Selasa, 31 Mei 2016

Konflik Tanah


Tanah di zaman Perjanjian Lama merupakan simbol dari berkat, tanah pula dapat merupakan simbol kekayaan, tanah adalah tempat dan sumber orang untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari namun tanah pula salah satu sumber konflik hingga terjadi pertumpahan darah. Tanah merupakan aspek yang penting dalam kehidupan manusia, namun demi tanah pula manusia mengorbankan sesamanya.
Konflik mengenai tanah adalah bagian dari konflik agraria. Menurut Gunawan Wiradi, konflik agraria sebagai suatu gejala sosial merupakan proses interaksi antara dua orang atau kelompok atau lebih yang masing-masing memperjuangkan kepentingan antar objek yang sama, seperti air, tanaman, udara, tambang di tanah yang bersangkutan.[1] Dalam konflik ini biasanya yang ikut terlibat dalam konflik yakni pemerintah, pengusaha dan rakyat. Konflik agraria jika tidak terkontrol bisa berakibat pada fatal seperti pembunuhan Salim Kancil, petani di Lumajang, Jawa Timur.
 Menurut catatan akhir tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), 1.085.817 kepala keluarga menjadi korban konflik agraria (2004-2015), dengan luasan 6.942.381 hektar.[2] Akibat konflik tanah tersebut dalam catatan tahun 2015 ratusan orang ditahan aparat, puluhan orang ditembak, seratusan orang terluka dan 5 orang direnggut nyawa. Konflik ini setiap tahunnya justru memperlihatkan peningkatan.
Ketika menjabat sebagai wakil ketua KPK pada tahun 2015, Bambang Widjojanto mengatakan kejahatan korupsi di sektor agraria berada di tiga besar kasus korupsi di Indonesia.[3] Akibatnya terjadi ketidakadilan terjadi bagi rakyat. Telah terjadi ketimpangan pada struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.[4] Diantro Bachriadi dari Komnas HAM mengatakan bawa jaman Jokowi-JK “lebih ganas” bahkan jika dibandingkan dengan rezim orde baru mengenai kasus agrarian. Hal ini terjadi karena Jokowi-JK dianggap tidak peduli dengan konflik dan ketidakadilan yang telah terjadi.
Usia undang-undang pokok agrarian sudah lebih dari 50 tahun (sejak 1960), namun sejak itu pula konflik agrarian tak kunjung redam. Konflik terus terjadi antara rakyat dan pihak penguasa juga pengusaha hingga aparat negara. Rakyat, terutama petani yang menjadi akar rumput yang tidak punya kuasa dan juga tidak terlibat dalam sistem pemerintahan, tentunya akan menjadi korban demi kepentingan tertentu dari pihak yang kuat.
  
