Minggu, 29 Mei 2016

Teologi Multikultural

Buku ini ditulis oleh rektor Institut Injili Indonesia. Sekolah yang dikenal mencetak orang-orang militan dalam menginjili. Penulis memiliki pengalaman di Sinode Gereja (sebagai ketua umum Sinode GPIN), forum komunikasi kristen dan antar umat beragama di SumSel, hingga menjadi rektor di I-3. Dari latar belakang pendidikan, penulis sudah menyelesaikan pendidikan di I-3 (S.Th hingga M.Th) dan di STBI Semarang untuk menyelesaikan program Doktor di bidang teologi.

Penulis dalam buku ini sangat dipengaruhi para pemikir Barat dari kalangan post-orientalis. Para pemikir post orientalis ini ingin menjembatani antara Islam dan Barat, yang sangat dipengaruhi oleh kecurigaan satu dengan yang lain. Pada masa orientalis, banyak para pemikir Barat mengkaji mengenai Islam tetapi dengan semangat kolonialisasi, contoh pemikiran ini dapat dilihat dari buku Moshay yang kontroversial, ”Who is this Allah?”.

Pemikir orientalis memaparkan mengenai Islam yang didefinisikan dengan segala sesuatu yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan entah itu kekerasan, kejahatan dan pembunuhan. Hasil dari kajian peneliti orientalis mengenai Islam selalu mendapat respon negatif, terutama dari kalangan Islam.

Namun kemudian muncul kaum post-orientalis yang mencoba melukiskan Islam dengan wajah yang lebih damai dan seturut dengan prinsip-prinsip kemanusiaan yang menurut para pemikir ini bersifat universal, mereka yang berdiri di posisi ini antara lain Hans Kung, Karen Armstrong, Paul Knitter, John Esposito, Huston Smith, dll. Walaupun kedua orang yang terakhir dituliskan tidak menjadi referensi pustaka dalam buku teologi multikultural namun ketiga pemikir yang pertama saya rasa sangat berpengaruh terhadap pemikiran penulis.

Perbedaan yang dapat dilihat dari ketiga pemikir orientalis (Hans Kung, Karen Armstrong dan Paul Knitter) tersebut adalah mengenai narativisasi finalitas Kristus sebagai juruselamat, Hans Kung masih berpegang pada pendirian tersebut, sementara Paul Knitter dan Karen Armstorng berbeda pendapat dengannya.

Masing-masing berada pada presuposisinya sendiri dan tidak menemukan titik temu dalam hal tersebut. Hans Kung dalam hal ini tetap memegang prinsip-prinsip dasar yang menjadi dogma tak tergantikan yang dipegang juga oleh kaum Injili tetapi tetap ada unsur keterbukaan kepada yang berbeda agama.

Di tengah konteks pluralitas kehidupan saat ini, ajaran tersebut memang terlihat lebih relevan bagi kaum Injili. Walaupun tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip dasar dogma Injili namun tidak jatuh dalam eksklusivitas sempit dan tetap terbuka dialog bagi yang lain namun tidak terjerumus dalam pluralisme dalam beragama menurut Pdt. Sudarmanto.

Hal ini menjadi keresahan bagi penulis yang berlatar belakang aliran injili untuk menjelaskan bahwa kaum Injili tetap juga dapat kontekstual dan terbuka namun tetap memegang dogma dasar teologis dalam pandangan Injili. Tantangan dan keresahan penulis selain dari konteks multikulturalitas yang ada di Indonesia menurut saya adalah tuduhan pihak Injili yang tidak lagi relevan bagi masyarakat dan kerap kali hanya menjadi penyambung lidah dari teolog-teolog Barat.

Hans Kung yang sangat beraroma protestanisme dalam pemikirannya sangat berpengaruh terutama mengenai pandangan etika global di dalam buku teologi multikultural ini. Hans Kung juga mempunyai keresahan yang sama dengan penulis dalam hal menciptakan kedamaian di tengah konteks pluralitas.

Hans Kung menuliskan bahwa tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian antar agama; tidak ada perdamaian agama tanpa dialog antaragama dan tidak ada dialog antaragama tanpa ada menggali fondasi masing-masing tiap agama. Agama dalam sejarah telah dituliskan bahwa menjadi salah satu akar konflik, perselisihan hingga pertumpahan darah namun agama jugapun tidak dapat dipungkiri sangat berpengaruh bagi kemajuan peradaban umat manusia.

Walaupun agama memiliki sejarah yang kelam namun agama juga dapat bersatu dalam etika global yang memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Etika global ini yang tercipta dengan adanya dialog antaragama kemudian menemukan konsensus etis minimum yang tentunya diasumsikan dimiliki setiap agama. Etika minimum tersebut antara lain: tanggung jawab, ketulusan, kebersamaan, ketenangan, kebaikan, kesetiaan, dsb yang dapat diterima oleh setiap agama. Konsensus ini dengan demikian tidak mengorbankan fondasi-fondasi teologis masing-masing agama.

