Selasa, 31 Mei 2016

Konflik Tanah


Tanah di zaman Perjanjian Lama merupakan simbol dari berkat, tanah pula dapat merupakan simbol kekayaan, tanah adalah tempat dan sumber orang untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari namun tanah pula salah satu sumber konflik hingga terjadi pertumpahan darah. Tanah merupakan aspek yang penting dalam kehidupan manusia, namun demi tanah pula manusia mengorbankan sesamanya.
Konflik mengenai tanah adalah bagian dari konflik agraria. Menurut Gunawan Wiradi, konflik agraria sebagai suatu gejala sosial merupakan proses interaksi antara dua orang atau kelompok atau lebih yang masing-masing memperjuangkan kepentingan antar objek yang sama, seperti air, tanaman, udara, tambang di tanah yang bersangkutan.[1] Dalam konflik ini biasanya yang ikut terlibat dalam konflik yakni pemerintah, pengusaha dan rakyat. Konflik agraria jika tidak terkontrol bisa berakibat pada fatal seperti pembunuhan Salim Kancil, petani di Lumajang, Jawa Timur.
 Menurut catatan akhir tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), 1.085.817 kepala keluarga menjadi korban konflik agraria (2004-2015), dengan luasan 6.942.381 hektar.[2] Akibat konflik tanah tersebut dalam catatan tahun 2015 ratusan orang ditahan aparat, puluhan orang ditembak, seratusan orang terluka dan 5 orang direnggut nyawa. Konflik ini setiap tahunnya justru memperlihatkan peningkatan.
Ketika menjabat sebagai wakil ketua KPK pada tahun 2015, Bambang Widjojanto mengatakan kejahatan korupsi di sektor agraria berada di tiga besar kasus korupsi di Indonesia.[3] Akibatnya terjadi ketidakadilan terjadi bagi rakyat. Telah terjadi ketimpangan pada struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.[4] Diantro Bachriadi dari Komnas HAM mengatakan bawa jaman Jokowi-JK “lebih ganas” bahkan jika dibandingkan dengan rezim orde baru mengenai kasus agrarian. Hal ini terjadi karena Jokowi-JK dianggap tidak peduli dengan konflik dan ketidakadilan yang telah terjadi.
Usia undang-undang pokok agrarian sudah lebih dari 50 tahun (sejak 1960), namun sejak itu pula konflik agrarian tak kunjung redam. Konflik terus terjadi antara rakyat dan pihak penguasa juga pengusaha hingga aparat negara. Rakyat, terutama petani yang menjadi akar rumput yang tidak punya kuasa dan juga tidak terlibat dalam sistem pemerintahan, tentunya akan menjadi korban demi kepentingan tertentu dari pihak yang kuat.
  