Akar Masalah
Keinginan untuk saling menguasai adalah sifat yang khas dari spesies manusia terlihat di sepanjang sejarah. Itupun yang terjadi dengan penguasaan sebagian orang terhadap tanah. beberapa poin akan penulis paparkan mengenai akar pertikaian terkait dengan kepemilikan tanah.
Setelah fenomena krisis pada tahun 2008 mereda, terjadi fenomena lain yang mengglobal yakni perampasan tanah secara luar biasa (massive land grabbling).Perampasan tanah ini akibat tanah yang dianggap kosong (lahan tidur) berpindah tangan utnuk dikembangkan berbagai keperluan dalam skala besar. Pelaku dibalik fenomena ini biasanya adalah perusahaan besar bahkan pemerintah, namun, tanah yang seringkali kosong tersebut merupakan tanah adat atau rakyat setempat yang telah turun temurun tinggal, tetapi hak mereka tidak dihargai.
Akibat dari krisis global 2008 adalah naiknya harga pangan dunia. Akibat dari kenaikan ini tentunya memproduksi bahan pangan secara mandiri adalah jalan keluar bagi negara-negara yang terbiasa mengimpor bahan pangan dari negara lain. Namun perbedaan iklim adalah permasalahan baru bagi negara yang ingin melakukan produksi bahan pangan yang ada di negara berbeda iklim. Contohnya adalah negara-negara yang memiliki 4 musim tentunya tidak dapat menghasilkan bahan pangan dari negara di iklim tropis. Sehingga perampasan tanah dari negara-negara beriklim tropis adalah jalan keluar dari permasalahan ini.
Selain dari itu perubahan iklim global yang terjadi saat ini juga menjadi akar terjadinya perampasan tanah secara global. Akibat perubahan iklim maka negara Uni Eropa mengambil kebijakan baru dalam pemakaian bahan bakar transportasi, emisi gas rumah kaca di Eropa, dsb dengan menetapkan Pedoman Energi Terbarukan pada tahun 2009. Akibat dari kebijakan ini, bahan bakar dari sumber biomassa menjadi pilihan dari energi yang terbarukan.
Asia Tenggara terutama Indonesia adalah sasaran empuk dengan banyaknya lahan yang tersedia untuk dijadikan lahan produksi energi biofeul. Inggris dan Amerika menjadi pemodal yang mengambil peranan bagi berjalannya industri energi yang terbarukan ini.[5] Industri ini berjalan dengan membuka lahan-lahan bagi perkebunan yang berada di desa. Industri-industri ini memang bertujuan bagi menata perubahan iklim yang berdampak secara global, namun membutuhkan pengorbanan yang lain, yakni kerusakan lingkungan dampaknya juga perubahan fungsi tanah di bumi bagian Selatan.
Meskipun hal ini untuk mengontrol iklim yang terjadi di Eropa namun berdampak pada perluasan tanah dan pembukaan tanah berskala besar di Selatan yang juga meningkatnya pertikaian tanah akibat penggusuran dan pengusiran masyarakat di desa.
Disamping itu semua, sistem neoliberalisme menjadi katalisator permasalahan yang terjadi. Sistem neoliberalisme ini mengambil keuntungan dari sifat manusia sebagai homo oecominucus. Penguasa modal mengambil keuntungan dari sifat konsumtif manusia. Keuntungan tidaklah salah, namun jika keuntungan menjadi tujuan utama, maka relasi-relasi yang lain akan dikesampingkan demi tujuan yang dicapai.[6] Keuntungan akan dicapai dengan mengorbankan manusia, ekologi hingga biosfer.
Sebenarnya kemerdekaan yang terjadi di Indonesia dan beberapa negara jajahan di Asia dan Afrika, kecuali negara yang dikuasai kaum Marxis, tidaklah menyebabkan kemerdekaan secara ekonomi, karena sistem ekonomi tetap menguntungkan negara-negara kolonialis.[7] Negara-negara tetap dijajah dengan diambilnya tanah oleh perusahaan-perusahaan asing untuk dijadikan sumber produksi yang menguntungkan secara ekonomi negara-negara “kolonial”. Investasi asing ini memang menguntungkan dan telah menghasilkan pertumbuhan seperti yang terjadi di Malaysia dan Singapura, tetapi menciptakan ketergantungan pada perusahaan-perusahaan asing.[8]
Sistem neoliberalisme itu terwujud dalam lembaga-lembaga tertentu seperti IMF (International Monetary Fund), akibat dengan bergabungnya negara-negara kaya akan minyak dengan negara-negara lain dalam kekuasaan modal, maka negara-negara miskin hanya akan menikmati secuil keuntungan dari kekayaan yang diperoleh.[9] Demikian juga yang akan terjadi melalui kekuatan ekonomi yang baru, yakni Cina. Cina dan beberapa negara pendukung, yang salah satunya adalah Indonesia, telah membentuk Asian Infrastructure and Investment Bank (AIIB). Lembaga tersebut memang bertujuan untuk meminjamkan uang kepada negara miskin dan negara-negara yang sedang membangun[10], tetapi tujuan tersebut tidak murni tanpa imbalan namun ada kepentingan bagi deregulasi domestikterkait dengan hak-hak kepemilikan tanah dan melapangkan jalan investasi terkait dengan kepemilikan dan urusan sewa-menyewa properti (tanah) di luar teritori negara.[11]
Selain perampasan tanah dari luar, juga terdapat perampasan tanah dari dalam (Internal Land Grabbling), yang memainkan aktor dalam peranan ini adaalah negara. Dengan alasan pembangunan, negara menggusur rakyat dari tanah yang telah didiami turun temurun.[12] Sebagai contoh yang terbaru adalah proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang disponsori oleh Cina. Proyek ini menyingkirkan rakyat yang ada di tanah proyek pembangunan rel kereta dan stasiun kereta, begitu pula mereka yang dekat dengan stasiun kereta akan rentan untuk pembebasan lahan demi bisnis waralaba (tentunya seperti apartemen bagi kalangan menengah dan juga toko-toko seperti alfamart, indomart).[13] Demikian pula proyek reklamasi teluk jakarta dan juga di Bali yang sudah diwacanakan, proyek yang akan menyingkirkan nelayan dan merusak tatanan ekosistem pantai[14] yang justru kembali akan menguntungkan kalangan menengah ke atas dengan bisnis properti baru di sekitarnya. Dengan dampak yang diakibatkan, wacana ini telah banyak ditolak oleh aktivis-aktivis lingkungan.
Dengan berbagai proyek berkedok pembangunan, pinjaman negara kepada luar negeripun semakin bertambah. Hal ini dapat dilihat dalam catatan BAPPENAS yang bisa dibaca langsung di website resminya. Namun konsep pembangunan seperti ini masih belum berdampak bagi kesejahteraan dan keadilan sosial rakyat Indonesia. Konsep pembangunan ini layaknya tidak berbeda jauh dengan pembangunan orde baru yang menggunakan logika ekonomi efek tetesan kebawah (trickle down effect), pembangunan ini justru melebarkan jurang kesenjangan sosial antara yang kaya dan miskin.[15]

