Disamping kontribusinya yang banyak dalam penulisan
kitab-kitab Perjanjian Baru, Paulus juga banyak memberikan inspirasi bagi
pergerakan misi. Berdasarkan surat-suratnya dan juga kisah tentangnya, banyak
orang ingin mempelajari strategi, metode hingga praktek bermisi ala Paulus.
Sekalipun begitu, teladan misi yang dipungut seringkali
hanya sekisaran pertambahan jemaat, pemberitaan Injil, praktek apologetik namun
jarang yang melihat aspek politis apalagi melalui pertentangannya dengan kekuasaan atau
pemerintahan.
Kaitan antara ajaran Paulus dan pemerintah biasanya hanya
berdasarkan Roma 13:1 yang menjadi ayat favorit utuk menjawab etika politik
kristen: "Tiap-tiap orang harus
takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang
tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh
Allah."
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan perintah tersebut,
tetapi jika itu melegitimasi untuk diam di tengah kenyataan pemerintahan yang
tidak adil, maka tentunya harus dipertimbangkan ulang.
Antara Stoa, Epikurus dan gerakan kaum Zelot
Antara Stoa, Epikurus dan gerakan kaum Zelot
Di tengah konteks kehidupan yang dihadapi Paulus ada dua
ekstrim sikap terhadap pemerintah. Sikap yang pertama adalah melakukan
perlawanan melalui tindakan radikal. Mereka ini adalah kaum Zelot. Mereka akan
melakukan apapun untuk merebut kekuasaan, baik itu dengan aksi kekerasan dan
terorisme. Yang kedua adalah gerakan menarik diri ala Stoa dan Epikurus. Mereka
bersikap apolitis, membenci bahkan menjauhi masyarakat. Pemerintahan bagi
mereka adalah hal yang kotor dan duniawi sehingga harus dihindari.
Di tengah kedua ekstrem tersebut hadirlah tulisan
Roma 13:1. Paulus menyatakan bahwa pemerintahan bukanlah sesuatu yang kotor dan
harus dijauhi, pemerintah itu berasal dari Allah. penyataan Paulus itu sangat
mungkin ditujukan kepada mereka yang terjangkit ajaran Stoa dan Epikurus. Taat kepada
pemerintah bukanlah hal kejahatan, karena pemerintahanpun berasal dari Allah.
Namun di sisi lain, di tengah pemberhalaan kepada Kaisar
pada zamannya, Paulus juga memberikan perlawanan. Yesus Kristus yang diberitakan
itu berdimensi konfrontatif terhadap tatanan pemerintahan yang ada.
Pemberitaan Yesus
Pemberitaan Yesus
Yesus adalah yang diurapi, dia sebagai mesias yang menjadi
paket khotbah dalam misi Paulus. Pemberitaannya ini mengandung bahaya karena
istilah ini memiliki konotasi politis: Dia akan menjadi raja dan penguasa.
Kematiannya tidaklah membuktikan pergerakannya gagal. Ia adalah
Tuhan yang bangkit dan berotoritas yang patut ditaati, entah itu orang Yahudi,
Yunani atau Romawi.
Hal ini tentunya bertentangan dengan kultus kaisar. Eckhard
Schnabel, dalam buku Rasul Paulus sang
Misionaris, menuliskan bahwa semua orang di daerah jajahannya diwajibkan
ikut dalam penyembahan kepada Kaisar. Ia juga menggambarkan perayaan tahunan
yang dilakukan untuk menghormati kaisar, namun Paulus mengharapkan jemaat di
Korintus untuk tidak menghadiri pesta tersebut (1 Kor. 8:4-6; 10:21).
Selain itu juga ia menyerang legitimasi keputusan
pemerintahan Romawi ketika menyatakan kebangkitan Yesus. penegasan bahwa
kematiannya di kayu salib adalah rencana keselamatan Allah dimaknai sebagai
Pilatus alat Allah. Jika Yesus adalah juruselamat seharusnya penguasa Romawi di
provinsi Yudea tidak menyalibkan Dia.
Ada pula pemberitaan Yesus yang disalibkan, bangkit dan dinantikan bertentangan
dengan tatanan kota karena struktur egaliternya, tidak ada orang Yahudi atau
orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau
perempuan. Dengan tatanan hirearkis yang menekankan keallahan sang Kaisar dan
anggota keluarga kaisar maka iman dan ketaatan kepada Yesus yang disalibkan
adalah kriminal.
Melihat hal ini, Paulus tentunya tidak mengajarkan bahwa
kita harus pasif di tengah kelaliman dan ketidakadilan pemerintah. Yesus yang diberitakannya juga melawan tatanan hidup yang tak seimbang.
Melihat pemerintahan yang tidak adil juga menuntut kita bertanya, seperti yang Petrus dan Yohanes tanyakan, “mana yang benar: taat kepada manusia atau kepada Allah?”. Ketika kita coba tarik sedikit dalam konteks kita, melihat para petani direnggut tanahnya, orang miskin digusur, pelanggaran HAM diabaikan, kekayaan yang dimonopoli segelintir orang apakah ini sudah melawan ketetapan Allah atau justru kita berdalih ini hanya sekadar perspektif?
Melihat pemerintahan yang tidak adil juga menuntut kita bertanya, seperti yang Petrus dan Yohanes tanyakan, “mana yang benar: taat kepada manusia atau kepada Allah?”. Ketika kita coba tarik sedikit dalam konteks kita, melihat para petani direnggut tanahnya, orang miskin digusur, pelanggaran HAM diabaikan, kekayaan yang dimonopoli segelintir orang apakah ini sudah melawan ketetapan Allah atau justru kita berdalih ini hanya sekadar perspektif?
0 komentar:
Posting Komentar