Akar Masalah
Keinginan untuk saling menguasai adalah sifat yang khas dari spesies manusia terlihat di sepanjang sejarah. Itupun yang terjadi dengan penguasaan sebagian orang terhadap tanah. beberapa poin akan penulis paparkan mengenai akar pertikaian terkait dengan kepemilikan tanah.
Setelah fenomena krisis pada tahun 2008 mereda, terjadi fenomena lain yang mengglobal yakni perampasan tanah secara luar biasa (massive land grabbling).Perampasan tanah ini akibat tanah yang dianggap kosong (lahan tidur) berpindah tangan utnuk dikembangkan berbagai keperluan dalam skala besar. Pelaku dibalik fenomena ini biasanya adalah perusahaan besar bahkan pemerintah, namun, tanah yang seringkali kosong tersebut merupakan tanah adat atau rakyat setempat yang telah turun temurun tinggal, tetapi hak mereka tidak dihargai.
Akibat dari krisis global 2008 adalah naiknya harga pangan dunia. Akibat dari kenaikan ini tentunya memproduksi bahan pangan secara mandiri adalah jalan keluar bagi negara-negara yang terbiasa mengimpor bahan pangan dari negara lain. Namun perbedaan iklim adalah permasalahan baru bagi negara yang ingin melakukan produksi bahan pangan yang ada di negara berbeda iklim. Contohnya adalah negara-negara yang memiliki 4 musim tentunya tidak dapat menghasilkan bahan pangan dari negara di iklim tropis. Sehingga perampasan tanah dari negara-negara beriklim tropis adalah jalan keluar dari permasalahan ini.
Selain dari itu perubahan iklim global yang terjadi saat ini juga menjadi akar terjadinya perampasan tanah secara global. Akibat perubahan iklim maka negara Uni Eropa mengambil kebijakan baru dalam pemakaian bahan bakar transportasi, emisi gas rumah kaca di Eropa, dsb dengan menetapkan Pedoman Energi Terbarukan pada tahun 2009. Akibat dari kebijakan ini, bahan bakar dari sumber biomassa menjadi pilihan dari energi yang terbarukan.
Asia Tenggara terutama Indonesia adalah sasaran empuk dengan banyaknya lahan yang tersedia untuk dijadikan lahan produksi energi biofeul. Inggris dan Amerika menjadi pemodal yang mengambil peranan bagi berjalannya industri energi yang terbarukan ini.[5] Industri ini berjalan dengan membuka lahan-lahan bagi perkebunan yang berada di desa. Industri-industri ini memang bertujuan bagi menata perubahan iklim yang berdampak secara global, namun membutuhkan pengorbanan yang lain, yakni kerusakan lingkungan dampaknya juga perubahan fungsi tanah di bumi bagian Selatan.
Meskipun hal ini untuk mengontrol iklim yang terjadi di Eropa namun berdampak pada perluasan tanah dan pembukaan tanah berskala besar di Selatan yang juga meningkatnya pertikaian tanah akibat penggusuran dan pengusiran masyarakat di desa.
Disamping itu semua, sistem neoliberalisme menjadi katalisator permasalahan yang terjadi. Sistem neoliberalisme ini mengambil keuntungan dari sifat manusia sebagai homo oecominucus. Penguasa modal mengambil keuntungan dari sifat konsumtif manusia. Keuntungan tidaklah salah, namun jika keuntungan menjadi tujuan utama, maka relasi-relasi yang lain akan dikesampingkan demi tujuan yang dicapai.[6] Keuntungan akan dicapai dengan mengorbankan manusia, ekologi hingga biosfer.
Sebenarnya kemerdekaan yang terjadi di Indonesia dan beberapa negara jajahan di Asia dan Afrika, kecuali negara yang dikuasai kaum Marxis, tidaklah menyebabkan kemerdekaan secara ekonomi, karena sistem ekonomi tetap menguntungkan negara-negara kolonialis.[7] Negara-negara tetap dijajah dengan diambilnya tanah oleh perusahaan-perusahaan asing untuk dijadikan sumber produksi yang menguntungkan secara ekonomi negara-negara “kolonial”. Investasi asing ini memang menguntungkan dan telah menghasilkan pertumbuhan seperti yang terjadi di Malaysia dan Singapura, tetapi menciptakan ketergantungan pada perusahaan-perusahaan asing.[8]
Sistem neoliberalisme itu terwujud dalam lembaga-lembaga tertentu seperti IMF (International Monetary Fund), akibat dengan bergabungnya negara-negara kaya akan minyak dengan negara-negara lain dalam kekuasaan modal, maka negara-negara miskin hanya akan menikmati secuil keuntungan dari kekayaan yang diperoleh.[9] Demikian juga yang akan terjadi melalui kekuatan ekonomi yang baru, yakni Cina. Cina dan beberapa negara pendukung, yang salah satunya adalah Indonesia, telah membentuk Asian Infrastructure and Investment Bank (AIIB). Lembaga tersebut memang bertujuan untuk meminjamkan uang kepada negara miskin dan negara-negara yang sedang membangun[10], tetapi tujuan tersebut tidak murni tanpa imbalan namun ada kepentingan bagi deregulasi domestikterkait dengan hak-hak kepemilikan tanah dan melapangkan jalan investasi terkait dengan kepemilikan dan urusan sewa-menyewa properti (tanah) di luar teritori negara.[11]
Selain perampasan tanah dari luar, juga terdapat perampasan tanah dari dalam (Internal Land Grabbling), yang memainkan aktor dalam peranan ini adaalah negara. Dengan alasan pembangunan, negara menggusur rakyat dari tanah yang telah didiami turun temurun.[12] Sebagai contoh yang terbaru adalah proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang disponsori oleh Cina. Proyek ini menyingkirkan rakyat yang ada di tanah proyek pembangunan rel kereta dan stasiun kereta, begitu pula mereka yang dekat dengan stasiun kereta akan rentan untuk pembebasan lahan demi bisnis waralaba (tentunya seperti apartemen bagi kalangan menengah dan juga toko-toko seperti alfamart, indomart).[13] Demikian pula proyek reklamasi teluk jakarta dan juga di Bali yang sudah diwacanakan, proyek yang akan menyingkirkan nelayan dan merusak tatanan ekosistem pantai[14] yang justru kembali akan menguntungkan kalangan menengah ke atas dengan bisnis properti baru di sekitarnya. Dengan dampak yang diakibatkan, wacana ini telah banyak ditolak oleh aktivis-aktivis lingkungan.
Dengan berbagai proyek berkedok pembangunan, pinjaman negara kepada luar negeripun semakin bertambah. Hal ini dapat dilihat dalam catatan BAPPENAS yang bisa dibaca langsung di website resminya. Namun konsep pembangunan seperti ini masih belum berdampak bagi kesejahteraan dan keadilan sosial rakyat Indonesia. Konsep pembangunan ini layaknya tidak berbeda jauh dengan pembangunan orde baru yang menggunakan logika ekonomi efek tetesan kebawah (trickle down effect), pembangunan ini justru melebarkan jurang kesenjangan sosial antara yang kaya dan miskin.[15]