Dampak Pertikaian
Dengan melihat akar pertikaian yang terkait hingga ke dalam sistem pemerintahan, tentu di antara para pelaku pertikaian, yakni rakyat, pengusaha dan penguasa, yang paling dirugikan dan menerima ketidakadilan adalah rakyat kecil. Rakyat kecil adalah mereka yang tidak memiliki akses dalam sistem pemerintahan seperti para penguasa dan juga tidak mempunyai modal yang besar layaknya pengusaha, mereka juga tidak ditunjang pengetahuan akan hukum sehingga sering diperalat oleh mereka yang berkepentingan neoliberalis (keuntungan sebagai tolak ukur yang terutama dari segala sesuatu).
Seiring dengan meningkatnya perampasan dan penggusuran tidak teriring pula dengan terciptanya lapangan kerja atau pembangunan di desa-desa yang terjadi konflik. Bank Dunia melaporkan bahwa perluasan lahan oleh para pemilik modal justru tidak mempunyai dampak yang diharapkan, justru memperburuk keadaan yang sebelumnya. Berbagai laporan menunjukkan bahwa kepentingan dari perampasan tanah yang terjadi di negara-negara Selatan adalah kepentingan ekonomi, bukan demi kemajuan daerah ataupun kepedulian terhadap iklim.
Dengan konflik yang terjadi dan berbagai kepentingan yang terlibat, maka banyak rakyat kecil justru yang kehilangan tanah  yang telah mereka diami turun-temurun. Dengan kehilangan tanah, maka kehilangan juga lahan bagi mereka menghidupi kehidupan sehari-hari. Perlawanan yang dilakukan rakyat kecil justru mengakibatkan hukuman, siksaan hingga nyawa yang jadi taruhan. Jikalaupun mereka dilibatkan dalam industri yang dikuasai pemilik modal, tentunya mereka akan menjadi buruh murah, namun tetap terlepas dari akses tanah dan alam mereka.
Akibat dari konflik ini maka rakyat kecil hanya berpangku tangan pada tenaga sendiri, sementara untuk berkompetisi di daerah industrialisasi perkotaan mereka tidak punya keterampilan dan pengetahuan. Akibat dari ketidakadilan kepada rakyat kecil yang dipengaruhi sistem ini mengakibatkan juga kepada kemiskinan. Hal ini juga disadari Muslim Kasim mengenai karakteristik kemiskinan di Indonesia, bahwa kemiskinan disebabkan oleh ketidakadilan struktural dalam mengalokasikan dana dan sumber daya secara adil kepada masyarakat.[16] Kemiskinan seperti ini disebutkan oleh Paul Spicker sebagai Structural explanations, faktor ini menganggap bahwa kemiskinan timbul akibat dari ketidakseimbangan, perbedaan status yang dibuat oleh adat istiadat, kebijakan, dan aturan lain menimbulkan perbedaan hak untuk bekerja, sekolah dan lainnya hingga menimbulkan kemiskinan di antara mereka yang statusnya rendah dan haknya terbatas.[17] Kemiskinan yang disebabkan oleh dampak kebijakan pemerintah, atau kebijakan yang tidak berpihak pada kaum miskin juga masuk ke dalam faktor ini, sehingga kemiskinan yang timbul itu sering disebut dengan kemiskinan struktural.

