Buku ini ditulis oleh
rektor Institut Injili Indonesia. Sekolah yang dikenal mencetak orang-orang
militan dalam menginjili. Penulis memiliki pengalaman di Sinode Gereja (sebagai
ketua umum Sinode GPIN), forum komunikasi kristen dan antar umat beragama di
SumSel, hingga menjadi rektor di I-3. Dari latar belakang pendidikan, penulis
sudah menyelesaikan pendidikan di I-3 (S.Th hingga M.Th) dan di STBI Semarang
untuk menyelesaikan program Doktor di bidang teologi.
Penulis dalam buku ini
sangat dipengaruhi para pemikir Barat dari kalangan post-orientalis. Para
pemikir post orientalis ini ingin menjembatani antara Islam dan Barat, yang
sangat dipengaruhi oleh kecurigaan satu dengan yang lain. Pada masa orientalis,
banyak para pemikir Barat mengkaji mengenai Islam tetapi dengan semangat
kolonialisasi, contoh pemikiran ini dapat dilihat dari buku Moshay yang
kontroversial, ”Who is this Allah?”.
Pemikir orientalis
memaparkan mengenai Islam yang didefinisikan dengan segala sesuatu yang
bertentangan dengan nilai kemanusiaan entah itu kekerasan, kejahatan dan
pembunuhan. Hasil dari kajian peneliti orientalis mengenai Islam selalu
mendapat respon negatif, terutama dari kalangan Islam.
Namun kemudian muncul
kaum post-orientalis yang mencoba melukiskan Islam dengan wajah yang lebih
damai dan seturut dengan prinsip-prinsip kemanusiaan yang menurut para pemikir
ini bersifat universal, mereka yang berdiri di posisi ini antara lain Hans Kung,
Karen Armstrong, Paul Knitter, John Esposito, Huston Smith, dll. Walaupun kedua
orang yang terakhir dituliskan tidak menjadi referensi pustaka dalam buku teologi
multikultural namun ketiga pemikir yang pertama saya rasa sangat berpengaruh terhadap
pemikiran penulis.
Perbedaan yang dapat
dilihat dari ketiga pemikir orientalis (Hans Kung, Karen Armstrong dan Paul
Knitter) tersebut adalah mengenai narativisasi finalitas Kristus sebagai
juruselamat, Hans Kung masih berpegang pada pendirian tersebut, sementara Paul
Knitter dan Karen Armstorng berbeda pendapat dengannya.
Masing-masing berada
pada presuposisinya sendiri dan tidak menemukan titik temu dalam hal tersebut.
Hans Kung dalam hal ini tetap memegang prinsip-prinsip dasar yang menjadi dogma
tak tergantikan yang dipegang juga oleh kaum Injili tetapi tetap ada unsur
keterbukaan kepada yang berbeda agama.
Di tengah konteks
pluralitas kehidupan saat ini, ajaran tersebut memang terlihat lebih relevan
bagi kaum Injili. Walaupun tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip dasar
dogma Injili namun tidak jatuh dalam eksklusivitas sempit dan tetap terbuka
dialog bagi yang lain namun tidak terjerumus dalam pluralisme dalam beragama
menurut Pdt. Sudarmanto.
Hal ini menjadi
keresahan bagi penulis yang berlatar belakang aliran injili untuk menjelaskan
bahwa kaum Injili tetap juga dapat kontekstual dan terbuka namun tetap memegang
dogma dasar teologis dalam pandangan Injili. Tantangan dan keresahan penulis
selain dari konteks multikulturalitas yang ada di Indonesia menurut saya adalah
tuduhan pihak Injili yang tidak lagi relevan bagi masyarakat dan kerap kali
hanya menjadi penyambung lidah dari teolog-teolog Barat.
Hans Kung yang sangat
beraroma protestanisme dalam pemikirannya sangat berpengaruh terutama mengenai
pandangan etika global di dalam buku teologi multikultural ini. Hans Kung juga
mempunyai keresahan yang sama dengan penulis dalam hal menciptakan kedamaian di
tengah konteks pluralitas.
Hans Kung menuliskan
bahwa tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian antar agama; tidak ada
perdamaian agama tanpa dialog antaragama dan tidak ada dialog antaragama tanpa
ada menggali fondasi masing-masing tiap agama. Agama dalam sejarah telah
dituliskan bahwa menjadi salah satu akar konflik, perselisihan hingga
pertumpahan darah namun agama jugapun tidak dapat dipungkiri sangat berpengaruh
bagi kemajuan peradaban umat manusia.
Walaupun agama memiliki
sejarah yang kelam namun agama juga dapat bersatu dalam etika global yang
memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Etika global ini yang tercipta dengan
adanya dialog antaragama kemudian menemukan konsensus etis minimum yang
tentunya diasumsikan dimiliki setiap agama. Etika minimum tersebut antara lain:
tanggung jawab, ketulusan, kebersamaan, ketenangan, kebaikan, kesetiaan, dsb
yang dapat diterima oleh setiap agama. Konsensus ini dengan demikian tidak
mengorbankan fondasi-fondasi teologis masing-masing agama.