Dampak Pertikaian
Dengan melihat akar pertikaian yang terkait hingga ke dalam sistem pemerintahan, tentu di antara para pelaku pertikaian, yakni rakyat, pengusaha dan penguasa, yang paling dirugikan dan menerima ketidakadilan adalah rakyat kecil. Rakyat kecil adalah mereka yang tidak memiliki akses dalam sistem pemerintahan seperti para penguasa dan juga tidak mempunyai modal yang besar layaknya pengusaha, mereka juga tidak ditunjang pengetahuan akan hukum sehingga sering diperalat oleh mereka yang berkepentingan neoliberalis (keuntungan sebagai tolak ukur yang terutama dari segala sesuatu).
Seiring dengan meningkatnya perampasan dan penggusuran tidak teriring pula dengan terciptanya lapangan kerja atau pembangunan di desa-desa yang terjadi konflik. Bank Dunia melaporkan bahwa perluasan lahan oleh para pemilik modal justru tidak mempunyai dampak yang diharapkan, justru memperburuk keadaan yang sebelumnya. Berbagai laporan menunjukkan bahwa kepentingan dari perampasan tanah yang terjadi di negara-negara Selatan adalah kepentingan ekonomi, bukan demi kemajuan daerah ataupun kepedulian terhadap iklim.
Dengan konflik yang terjadi dan berbagai kepentingan yang terlibat, maka banyak rakyat kecil justru yang kehilangan tanah  yang telah mereka diami turun-temurun. Dengan kehilangan tanah, maka kehilangan juga lahan bagi mereka menghidupi kehidupan sehari-hari. Perlawanan yang dilakukan rakyat kecil justru mengakibatkan hukuman, siksaan hingga nyawa yang jadi taruhan. Jikalaupun mereka dilibatkan dalam industri yang dikuasai pemilik modal, tentunya mereka akan menjadi buruh murah, namun tetap terlepas dari akses tanah dan alam mereka.
Akibat dari konflik ini maka rakyat kecil hanya berpangku tangan pada tenaga sendiri, sementara untuk berkompetisi di daerah industrialisasi perkotaan mereka tidak punya keterampilan dan pengetahuan. Akibat dari ketidakadilan kepada rakyat kecil yang dipengaruhi sistem ini mengakibatkan juga kepada kemiskinan. Hal ini juga disadari Muslim Kasim mengenai karakteristik kemiskinan di Indonesia, bahwa kemiskinan disebabkan oleh ketidakadilan struktural dalam mengalokasikan dana dan sumber daya secara adil kepada masyarakat.[16] Kemiskinan seperti ini disebutkan oleh Paul Spicker sebagai Structural explanations, faktor ini menganggap bahwa kemiskinan timbul akibat dari ketidakseimbangan, perbedaan status yang dibuat oleh adat istiadat, kebijakan, dan aturan lain menimbulkan perbedaan hak untuk bekerja, sekolah dan lainnya hingga menimbulkan kemiskinan di antara mereka yang statusnya rendah dan haknya terbatas.[17] Kemiskinan yang disebabkan oleh dampak kebijakan pemerintah, atau kebijakan yang tidak berpihak pada kaum miskin juga masuk ke dalam faktor ini, sehingga kemiskinan yang timbul itu sering disebut dengan kemiskinan struktural.

