Gejala-gejala hingga aksi fanatisme agama telah tampak nyata di Indonesia. Fanatisme beragama terwujud dalam kebencian terhadap perbedaan. Kata-kata makian hingga ancaman keluar begitu saja demi membela agama. Aksi teror mengatasnamakan agamapun hadir hingga merenggut nyawa manusia.
Fanatisme beragama ini semakin terlihat ketika dan setelah
isu penistaan agama yang dilakukan gubernur Jakarta. Mereka mengatasnamakan
kebhinekaan dan persatuan NKRI. Walaupun demikian, rasa benci terhadap yang
berbeda identitas tidak bisa disembunyikan.
Yang menarik setelah berbagai fenomena yang tampak di
permukaan, berbagai reaksi pula hadir dari berbagai kalangan termasuk kalangan
kristen. Saya yang tinggal dalam lingkungan sekolah teologi melihat upaya penyuaraan
terhadap keberagaman. Parade budaya dari beragam latar belakang etnis
ditampilkan pada acara desa di daerah kami.
Reaksi pula muncul dari tokoh-tokoh agama. Ada yang jarang
menulis status di FB atau Twitter mengenai realitas sosio-politik di Indonesia
tiba-tiba menyuarakan keberpihakannya. Padahal biasanya hanya menulis
ajaran-ajaran moral ataupun kata-kata motivasi yang selalu tak kugubris.
Di samping dampak yang buruk oleh fanatisme agama ini, adapula
dampak baik yang dapat di petik. Ada yang dulunya mungkin tidak mau tahu
terhadap kondisi sosio-politik di Indonesia dipaksa harus tahu. Ada yang
dulunya mencoba netral dipaksa untuk berpihak - sekalipun yang terlihat hanya
berpihak pada Ahok -. Semua ini terjadi karena permasalahan diberitakan di
televisi dapat juga dialami kapan saja dan oleh siapa saja. Bisa saja aksi
pemboman terjadi di Malang tidak di Samarinda, demikian juga dengan pelarangan
ibadah ataupun pemboikotan makanan hingga anti sana dan sini.
Jika melihat reaksi dari kalangan kristen maka suara-suara
yang dikumandangkan lebih banyak menyangkut penerimaan terhadap perbedaan. Akar
masalah yang terjadi disini bisa jadi hanya mengenai isu ajaran agama yang
keliru. Ajaran agama yang menjadi bibit fanatisme ini harus dilawan dengan
ajaran lain yang lebih terbuka terhadap perbedaan.
Bibit fanatisme yang timbul dari ajaran agama yang keliru tentu
bisa saja diterima. Namun tidak bisa juga dipungkiri, fanatisme agama yang
dapat berwujud aksi terorisme diawali juga dari ketidakpuasan kondisi ekonomi-politik
yang ada di Indonesia bahkan dunia.
Ketidakpuasan terhadap tatanan ekonomi-politik yang ada di
Indonesia dapat menjadi lahan yang subur bagi bibit fanatisme agama. Kondisi
kesenjangan ekonomi yang tidak dapat dipungkiri, perampasan tanah demi
infrastruktur dan industrialisasi yang terjadi, rumah-rumah orang miskin yang digusur
hingga politik oligarki yang menjadi permasalahan negeri tampak nyata di depan mata.
Hal ini terlihat oleh aksi Rachmawati Soekarnoputri dan juga
kawan-kawan lainnya yang ditangkap akibat isu makar, mereka mengambil celah
ini. Mereka kemudian ingin memberikan alternatif melalui kembali pada UUD 1945
yang asli. Adapula yang ingin memberikan alternatif dengan mendirikan negara
Islam seturut dengan syariat Islam.
Melihat ini tentunya dengan berbagai ajaran dan aksi
fanatisme yang terjadi tidak sepenuhnya akibat ajaran agama yang keliru. Ajaran
agama yang keliru itu adalah bagian dari elemen lainnya, yakni ketidakpuasan
terhadap ekonomi-politik yang ada. Permasalahan itu nyata dan banyak yang
menderita akibatnya.
Yang patut di tunggu adalah bagaimana reaksi kristen
terhadap faktor ekopol tersebut. Jika hanya mengangkat isu mengenai
kebhinekaan, keharmonisan, pluralisme bisa jadi hanya aksi-aksi reaktif yang
akan selalu kita temui dan saksikan dari kalangan kristen.
0 komentar:
Posting Komentar