Di tengah hubungan yang seringkali tidak stabil di tengah konteks pluralitas kehidupan di Indonesia menurut penulis teologi multikultiral ini pemikiran Hans Kung dapat diterapkan. Seringkali terjadi perselisihan, pertikaian, kerusuhan hingga teror yang  bermuatan etnis dan agama di Indonesia. hal tersebut menciptakan rasisme yang tentunya mengikis kemanusiaan dalam hubungan antar sesama.

Tidak jarang celotehan dari orang menilai orang yang berjenggot panjang, memakai kopiah dan berbusana ala Arab itu adalah teroris. Tidak jarang pula umat kristen disebut agama kolonial karena dibawa oleh Belanda yang saat itu menjajah Indonesia. Orang Cina dianggap sebagai komunis, orang Dayak pemakan manusia, dan lain sebagainya.

Predikat-predikat tersebut akhirnya di dalam relasi kehidupan bersama justru meniadakan subjek yang semuanya setara yakni sebagai manusia. predikat-predikat tersebut membuat orang berasumsi sebelum berelasi yang seringkali membuat orang untuk menutup diri daripada menebarkan nilai-nilai kebaikan bagi sesama.

Tanggapan buku
Tujuan Hans Kung dalam etika global yang juga disetujui oleh pdt. Sudarmanto adalah terciptanya perdamaian di tengah pluralitas agama dan juga etnis. Perdamaian tersebut bisa dicapai dengan dialog kemudian dialog tersebut menghasilkan konsensus etis minimal dalam kehidupan bersama. Walaupun pemikiran tersebut mengasumsikan adanya nilai etis universal yang menjadi titik temu di antara agama dan juga bertujuan sangat baik  namun menurut saya ada beberapa hal yang patut dipertanyakan, yakni apa itu kebaikan? Apa itu kemanusiaan? Apa itu kebaikan universal? Bukankan nilai kemanusiaan dan kebaikan juga dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda?

Ada kebaikan universal ala borjuis atau ala proletar menurut Pramoedya Ananta Toer. Ada juga yang dulunya pejuang iman dengan membunuh orang dianggap pahlawan tetapi sekarang dianggap kriminal, dan juga jika meminjam sedikit dari pemikiran Marx dan Nietzsche, kebaikan itu  sangat dipengaruhi oleh unsur politik (kuasa) dan juga ekonomi. Marx tentu akan menuduh bahwa nilai-nilai kebenaran dan kemanusiaan itu tidak lepas dari kepentingan kelas-kelas dominan demi kepentingan profit dan selalu menindas yang lemah. Nilai-nilai kebenaran justru menciptakan ideologi yang diartikan sebagai kesadaran palsu.

Kesadaran palsu tersebut menciptakan apa yang benar dan manusiawi pada zamannya. Ideologi tersebut misalnya saja yang terjadi dalam era Soeharto, pembangunan dianggap sebagai langkah untuk memberantas kemiskinan, melalui permainan definisi dan standar kemiskinan membuat kemiskinan telah diminimalisir pemerintahan Soeharto.

Di era globalisasi saat ini, sistem ekonomi-politik neo-liberalisme menjadi penguasa zaman yang baru. Sistem ini yang mengkondisikan tatanan masyarakat baik itu dalam agama, budaya, filsafat, seni, dsb. Sistem ini menciptakan kesadaran palsu masyarakat, misalnya saja mengenai era globalisasi yang mau tidak mau harus diterima, jika tidak maka mereka yang menolak akan tertinggal. Globalisasi adalah cara terbaik membangun peradaban. Globalisasi adalah jalan satu-satunya untuk memajukan negara dan lain sebagainya.

Era globalisasi memiliki dampak yang sudah dituliskan dalam buku ini antara lain kesenjangan sosial, kerusakan lingkungan hidup, dan disintegrasi sosial sebagai korban yang sepatutnya diterima. Namun sayangnya penulis justru tidak mencoba memberikan solusi lain bagi permasalahan ini tetapi justru saya melihat seakan penulis menganggap bahwa ini suatu yang sudah semestinya diterima begitu saja.

Jika mengacu pada buku yang dituliskan William Fore, inilah tujuan orang yang berkuasa dengan memberikan berbagai mitos yang kemudian dipercayai orang banyak untuk melanggengkan status quo nya.[1] Dengan tetap menjalankan etika global namun juga di lain pihak membiarkan sistem global yang mengutamakan persaingan, perampasan tanah dan keuntungan saya rasa sebagai suatu yang mustahil, kontaradiksi in terminus, kalaupun dapat maka justru akan menciptakan kesadaran-kesadaran palsu yang lain mengenai nilai-nilai kemanusiaan. Bagaimana menciptakan perdamaian di tengah ketidakadilan global? Bagaimana mendatangkan ketentraman di tengah penindasan global?