Kesimpulan
Tanah merupakan bagian yang tak terpisahkan bagi kelangsungan seluruh makhluk hidup di bumi. Tanah adalah tempat di mana pula manusia dapat memperoleh sumber sandang, pangan dan papan. Tanah adalah anugrah dari Tuhan yang diberikan bagi manusia. Namun adapula manusia yang demi keuntungan rela mengorbankan manusia lain demi memperoleh hak atas tanah. pertikaian tanahpun tak terhindarkan. Dimulai dari krisis global yang mempengaruhi harga pangan dunia hingga sistem neoliberalisme yang menjadi motor penggerak berjalannya tatanan dunia mengakibatkan pertikaian mengenai tanahpun semakin melonjak secara presentase.
Pertikaian ini tidaklah terjadi secara seimbang karena rakyat terus menjadi korban. Rakyat tergusur dari tanah yang telah mereka diami turun-temurun. Mereka seringkali pula dimanipulasi akibat keterbatasan akan pengetahuan mengenai hukum. Jikalaupun mereka melawan maka nyawa yang menjadi taruhan. Akibatnya rakyat terlepas dari akses mereka kepada tanah dan alam. Mereka hanya dapat berpangku tangan kemudian kemiskinan menjadi sahabat hingga turun temurun. Hal ini mengakibatkan kesenjangan sosial yang menganga semakin lebar antara yang kaya dan yang miskin di Indonesia. Kemiskinan yang terjadi secara struktural.
Isu ini haruslah juga menyentuh kedalam kegelisahan berteologi gereja. Isu ini mengenai tanah tetapi juga berkaitan langsung dengan manusia. Tanah yang telah dijadikan lahan produksi oleh para penguasa dan pengusaha tak jarang pula mengorbankan lingkungan dan juga sesama demi pencapaian keuntungan yang sebesar-besarnya. Calvin menuliskan bahwa alam ini adalah teater kemuliaan Allah jika alam ini dipakai hanya untuk keserakahan, kebodohan dan agresi yang dilakukan oleh manusia tentunya Allahpun tidak menghendaki itu.



[1]Gunawan Wiradi, Seluk-Beluk Masalah Agraria dan Penelitian Agraria (Jakarta: Sijogyo Institut, 2009)
[2]Laporan akhir tahun KPA tahun 2015 dapat diunduh dari http://www.kpa.or.id/news/publikasi/
[3]https://m.tempo.co/read/news/2015/01/09/058633840/kpk-angka-kejahatan-korupsi-agraria-tinggi
[4]Ibid.                                                      
[5]Lih. http://bisnis.liputan6.com/read/2353156/akhirnya-indonesia-dan-malaysia-akur-dalam-bisnis-minyak-sawit.
[6] Tissa Balasuriya, Teologi Siarah (Jakarta: Gunung Mulia, 1994), hal. 36.
[7]Tissa Balasuriya, ibid.
[8]Tissa Balasuriya, ibid. Hal. 38.
[9]Ibid. Hal. 37.
[10]Iwan Jaya Azis, Pembangunan Berkelanjutan (Jakarta: Gramedia, 2010), hal. 166.
[11]Bnd. Fahmy Radhi, Kebijakan Ekonomi Pro Rakyat (Jakarta: Penerbit Republika, 2008), hal. xi.
[12]Bnd. Budi Susanto, Sisi Senyap Politik Bising (Yogyakarta: Kanisius, 20070, hal. 116.
[13]Bnd. Arcom.co.id/2016/02/ada-hak-penguasaan-tanah-dalam-proyek-kereta-api-cepat/
[14]Bnd. Print.kompas.com/baca/2015/11/11/dilema-reklamasi-pantai-jakarta
[16]Muslim Kasim, Karakteristik Kemiskinan di Indonesia dan Strategi Penanggulangannya (Jakarta: Indomedia Global, 2006), hlm. 58.
[17]Paul Spicker, Poverty and the Welfare State : Dispelling the Myths (London: Catalyst, 2002), hlm. 78.

Minggu, 29 Mei 2016

Teologi Multikultural

Buku ini ditulis oleh rektor Institut Injili Indonesia. Sekolah yang dikenal mencetak orang-orang militan dalam menginjili. Penulis memiliki pengalaman di Sinode Gereja (sebagai ketua umum Sinode GPIN), forum komunikasi kristen dan antar umat beragama di SumSel, hingga menjadi rektor di I-3. Dari latar belakang pendidikan, penulis sudah menyelesaikan pendidikan di I-3 (S.Th hingga M.Th) dan di STBI Semarang untuk menyelesaikan program Doktor di bidang teologi.