Kesimpulan
Tanah merupakan bagian yang tak terpisahkan bagi kelangsungan seluruh makhluk hidup di bumi. Tanah adalah tempat di mana pula manusia dapat memperoleh sumber sandang, pangan dan papan. Tanah adalah anugrah dari Tuhan yang diberikan bagi manusia. Namun adapula manusia yang demi keuntungan rela mengorbankan manusia lain demi memperoleh hak atas tanah. pertikaian tanahpun tak terhindarkan. Dimulai dari krisis global yang mempengaruhi harga pangan dunia hingga sistem neoliberalisme yang menjadi motor penggerak berjalannya tatanan dunia mengakibatkan pertikaian mengenai tanahpun semakin melonjak secara presentase.
Pertikaian ini tidaklah terjadi secara seimbang karena rakyat terus menjadi korban. Rakyat tergusur dari tanah yang telah mereka diami turun-temurun. Mereka seringkali pula dimanipulasi akibat keterbatasan akan pengetahuan mengenai hukum. Jikalaupun mereka melawan maka nyawa yang menjadi taruhan. Akibatnya rakyat terlepas dari akses mereka kepada tanah dan alam. Mereka hanya dapat berpangku tangan kemudian kemiskinan menjadi sahabat hingga turun temurun. Hal ini mengakibatkan kesenjangan sosial yang menganga semakin lebar antara yang kaya dan yang miskin di Indonesia. Kemiskinan yang terjadi secara struktural.
Isu ini haruslah juga menyentuh kedalam kegelisahan berteologi gereja. Isu ini mengenai tanah tetapi juga berkaitan langsung dengan manusia. Tanah yang telah dijadikan lahan produksi oleh para penguasa dan pengusaha tak jarang pula mengorbankan lingkungan dan juga sesama demi pencapaian keuntungan yang sebesar-besarnya. Calvin menuliskan bahwa alam ini adalah teater kemuliaan Allah jika alam ini dipakai hanya untuk keserakahan, kebodohan dan agresi yang dilakukan oleh manusia tentunya Allahpun tidak menghendaki itu.



[1]Gunawan Wiradi, Seluk-Beluk Masalah Agraria dan Penelitian Agraria (Jakarta: Sijogyo Institut, 2009)
[2]Laporan akhir tahun KPA tahun 2015 dapat diunduh dari http://www.kpa.or.id/news/publikasi/
[3]https://m.tempo.co/read/news/2015/01/09/058633840/kpk-angka-kejahatan-korupsi-agraria-tinggi
[4]Ibid.                                                      
[5]Lih. http://bisnis.liputan6.com/read/2353156/akhirnya-indonesia-dan-malaysia-akur-dalam-bisnis-minyak-sawit.
[6] Tissa Balasuriya, Teologi Siarah (Jakarta: Gunung Mulia, 1994), hal. 36.
[7]Tissa Balasuriya, ibid.
[8]Tissa Balasuriya, ibid. Hal. 38.
[9]Ibid. Hal. 37.
[10]Iwan Jaya Azis, Pembangunan Berkelanjutan (Jakarta: Gramedia, 2010), hal. 166.
[11]Bnd. Fahmy Radhi, Kebijakan Ekonomi Pro Rakyat (Jakarta: Penerbit Republika, 2008), hal. xi.
[12]Bnd. Budi Susanto, Sisi Senyap Politik Bising (Yogyakarta: Kanisius, 20070, hal. 116.
[13]Bnd. Arcom.co.id/2016/02/ada-hak-penguasaan-tanah-dalam-proyek-kereta-api-cepat/
[14]Bnd. Print.kompas.com/baca/2015/11/11/dilema-reklamasi-pantai-jakarta
[16]Muslim Kasim, Karakteristik Kemiskinan di Indonesia dan Strategi Penanggulangannya (Jakarta: Indomedia Global, 2006), hlm. 58.
[17]Paul Spicker, Poverty and the Welfare State : Dispelling the Myths (London: Catalyst, 2002), hlm. 78.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Featured Post Via Labels

Instagram Photo Gallery