Max Webber membagi dua pola etika ‘klasik’ kapitalisme: agama dijadikan inspirasi untuk menggali nilai-nilai kapitalisme dan agama disenyawakan dengan nilai-nilai kapitalisme.[2] Poin yang kedua terbentuk ketika kapitalisme telah mapan dan ini yang ada pada saat ini. Ketika sistem kapitalisme telah mapan dan berjalan, maka agama diadopsi untuk melanggengkan dan memperkuat sistem kapitalisme. Akibat dari hal ini etika yang terbentuk justru etika yang tercerabut dari tradisi sejarahnya. Etika yang demikian menciptakan etika yang sesuai dengan fluiditas pasar, etika atas dasar persaingan dan keutamaan profit. Melalui ini sistem yang ada sekarang telah menciptakan etika kesalehan yang sesuai dengan kepentingan ekonomi-politik yang berkuasa. Etika global jika tanpa analisa ekonomi-politik dan melakukan perombakan dari basis permasalahan tersebut tentu dapat terjebak dengan hal ini.

Namun disisi lain, penulisan buku ini adalah langkah yang sangat baik bagi pergerakan teologi Injili untuk merefleksikan iman kristen dengan lebih relevan di tengah konteks Indonesia. Pator Van Lith, seorang misionaris katolik yang membaktikan diri di Indonesia, hidupnya menceritakan bahwa teologi tidak hanya berurusan dengan hal spiritualitas belaka, namun juga turut terlibat dalam permasalahan sosial, ekonomi dan politik. Gereja tidak boleh melakukan kesalahan yang sama dimana gereja tidak berperan apa-apa dan tidak melakukan apapun bagi lingkungan dikarenakan pemahaman yang salah dalam sistem itu sendiri.[3] Pemahaman teologi pembebasan mengenai teologipun seakan cocok dengan ini bahwa teologi tidak hanya ada pada tataran akademik dengan memberikan penjelasan-penjelasan yang sistematis mengenai segala sesuatu tetapi juga suatu disiplin ilmu yang bertujuan memanusiakan manusia secara menyeluruh.[4]

Walaupun ada sedikit kritik terhadap teologi ini, namun menurut saya saran yang ditawarkan oleh teologi multikultural ini tetap sangat layak untuk dilakukan. Pendekatan untuk dialog antaragama dan menjalin relasi di antara berbagai etnis walaupun tidak bersifat transformatif[5], namun penting karena transformasi sosial bukan sesuatu yang jatuh dari langit tetapi sebuah usaha yang membutuhkan waktu dan tenaga, sebelum itu terjadi maka perlu dilakukan usaha-usaha sementara untuk memperbaiki keadaan sosial yang salah satunya adalah yang ditawarkan teologi multikultural melalui dialog.

Selain daripada itu, untuk tujuan transformatif, dialog yang disarankan oleh teologi multikultural tidak hanya sampai tahap mempersoalkan the problem of good seperti etika gobal ala Hans Kung, namun mempersoalkan the problem of justice.[6] Melalui ini praksis yang nantinya dihasilkan tidak hanya seputar kebaikan yang bersifat karitatif atau reformatif, namun juga sampai pada tahap ransformatif.

Dialog yang ditawarkan oleh teologi multikultural ini bukanlah tujuan akhir untuk menciptakan tatanan sosial yang baik. Dialog harus juga mempunyai kesadaran akan pengaruh kekuasaan dan kekuatan mereka yang melestarikan status quo. Oleh karena itu konsensus yang dihasilkan melalui dialog ataupun  diskursus dilakukan untuk memperbaiki sistem sosial masyarakat yang rusak.

Jika melihat di dalam sejarah, peranan agama dalam konsensus dapat dijadikan untuk mengubah tatanan sosial yang tidak adil. Tatanan yang mengutamakan keadilan sosial seperti yang terjadi dalam perumusan UUD 1945. Tetapi keadaan tersebut semakin jarang, karena dalam masing-masing agamapun timbul pergesekan. Jikalaupun dapat dibangun secara berkelanjutan maka perjuangan melalui dialog merupakan bisa sangat membantu dalam membangun tatanan sosial yang lebih baik.




[1]Band. William Fore, Para Pembuat Mitos (BPK Gunung Mulia: Jakarta, 1999), hal. 88.
[2]Band. Max Weber, Sosiologi Agama (Yogyakarta: IRCISoD, 2012), hal. 389.
[3]Band. Zakaria J. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme – Perjumpaan Umat Kristen Protestan dan Pergerakan Nasional Indonesia 1900 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996, hal. 266.
[4]Viktor I. Tanja, Hidup itu Indah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), hal. 24.[5]Istilah transformasi yang dipakai sebagai tugas diakonia yang dituliskan Josef Widyatmadja dalam bukunya Yesus dan Wong Cilik. Dalam buku ini menjelaskan bahwa permasalahan sosial harus sampai pada tahap preventif dengan melakukan perubahan mendasar yakni perubahan pada sistem yang tidak adil.
[6]Band. Franz Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20 (Yogyakarta: Kanisius, 200), hal. 215-238.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Featured Post Via Labels

Instagram Photo Gallery