Penulis dalam buku ini sangat dipengaruhi para pemikir Barat dari kalangan post-orientalis. Para pemikir post orientalis ini ingin menjembatani antara Islam dan Barat, yang sangat dipengaruhi oleh kecurigaan satu dengan yang lain. Pada masa orientalis, banyak para pemikir Barat mengkaji mengenai Islam tetapi dengan semangat kolonialisasi, contoh pemikiran ini dapat dilihat dari buku Moshay yang kontroversial, ”Who is this Allah?”.

Pemikir orientalis memaparkan mengenai Islam yang didefinisikan dengan segala sesuatu yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan entah itu kekerasan, kejahatan dan pembunuhan. Hasil dari kajian peneliti orientalis mengenai Islam selalu mendapat respon negatif, terutama dari kalangan Islam.

Namun kemudian muncul kaum post-orientalis yang mencoba melukiskan Islam dengan wajah yang lebih damai dan seturut dengan prinsip-prinsip kemanusiaan yang menurut para pemikir ini bersifat universal, mereka yang berdiri di posisi ini antara lain Hans Kung, Karen Armstrong, Paul Knitter, John Esposito, Huston Smith, dll. Walaupun kedua orang yang terakhir dituliskan tidak menjadi referensi pustaka dalam buku teologi multikultural namun ketiga pemikir yang pertama saya rasa sangat berpengaruh terhadap pemikiran penulis.

Perbedaan yang dapat dilihat dari ketiga pemikir orientalis (Hans Kung, Karen Armstrong dan Paul Knitter) tersebut adalah mengenai narativisasi finalitas Kristus sebagai juruselamat, Hans Kung masih berpegang pada pendirian tersebut, sementara Paul Knitter dan Karen Armstorng berbeda pendapat dengannya.

Masing-masing berada pada presuposisinya sendiri dan tidak menemukan titik temu dalam hal tersebut. Hans Kung dalam hal ini tetap memegang prinsip-prinsip dasar yang menjadi dogma tak tergantikan yang dipegang juga oleh kaum Injili tetapi tetap ada unsur keterbukaan kepada yang berbeda agama.

Di tengah konteks pluralitas kehidupan saat ini, ajaran tersebut memang terlihat lebih relevan bagi kaum Injili. Walaupun tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip dasar dogma Injili namun tidak jatuh dalam eksklusivitas sempit dan tetap terbuka dialog bagi yang lain namun tidak terjerumus dalam pluralisme dalam beragama menurut Pdt. Sudarmanto.

Hal ini menjadi keresahan bagi penulis yang berlatar belakang aliran injili untuk menjelaskan bahwa kaum Injili tetap juga dapat kontekstual dan terbuka namun tetap memegang dogma dasar teologis dalam pandangan Injili. Tantangan dan keresahan penulis selain dari konteks multikulturalitas yang ada di Indonesia menurut saya adalah tuduhan pihak Injili yang tidak lagi relevan bagi masyarakat dan kerap kali hanya menjadi penyambung lidah dari teolog-teolog Barat.

Hans Kung yang sangat beraroma protestanisme dalam pemikirannya sangat berpengaruh terutama mengenai pandangan etika global di dalam buku teologi multikultural ini. Hans Kung juga mempunyai keresahan yang sama dengan penulis dalam hal menciptakan kedamaian di tengah konteks pluralitas.

Hans Kung menuliskan bahwa tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian antar agama; tidak ada perdamaian agama tanpa dialog antaragama dan tidak ada dialog antaragama tanpa ada menggali fondasi masing-masing tiap agama. Agama dalam sejarah telah dituliskan bahwa menjadi salah satu akar konflik, perselisihan hingga pertumpahan darah namun agama jugapun tidak dapat dipungkiri sangat berpengaruh bagi kemajuan peradaban umat manusia.

Walaupun agama memiliki sejarah yang kelam namun agama juga dapat bersatu dalam etika global yang memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Etika global ini yang tercipta dengan adanya dialog antaragama kemudian menemukan konsensus etis minimum yang tentunya diasumsikan dimiliki setiap agama. Etika minimum tersebut antara lain: tanggung jawab, ketulusan, kebersamaan, ketenangan, kebaikan, kesetiaan, dsb yang dapat diterima oleh setiap agama. Konsensus ini dengan demikian tidak mengorbankan fondasi-fondasi teologis masing-masing agama.

Di tengah hubungan yang seringkali tidak stabil di tengah konteks pluralitas kehidupan di Indonesia menurut penulis teologi multikultiral ini pemikiran Hans Kung dapat diterapkan. Seringkali terjadi perselisihan, pertikaian, kerusuhan hingga teror yang  bermuatan etnis dan agama di Indonesia. hal tersebut menciptakan rasisme yang tentunya mengikis kemanusiaan dalam hubungan antar sesama.

