Tidak lama setelah demo yang
mengatasnamakan Islam 4 November lalu berselang, terdengar lagi isu demo
susulan yang akan dilakukan. Demo susulan tersebut awalnya saya dengar dari WA
group, tidak hanya itu, isunya juga demo ditunggangi kelompok tertentu yang akan
melakukan aksi bom bunuh diri. Selang berapa lama setelah info dari WA kemudian
saya juga membaca status teman di FB bahwa sekolah tempat dia mengajar
mendapatkan ancaman bom.
Berawal dari kasus Ahok yang
dianggap menista agama kemudian demo akbar di Jakarta hingga isu-isu belum jelas mengenai bom tentunya
meresahkan. Rakyat resah dengan pernyataan Ahok sehingga memicu gerakan massa
dari berbagai daerah melakukan demonstrasi, adapula rakyat yang resah karena
diakhir demo ada kerusuhan hingga rakyat resah karena ancaman bom.
Mengenai Ahok, kubu Islam sendiri
terlihat terbelah menanggapi isu ini. Ada yang menganggap Ahok penista agama
ada pula yang tidak. FPI adalah salah satu ormas yang menghujat keras Ahok.
Media sosial juga menjadi penggerak kemarahan massa dengan status-status yang
menjelaskan kesalahan Ahok.
isu mengenai agama, etnis dan
rasis memang sangat cepat menjadi bahan bakar massa untuk melakukakan
pergerakan. Kita dapat belajar dari kasus Ambon, Poso, Sampang, Sampit hingga
Jakarta. Rakyat kemudian menjadi korban akibat isu tersebut sehingga terjadi
konflik horizontal hingga dapat mengorbankan nyawa.
Isu SARA, melalui sentimen etnik
dan agama merupakan sumbu pemicu ledakan bom konflik di Indonesia. Namun,
menurut Prof. Tamrin, yang pernah di siram teh ketika diskusi oleh Munarman dan
disiarkan langsung tvO**, isu SARA hanyalah tampilan luar dari konflik. Ibarat sebuah
bom rumah, selain sumbu, bom tersebut juga memiliki lapisan luar dan amunisi di
dalamnya.
Lapisan luar sebuah bom yang menjadi
fasilitator konflik dimulai dari konteks lokal, nasional dan Internasional. Konflik
dapat terjadi dapat terlihat dari beberapa indikator dari konteks lokal. Indikator
tersebut antara lain maukah kita bertetangga, bersekolah, bekerja,
berorganisasi hingga yang tertinggi menikah dengan orang yang berbeda SARA. Dalam
konteks Nasional dapat terlihat dari “penyekatan” SARA dalam lingkungan
pemerintahan dan juga konteks internasional yang menopang aksi konflik.
Amunisi merupakan akar dari
konflik. Akar tersebut adalah struktur ekonomi-politik. Ketimpangan ekonomi-politik,
ketidakadilan, menjadi amunisi yang ampuh untuk meledakkan konflik. Sumbu yang
tampak melalui perbedaan etnik dan agama merupakan tampilan luar yang di isi
oleh ketidakadilan untuk memicu ledakan konflik.
Jika lapisan luar, amunisi dan
sumbu telah selesai dibuat maka yang terakhir beraksi untuk meledakkan bom
adalah pemantik. Provokator, dalam hal ini diibaratkan dengan pemantik. Jika pemantik
telah dinyakan maka meledaklah bom tersebut.
Prof. Tamrin menghasilkan teori
ini setelah melakukan penelitian di Halmahera dan Ambon. Menurutnya kombinasi
beberapa faktor tersebutlah yang memicu konflik. Dan faktor-faktor tersebut
dapat diterapkan di berbagai konflik di Indonesia.
Konflik yang diwarnai isu SARA
ini rentan menjadi konflik horizontal, sesama rakyat. Tidak heran setelah kasus
Ahok maka ada isu yang menyerang kaum minoritas. Kemanusiaan digilas atau viktimisasi istilah Paul Knitter, tidak
hanya mereka yang diserang namun yang menyerang, tidak hanya yang ditindas
tetapi juga yang menindas.
Berbagai kasus tersebut justru berdampak
bagi penderitaan rakyat. Namun tentunya dengan konflik horizontal antar sesama
kita menjadi lupa untuk melawan musuh rakyat yang lebih besar, yakni ketidakadilan
struktural yang menjadi amunisi ledakan konflik.
Ketidakadilan struktural
ekonomi-politik hanya bisa dilawan dengan cara rakyat bersatu bukan terpecah
belah. Jika teori Adam Smith benar, maka ada tangan yang tak tampak (invisible hand) yang justru mengambil
keuntungan dari kondisi ini. Tangan tak tampak yang bersifat demonis. atau pula
mungkin praktik devide et impera ala
Belanda semakin disempurnakan justru sekarang ini.
0 komentar:
Posting Komentar