Kasus korupsi patrialis akbar kocak juga. dia mewakili
seorang yang agamis. Perawakannya sesuai standar agama. Menentang LGBT dan
pemimpin kafir. Tidak lupa gelar di depan nama yang meyakinkan itu. Partnernya
korupsi seorang pendeta, Basuki Hariman. Mereka berdua tidak bersaudara dalam
iman namun dalam uang.
Agama memang dapat menjadi wadah yang cocok bagi penghisapan
dan penindasan sesama. Agama dapat memanipulasi tetapi juga dapat menjadi alat
subversi. itu sudah terbukti dari zaman para nabi. Kedua orang di atas menjadi
contoh. Kata-kata manis dan perilaku moral yang terpuji tapi terjerat korupsi.
Sebenarnya di tengah moralisme kehidupan agama kita, cara mereka
patut diapresiasi. Beragama saat ini disibukkan dengan simbol-simbol luaran.
Kita bergelut sebatas moralitas individual-spiritual. LGBT kita tentang sampai
ke akar, namun tidak dengan kasus perampasan tanah. Orang beristri dua menjadi
topik panas tapi tidak dengan kasus pelanggaran HAM. Kita memuji gelontoran
uang diberikan pengusaha dalam rumah ibadah, yang bisa jadi hasil eksploitasi
dari keringat buruh. Sikap dermawan pejabat sangat disanjung terlepas dari asal
usul kekayaan yang mereka akumulasi. Moralisme ini menjadi sarana pelanggengan
korupsi. Untuk rakyat, mereka menjadi tidak kritis terhadap penguasa. Untuk penguasa,
menjadi alat manipulasi umat.
Mengenai kasus korupsi, tidak hanya baru kali ini, dia terus
mewarnai media. Individu-individu terus diciduk akibatnya. Tidak main-main,
sampai yang mantan menteripun terlibat. Korupsi sudah membudaya, katanya. Tapi dengan
banyaknya kasus korupsi yang ada, sangat mungkin juga didukung dengan struktur.
Hal ini terlihat dari kekuasaan dan kapital/uang yang
menjadi pasangan harmonis dalam arena demokrasi kita. Dengan kekuasaan
seseorang dapat mengakumulasi uang, demikian juga sebaliknya, cara memperoleh
kekuasaan adalah dengan uang. Tidak heran seseorang dapat mengeluarkan banyak uang
demi memasarkan namanya kepada rakyat agar gambarnya di coblos. Capaian milyar
hingga triliunan dikeluarkan. Sehingga penelitianpun mengatakan korupsi
merupakan masalah umum di negara demokrasi seperti ini. Slogan ‘dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat’ menjadi ‘dari rakyat, oleh pejabat, untuk
kepentingan bisnis’.
Korupsi yang telah terstruktur tidak bisa dilawan dengan
kacamata moralis keagamaan. Pelaku tidak bisa hanya dilihat sebagai individu yang
jahat. Korupsi tidak hanya dilihat kejahatan personal karena kurangnya
kedekatan dengan Allah. korupsi
ditandingi bukan dengan hujatan terhadap moralitas di atas mimbar ibadah. Korupsi
tidak hanya ditumpas melalui doa bagi penegakan hukum kita. Walaupun semua hal
tersebut bukannya tidak penting.
Agama yang dikikis hanya mengurusi masalah moral keagamaan
menjadi sarana pelanggengan kekuasaan orde baru. contohnya partai politik islam
yang hanya berkutat di urusan moral, namun tercerai dengan keadilan sosial. Ditambah
‘legitimate performance’ yang berhasil memberikan standar hidup layak, tidak
heran masih banyak orang memimpikan kembali ke era itu.
Era orde baru memperlihatkan jelas, korupsi yang diakibatkan
politik dikuasai militer dan disokong pebisnis. Korupsi yang telah mengurat
akar tersebut memicu reformasi. Salah satu cara menghentikan korupsi era
reformasi melalui pembentukan KPK. Sayangnya, hingga kini korupsi terus
merajai.
Demokrasi ala kapitalisme dengan perkawinan kekuasaan dan
kapital harus dipikirkan ulang. Apakah ini sistem terbaik bagi negeri ini? Rakyat
perlu berperan aktif, lingkup agama seharusnya tidak hanya lembaga moralisme. Struktur
yang mengakibatkan ketidakadilan sosial akibat korupsi adalah dosa yang Allah
kutuk. jika abai terhadap hal ini, jangan heran fanatisme agama bertumbuh subur.
Mereka mewarnai arena publik. Mungkin itu juga cara Tuhan menegur keagamaan
kita.
0 komentar:
Posting Komentar