Tidak jarang celotehan dari orang menilai orang yang berjenggot panjang, memakai kopiah dan berbusana ala Arab itu adalah teroris. Tidak jarang pula umat kristen disebut agama kolonial karena dibawa oleh Belanda yang saat itu menjajah Indonesia. Orang Cina dianggap sebagai komunis, orang Dayak pemakan manusia, dan lain sebagainya.

Predikat-predikat tersebut akhirnya di dalam relasi kehidupan bersama justru meniadakan subjek yang semuanya setara yakni sebagai manusia. predikat-predikat tersebut membuat orang berasumsi sebelum berelasi yang seringkali membuat orang untuk menutup diri daripada menebarkan nilai-nilai kebaikan bagi sesama.

Tanggapan buku
Tujuan Hans Kung dalam etika global yang juga disetujui oleh pdt. Sudarmanto adalah terciptanya perdamaian di tengah pluralitas agama dan juga etnis. Perdamaian tersebut bisa dicapai dengan dialog kemudian dialog tersebut menghasilkan konsensus etis minimal dalam kehidupan bersama. Walaupun pemikiran tersebut mengasumsikan adanya nilai etis universal yang menjadi titik temu di antara agama dan juga bertujuan sangat baik  namun menurut saya ada beberapa hal yang patut dipertanyakan, yakni apa itu kebaikan? Apa itu kemanusiaan? Apa itu kebaikan universal? Bukankan nilai kemanusiaan dan kebaikan juga dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda?

Ada kebaikan universal ala borjuis atau ala proletar menurut Pramoedya Ananta Toer. Ada juga yang dulunya pejuang iman dengan membunuh orang dianggap pahlawan tetapi sekarang dianggap kriminal, dan juga jika meminjam sedikit dari pemikiran Marx dan Nietzsche, kebaikan itu  sangat dipengaruhi oleh unsur politik (kuasa) dan juga ekonomi. Marx tentu akan menuduh bahwa nilai-nilai kebenaran dan kemanusiaan itu tidak lepas dari kepentingan kelas-kelas dominan demi kepentingan profit dan selalu menindas yang lemah. Nilai-nilai kebenaran justru menciptakan ideologi yang diartikan sebagai kesadaran palsu.

Kesadaran palsu tersebut menciptakan apa yang benar dan manusiawi pada zamannya. Ideologi tersebut misalnya saja yang terjadi dalam era Soeharto, pembangunan dianggap sebagai langkah untuk memberantas kemiskinan, melalui permainan definisi dan standar kemiskinan membuat kemiskinan telah diminimalisir pemerintahan Soeharto.

Di era globalisasi saat ini, sistem ekonomi-politik neo-liberalisme menjadi penguasa zaman yang baru. Sistem ini yang mengkondisikan tatanan masyarakat baik itu dalam agama, budaya, filsafat, seni, dsb. Sistem ini menciptakan kesadaran palsu masyarakat, misalnya saja mengenai era globalisasi yang mau tidak mau harus diterima, jika tidak maka mereka yang menolak akan tertinggal. Globalisasi adalah cara terbaik membangun peradaban. Globalisasi adalah jalan satu-satunya untuk memajukan negara dan lain sebagainya.

Era globalisasi memiliki dampak yang sudah dituliskan dalam buku ini antara lain kesenjangan sosial, kerusakan lingkungan hidup, dan disintegrasi sosial sebagai korban yang sepatutnya diterima. Namun sayangnya penulis justru tidak mencoba memberikan solusi lain bagi permasalahan ini tetapi justru saya melihat seakan penulis menganggap bahwa ini suatu yang sudah semestinya diterima begitu saja.

Jika mengacu pada buku yang dituliskan William Fore, inilah tujuan orang yang berkuasa dengan memberikan berbagai mitos yang kemudian dipercayai orang banyak untuk melanggengkan status quo nya.[1] Dengan tetap menjalankan etika global namun juga di lain pihak membiarkan sistem global yang mengutamakan persaingan, perampasan tanah dan keuntungan saya rasa sebagai suatu yang mustahil, kontaradiksi in terminus, kalaupun dapat maka justru akan menciptakan kesadaran-kesadaran palsu yang lain mengenai nilai-nilai kemanusiaan. Bagaimana menciptakan perdamaian di tengah ketidakadilan global? Bagaimana mendatangkan ketentraman di tengah penindasan global?