Di tengah hubungan yang
seringkali tidak stabil di tengah konteks pluralitas kehidupan di Indonesia
menurut penulis teologi multikultiral ini pemikiran Hans Kung dapat diterapkan.
Seringkali terjadi perselisihan, pertikaian, kerusuhan hingga teror yang bermuatan etnis dan agama di Indonesia. hal
tersebut menciptakan rasisme yang tentunya mengikis kemanusiaan dalam hubungan
antar sesama.
Tidak jarang celotehan
dari orang menilai orang yang berjenggot panjang, memakai kopiah dan berbusana
ala Arab itu adalah teroris. Tidak jarang pula umat kristen disebut agama kolonial
karena dibawa oleh Belanda yang saat itu menjajah Indonesia. Orang Cina
dianggap sebagai komunis, orang Dayak pemakan manusia, dan lain sebagainya.
Predikat-predikat
tersebut akhirnya di dalam relasi kehidupan bersama justru meniadakan subjek
yang semuanya setara yakni sebagai manusia. predikat-predikat tersebut membuat
orang berasumsi sebelum berelasi yang seringkali membuat orang untuk menutup
diri daripada menebarkan nilai-nilai kebaikan bagi sesama.
Tanggapan
buku
Tujuan Hans Kung dalam
etika global yang juga disetujui oleh pdt. Sudarmanto adalah terciptanya
perdamaian di tengah pluralitas agama dan juga etnis. Perdamaian tersebut bisa
dicapai dengan dialog kemudian dialog tersebut menghasilkan konsensus etis
minimal dalam kehidupan bersama. Walaupun pemikiran tersebut mengasumsikan
adanya nilai etis universal yang menjadi titik temu di antara agama dan juga
bertujuan sangat baik namun menurut saya
ada beberapa hal yang patut dipertanyakan, yakni apa itu kebaikan? Apa itu
kemanusiaan? Apa itu kebaikan universal? Bukankan nilai kemanusiaan dan kebaikan
juga dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda?
Ada kebaikan universal ala
borjuis atau ala proletar menurut Pramoedya Ananta Toer. Ada juga yang dulunya
pejuang iman dengan membunuh orang dianggap pahlawan tetapi sekarang dianggap
kriminal, dan juga jika meminjam sedikit dari pemikiran Marx dan Nietzsche, kebaikan
itu sangat dipengaruhi oleh unsur
politik (kuasa) dan juga ekonomi. Marx tentu akan menuduh bahwa nilai-nilai
kebenaran dan kemanusiaan itu tidak lepas dari kepentingan kelas-kelas dominan
demi kepentingan profit dan selalu menindas yang lemah. Nilai-nilai kebenaran
justru menciptakan ideologi yang diartikan sebagai kesadaran palsu.
Kesadaran palsu
tersebut menciptakan apa yang benar dan manusiawi pada zamannya. Ideologi
tersebut misalnya saja yang terjadi dalam era Soeharto, pembangunan dianggap
sebagai langkah untuk memberantas kemiskinan, melalui permainan definisi dan
standar kemiskinan membuat kemiskinan telah diminimalisir pemerintahan
Soeharto.
Di era globalisasi saat
ini, sistem ekonomi-politik neo-liberalisme menjadi penguasa zaman yang baru.
Sistem ini yang mengkondisikan tatanan masyarakat baik itu dalam agama, budaya,
filsafat, seni, dsb. Sistem ini menciptakan kesadaran palsu masyarakat,
misalnya saja mengenai era globalisasi yang mau tidak mau harus diterima, jika
tidak maka mereka yang menolak akan tertinggal. Globalisasi adalah cara terbaik
membangun peradaban. Globalisasi adalah jalan satu-satunya untuk memajukan
negara dan lain sebagainya.
Era globalisasi
memiliki dampak yang sudah dituliskan dalam buku ini antara lain kesenjangan
sosial, kerusakan lingkungan hidup, dan disintegrasi sosial sebagai korban yang
sepatutnya diterima. Namun sayangnya penulis justru tidak mencoba memberikan
solusi lain bagi permasalahan ini tetapi justru saya melihat seakan penulis
menganggap bahwa ini suatu yang sudah semestinya diterima begitu saja.
Jika mengacu pada buku
yang dituliskan William Fore, inilah tujuan orang yang berkuasa dengan
memberikan berbagai mitos yang kemudian dipercayai orang banyak untuk melanggengkan
status quo nya.[1]
Dengan tetap menjalankan etika global namun juga di lain pihak membiarkan
sistem global yang mengutamakan persaingan, perampasan tanah dan keuntungan
saya rasa sebagai suatu yang mustahil, kontaradiksi in terminus, kalaupun dapat maka justru akan menciptakan
kesadaran-kesadaran palsu yang lain mengenai nilai-nilai kemanusiaan. Bagaimana
menciptakan perdamaian di tengah ketidakadilan global? Bagaimana mendatangkan
ketentraman di tengah penindasan global?
