dilakukan oleh manusia tentunya Allahpun tidak menghendaki itu.
[1]Gunawan Wiradi, Seluk-Beluk Masalah Agraria dan Penelitian
Agraria (Jakarta: Sijogyo Institut, 2009)
[2]Laporan akhir tahun
KPA tahun 2015 dapat diunduh dari http://www.kpa.or.id/news/publikasi/
[3]https://m.tempo.co/read/news/2015/01/09/058633840/kpk-angka-kejahatan-korupsi-agraria-tinggi
[4]Ibid.
[5]Lih. http://bisnis.liputan6.com/read/2353156/akhirnya-indonesia-dan-malaysia-akur-dalam-bisnis-minyak-sawit.
[6] Tissa Balasuriya, Teologi Siarah (Jakarta: Gunung Mulia, 1994), hal. 36.
[6] Tissa Balasuriya, Teologi Siarah (Jakarta: Gunung Mulia, 1994), hal. 36.
[7]Tissa Balasuriya, ibid.
[8]Tissa Balasuriya, ibid. Hal. 38.
[9]Ibid.
Hal.
37.
[10]Iwan Jaya Azis, Pembangunan Berkelanjutan (Jakarta:
Gramedia, 2010), hal. 166.
[11]Bnd. Fahmy Radhi, Kebijakan Ekonomi Pro Rakyat (Jakarta:
Penerbit Republika, 2008), hal. xi.
[12]Bnd. Budi Susanto, Sisi Senyap Politik Bising (Yogyakarta:
Kanisius, 20070, hal. 116.
[13]Bnd. Arcom.co.id/2016/02/ada-hak-penguasaan-tanah-dalam-proyek-kereta-api-cepat/.
[14]Bnd. Print.kompas.com/baca/2015/11/11/dilema-reklamasi-pantai-jakarta.
[16]Muslim Kasim, Karakteristik Kemiskinan di Indonesia dan
Strategi Penanggulangannya (Jakarta: Indomedia Global, 2006), hlm. 58.
[17]Paul Spicker, Poverty and the Welfare State : Dispelling
the Myths (London: Catalyst, 2002), hlm. 78.