Max Webber membagi dua pola etika ‘klasik’ kapitalisme: agama dijadikan inspirasi untuk menggali nilai-nilai kapitalisme dan agama disenyawakan dengan nilai-nilai kapitalisme.[2] Poin yang kedua terbentuk ketika kapitalisme telah mapan dan ini yang ada pada saat ini. Ketika sistem kapitalisme telah mapan dan berjalan, maka agama diadopsi untuk melanggengkan dan memperkuat sistem kapitalisme. Akibat dari hal ini etika yang terbentuk justru etika yang tercerabut dari tradisi sejarahnya. Etika yang demikian menciptakan etika yang sesuai dengan fluiditas pasar, etika atas dasar persaingan dan keutamaan profit. Melalui ini sistem yang ada sekarang telah menciptakan etika kesalehan yang sesuai dengan kepentingan ekonomi-politik yang berkuasa. Etika global jika tanpa analisa ekonomi-politik dan melakukan perombakan dari basis permasalahan tersebut tentu dapat terjebak dengan hal ini.

Namun disisi lain, penulisan buku ini adalah langkah yang sangat baik bagi pergerakan teologi Injili untuk merefleksikan iman kristen dengan lebih relevan di tengah konteks Indonesia. Pator Van Lith, seorang misionaris katolik yang membaktikan diri di Indonesia, hidupnya menceritakan bahwa teologi tidak hanya berurusan dengan hal spiritualitas belaka, namun juga turut terlibat dalam permasalahan sosial, ekonomi dan politik. Gereja tidak boleh melakukan kesalahan yang sama dimana gereja tidak berperan apa-apa dan tidak melakukan apapun bagi lingkungan dikarenakan pemahaman yang salah dalam sistem itu sendiri.[3] Pemahaman teologi pembebasan mengenai teologipun seakan cocok dengan ini bahwa teologi tidak hanya ada pada tataran akademik dengan memberikan penjelasan-penjelasan yang sistematis mengenai segala sesuatu tetapi juga suatu disiplin ilmu yang bertujuan memanusiakan manusia secara menyeluruh.[4]

Walaupun ada sedikit kritik terhadap teologi ini, namun menurut saya saran yang ditawarkan oleh teologi multikultural ini tetap sangat layak untuk dilakukan. Pendekatan untuk dialog antaragama dan menjalin relasi di antara berbagai etnis walaupun tidak bersifat transformatif[5], namun penting karena transformasi sosial bukan sesuatu yang jatuh dari langit tetapi sebuah usaha yang membutuhkan waktu dan tenaga, sebelum itu terjadi maka perlu dilakukan usaha-usaha sementara untuk memperbaiki keadaan sosial yang salah satunya adalah yang ditawarkan teologi multikultural melalui dialog.

Selain daripada itu, untuk tujuan transformatif, dialog yang disarankan oleh teologi multikultural tidak hanya sampai tahap mempersoalkan the problem of good seperti etika gobal ala Hans Kung, namun mempersoalkan the problem of justice.[6] Melalui ini praksis yang nantinya dihasilkan tidak hanya seputar kebaikan yang bersifat karitatif atau reformatif, namun juga sampai pada tahap ransformatif.

Dialog yang ditawarkan oleh teologi multikultural ini bukanlah tujuan akhir untuk menciptakan tatanan sosial yang baik. Dialog harus juga mempunyai kesadaran akan pengaruh kekuasaan dan kekuatan mereka yang melestarikan status quo. Oleh karena itu konsensus yang dihasilkan melalui dialog ataupun  diskursus dilakukan untuk memperbaiki sistem sosial masyarakat yang rusak.

Jika melihat di dalam sejarah, peranan agama dalam konsensus dapat dijadikan untuk mengubah tatanan sosial yang tidak adil. Tatanan yang mengutamakan keadilan sosial seperti yang terjadi dalam perumusan UUD 1945. Tetapi keadaan tersebut semakin jarang, karena dalam masing-masing agamapun timbul pergesekan. Jikalaupun dapat dibangun secara berkelanjutan maka perjuangan melalui dialog merupakan bisa sangat membantu dalam membangun tatanan sosial yang lebih baik.