Max Webber membagi dua
pola etika ‘klasik’ kapitalisme: agama dijadikan inspirasi untuk menggali
nilai-nilai kapitalisme dan agama disenyawakan dengan nilai-nilai kapitalisme.[2]
Poin yang kedua terbentuk ketika kapitalisme telah mapan dan ini yang ada pada
saat ini. Ketika sistem kapitalisme telah mapan dan berjalan, maka agama
diadopsi untuk melanggengkan dan memperkuat sistem kapitalisme. Akibat dari hal
ini etika yang terbentuk justru etika yang tercerabut dari tradisi sejarahnya.
Etika yang demikian menciptakan etika yang sesuai dengan fluiditas pasar, etika
atas dasar persaingan dan keutamaan profit. Melalui ini sistem yang ada
sekarang telah menciptakan etika kesalehan yang sesuai dengan kepentingan
ekonomi-politik yang berkuasa. Etika global jika tanpa analisa ekonomi-politik
dan melakukan perombakan dari basis permasalahan tersebut tentu dapat terjebak
dengan hal ini.
Namun disisi lain,
penulisan buku ini adalah langkah yang sangat baik bagi pergerakan teologi
Injili untuk merefleksikan iman kristen dengan lebih relevan di tengah konteks
Indonesia. Pator Van Lith, seorang misionaris katolik yang membaktikan diri di
Indonesia, hidupnya menceritakan bahwa teologi tidak hanya berurusan dengan hal
spiritualitas belaka, namun juga turut terlibat dalam permasalahan sosial,
ekonomi dan politik. Gereja tidak boleh melakukan kesalahan yang sama dimana
gereja tidak berperan apa-apa dan tidak melakukan apapun bagi lingkungan
dikarenakan pemahaman yang salah dalam sistem itu sendiri.[3]
Pemahaman teologi pembebasan mengenai teologipun seakan cocok dengan ini bahwa
teologi tidak hanya ada pada tataran akademik dengan memberikan penjelasan-penjelasan
yang sistematis mengenai segala sesuatu tetapi juga suatu disiplin ilmu yang
bertujuan memanusiakan manusia secara menyeluruh.[4]
Walaupun ada sedikit
kritik terhadap teologi ini, namun menurut saya saran yang ditawarkan oleh
teologi multikultural ini tetap sangat layak untuk dilakukan. Pendekatan untuk
dialog antaragama dan menjalin relasi di antara berbagai etnis walaupun tidak
bersifat transformatif[5], namun
penting karena transformasi sosial bukan sesuatu yang jatuh dari langit tetapi
sebuah usaha yang membutuhkan waktu dan tenaga, sebelum itu terjadi maka perlu
dilakukan usaha-usaha sementara untuk memperbaiki keadaan sosial yang salah
satunya adalah yang ditawarkan teologi multikultural melalui dialog.
Selain daripada itu,
untuk tujuan transformatif, dialog yang disarankan oleh teologi multikultural
tidak hanya sampai tahap mempersoalkan the
problem of good seperti etika gobal ala Hans Kung, namun mempersoalkan the problem of justice.[6] Melalui
ini praksis yang nantinya dihasilkan tidak hanya seputar kebaikan yang bersifat
karitatif atau reformatif, namun juga sampai pada tahap ransformatif.
Dialog yang ditawarkan
oleh teologi multikultural ini bukanlah tujuan akhir untuk menciptakan tatanan
sosial yang baik. Dialog harus juga mempunyai kesadaran akan pengaruh kekuasaan
dan kekuatan mereka yang melestarikan status
quo. Oleh karena itu konsensus yang dihasilkan melalui dialog ataupun diskursus dilakukan untuk memperbaiki sistem
sosial masyarakat yang rusak.
Jika melihat di dalam
sejarah, peranan agama dalam konsensus dapat dijadikan untuk mengubah tatanan
sosial yang tidak adil. Tatanan yang mengutamakan keadilan sosial seperti yang
terjadi dalam perumusan UUD 1945. Tetapi keadaan tersebut semakin jarang,
karena dalam masing-masing agamapun timbul pergesekan. Jikalaupun dapat
dibangun secara berkelanjutan maka perjuangan melalui dialog merupakan bisa
sangat membantu dalam membangun tatanan sosial yang lebih baik.
[1]Band. William Fore, Para Pembuat Mitos (BPK Gunung Mulia:
Jakarta, 1999), hal. 88.
[2]Band. Max Weber, Sosiologi Agama (Yogyakarta: IRCISoD,
2012), hal. 389.
[3]Band. Zakaria J. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme – Perjumpaan
Umat Kristen Protestan dan Pergerakan Nasional Indonesia 1900 (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1996, hal. 266.
[4]Viktor I. Tanja, Hidup itu Indah (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1989), hal. 24.[5]Istilah transformasi yang dipakai
sebagai tugas diakonia yang dituliskan Josef Widyatmadja dalam bukunya Yesus dan Wong Cilik. Dalam buku ini menjelaskan
bahwa permasalahan sosial harus sampai pada tahap preventif dengan melakukan
perubahan mendasar yakni perubahan pada sistem yang tidak adil.
[6]Band. Franz Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20 (Yogyakarta:
Kanisius, 200), hal. 215-238.
0 komentar:
Posting Komentar