Sabtu, 28 Januari 2017

Korupsi


Kasus korupsi patrialis akbar kocak juga. dia mewakili seorang yang agamis. Perawakannya sesuai standar agama. Menentang LGBT dan pemimpin kafir. Tidak lupa gelar di depan nama yang meyakinkan itu. Partnernya korupsi seorang pendeta, Basuki Hariman. Mereka berdua tidak bersaudara dalam iman namun dalam uang.

Agama memang dapat menjadi wadah yang cocok bagi penghisapan dan penindasan sesama. Agama dapat memanipulasi tetapi juga dapat menjadi alat subversi. itu sudah terbukti dari zaman para nabi. Kedua orang di atas menjadi contoh. Kata-kata manis dan perilaku moral yang terpuji tapi terjerat korupsi.

Sebenarnya di tengah moralisme kehidupan agama kita, cara mereka patut diapresiasi. Beragama saat ini disibukkan dengan simbol-simbol luaran. Kita bergelut sebatas moralitas individual-spiritual. LGBT kita tentang sampai ke akar, namun tidak dengan kasus perampasan tanah. Orang beristri dua menjadi topik panas tapi tidak dengan kasus pelanggaran HAM. Kita memuji gelontoran uang diberikan pengusaha dalam rumah ibadah, yang bisa jadi hasil eksploitasi dari keringat buruh. Sikap dermawan pejabat sangat disanjung terlepas dari asal usul kekayaan yang mereka akumulasi. Moralisme ini menjadi sarana pelanggengan korupsi. Untuk rakyat, mereka menjadi tidak kritis terhadap penguasa. Untuk penguasa, menjadi alat manipulasi umat.

Mengenai kasus korupsi, tidak hanya baru kali ini, dia terus mewarnai media. Individu-individu terus diciduk akibatnya. Tidak main-main, sampai yang mantan menteripun terlibat. Korupsi sudah membudaya, katanya. Tapi dengan banyaknya kasus korupsi yang ada, sangat mungkin juga didukung dengan struktur.

Hal ini terlihat dari kekuasaan dan kapital/uang yang menjadi pasangan harmonis dalam arena demokrasi kita. Dengan kekuasaan seseorang dapat mengakumulasi uang, demikian juga sebaliknya, cara memperoleh kekuasaan adalah dengan uang. Tidak heran seseorang dapat mengeluarkan banyak uang demi memasarkan namanya kepada rakyat agar gambarnya di coblos. Capaian milyar hingga triliunan dikeluarkan. Sehingga penelitianpun mengatakan korupsi merupakan masalah umum di negara demokrasi seperti ini. Slogan ‘dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat’ menjadi ‘dari rakyat, oleh pejabat, untuk kepentingan bisnis’.

Korupsi yang telah terstruktur tidak bisa dilawan dengan kacamata moralis keagamaan. Pelaku tidak bisa hanya dilihat sebagai individu yang jahat. Korupsi tidak hanya dilihat kejahatan personal karena kurangnya kedekatan dengan Allah.  korupsi ditandingi bukan dengan hujatan terhadap moralitas di atas mimbar ibadah. Korupsi tidak hanya ditumpas melalui doa bagi penegakan hukum kita. Walaupun semua hal tersebut bukannya tidak penting.

Agama yang dikikis hanya mengurusi masalah moral keagamaan menjadi sarana pelanggengan kekuasaan orde baru. contohnya partai politik islam yang hanya berkutat di urusan moral, namun tercerai dengan keadilan sosial. Ditambah ‘legitimate performance’ yang berhasil memberikan standar hidup layak, tidak heran masih banyak orang memimpikan kembali ke era itu.

Era orde baru memperlihatkan jelas, korupsi yang diakibatkan politik dikuasai militer dan disokong pebisnis. Korupsi yang telah mengurat akar tersebut memicu reformasi. Salah satu cara menghentikan korupsi era reformasi melalui pembentukan KPK. Sayangnya, hingga kini korupsi terus merajai.

Demokrasi ala kapitalisme dengan perkawinan kekuasaan dan kapital harus dipikirkan ulang. Apakah ini sistem terbaik bagi negeri ini? Rakyat perlu berperan aktif, lingkup agama seharusnya tidak hanya lembaga moralisme. Struktur yang mengakibatkan ketidakadilan sosial akibat korupsi adalah dosa yang Allah kutuk. jika abai terhadap hal ini, jangan heran fanatisme agama bertumbuh subur. Mereka mewarnai arena publik. Mungkin itu juga cara Tuhan menegur keagamaan kita.   



0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Featured Post Via Labels

Instagram Photo Gallery