[1]Band. William Fore, Para Pembuat Mitos (BPK Gunung Mulia: Jakarta, 1999), hal. 88.
[2]Band. Max Weber, Sosiologi Agama (Yogyakarta: IRCISoD, 2012), hal. 389.
[3]Band. Zakaria J. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme – Perjumpaan Umat Kristen Protestan dan Pergerakan Nasional Indonesia 1900 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996, hal. 266.
[4]Viktor I. Tanja, Hidup itu Indah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), hal. 24.[5]Istilah transformasi yang dipakai sebagai tugas diakonia yang dituliskan Josef Widyatmadja dalam bukunya Yesus dan Wong Cilik. Dalam buku ini menjelaskan bahwa permasalahan sosial harus sampai pada tahap preventif dengan melakukan perubahan mendasar yakni perubahan pada sistem yang tidak adil.
[6]Band. Franz Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20 (Yogyakarta: Kanisius, 200), hal. 215-238.

Jumat, 27 Mei 2016

Yesus

Yesus adalah sosok yang menjadi pusat dalam kekristenan. Ia bukan hanya manusia biasa tetapi dia juga adalah Tuhan yang diutus oleh Allah untuk membebaskan manusia dari jerat dosa. Kehidupannya menunjukkan dia adalah pribadi yang istimewa. Dia anak zaman tetapi melampaui zaman sehingga ada orang yang menyebutnya tidak waras bahkan kematiannya sangat hina, disalib.

Berbagai usaha untuk dapat mengenal Yesus hal ini terbukti dengan banyaknya tafsiran dan sudut pandang teologis mengenai dia. Tidak jarang Yesus yang dikenal dari setiap zaman justru berbeda-beda. Di zaman Konstantinus ketika pax romana berganti menjadi pax cristiana, Yesus adalah sahabat kaisar, Yesus dikenal sebagai raja, penguasa, hakim, filsuf, penguasa semesta alam. Kelahiran Yesus di kandang yang hina diubah menjadi istana. Adapula melalui kisah Yesus menjadi legitimasi bagi aksi genosida ras Yahudi.  Dalam masa penjajahan ketika Eropa melakukan ekspansi ke daratan-daratan Asia dan Afrika, Yesus menjadi pribadi supra-alami yang kemanusiaanNya tidak mempunyai daya tarik etis. Tetapi Yesus juga dapat dilihat sebagai sahabat orang-orang miskin, lemah dan tertindas. Yesus adalah pembebas dari dosa individu yang serakah dan struktur yang menindas. Yesus tidak jarang juga dibentrokkan dengan para penguasa, orang kaya dan para pecinta status quo.

Ada ajaran yang menitikberatkan pada kelahiran dan kematiannya namun juga ada yang pada kehidupan dan segala perbuatannya. ada yang membentuk Yesus untuk merancang kristologi demi pemuasan akal budi adapula mengenal Yesus dengan cara terjun langsung dalam kondisi sosial demi merubah kenyataan.  

Sebagai sosok yang ada dalam sejarah, Yesus memang tidak bisa ditafsirkan apa adanya. Kisah Yesus sendiri dalam setiap Injil adalah bentukan dari para penulis Injil. Fakta-fakta yang ada pada masa lalu tentunya dipilih demi kepentingan para penulis. Fakta-fakta tersebut dievaluasi oleh para penulis Injil untuk kemudian dipilih manakah yang layak untuk dicatat. Oleh karena itu Markus yang merupakan Injil yang tertua dibandingkan Injil lain, yang juga menurut para ahli menjadi salah satu sumber tulisan Injil Matius dan Lukas  tidak semuanya diambil utuh. Ada perbedaan-perbedaan dari setiap Injil untuk merekayasa sosok Yesus.

Fakta-fakta yang diberikan oleh penulis Injil mengenai yesus juga nantinya akan terbias oleh pembaca. Fakta-fakta tersebut ibarat seperti ikan yang berenang di samudra luas dan kadang kala tidak bisa dicapai. Para pembaca, teolog dan para penafsir menangkap fakta tersebut bukan secara kebetulan namun tergantung samudra sebelah mana yang dijadikan tempat dan alat apa yang dipilih untuk memancing dan tentu saja kedua unsur ini menentukan nantinya jenis ikan apa yang ditangkap.  

Oleh karena itu tentunya penting untuk memahami konteks dan impuls yang dibentuk oleh masyarakat masa lalu.tulisan tersebut bukanlah tulisan yang dibentuk dari oleh orang-orang yang terisolasi ataupun dalam ruang hampa. Terkadang sosok Yesus dibentuk oleh mereka yang tidak lagi memikirkan akan makan dan minum, oleh para imam yang tidak turun ke jalan, namun terkadang Yesus dibentuk oleh orang-orang dan mereka yang bersolidaritas terhadap mereka yang lemah, minoritas, miskin ataupun tertindas.
Diberdayakan oleh Blogger.

Featured Post Via Labels

Instagram Photo Gallery