Minggu, 27 November 2016

Benci



Ekspresi kebencian dapat ditemui di keseharian. Melihat berita di tv, membaca koran, berselancar di media sosial, hingga relasi keseharian dapat tampak wajah kebencian yang biasa dipertotonkan. Kebencian terhadap agama, suku, ras dan antar golongan bisa dipicu hanya akibat perbedaan. Kata-kata makian hingga tindakan kekerasan merupakan ekspresi yang terlihat.

Biasa juga dikabarkan orang-orang mengerumuni pencuri hanya untuk berlomba untuk menghadiahi pukulan. Di keseharianpun terkadang hal sepele bisa memicu kebencian, masalah pinjam-meminjam bolpen hingga meminta kertas untuk mencetak tugas dapat memicu sumpah serapah ketika di bangku kuliah.

Kebencian itu mudah ditemukan dan bisa hadir kepada siapa saja. namun, kebencian itu menguras waktu, pikiran dan tenaga. Yesus mengajar tentang berdamailah dengan saudara sebelum melakukan ritual ibadah di dalam Matius 5:23-24:

Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.”

Berdamai dengan saudara adalah lingkaran orang-orang dekat, tetapi Yesus memberi teladan juga untuk berdamai dengan siapapun bahkan dengan orang-orang yang tidak dikenal dan membenci kita. Ketika Yesus disalib ia dapat berdamai dengan orang-orang yang mengutuk, mengadili hingga yang menghujam paku di tangan dan kakinya. Yesus mengampuni mereka karena mereka tidak tahu apa yang diperbuatnya.

Gus Mus yang belum lama ini diberitakan di cerca di media sosial pun telah meneladankan untuk berdamai dengan orang yang mencercanya. Kebencian memang mudah timbul di tengah harga diri yang begitu tinggi. Harga diri bisa dibalut dengan agama, suku, ras dan antar golongan atau kepentingan-kepentingan untuk melegitimasi kebencian.

Yesus hadir ke dunia dengan mengosongkan dirinya agar menjadi sama seperti manusia. Yesus tidak hanya merendahkan diri tetapi meniadakan dirinya untuk menunjukkan kasihnya dan solidaritasnya kepada manusia yang menderita akibat dosa. Di tengah duniapun ia meleburkan dirinya dengan orang-orang yang paling hina dan terpinggirkan. Yesus meleburkan diri dengan orang Samaria, pemungut cukai, pelacur, penyakit kusta, orang-orang miskin dengan cara hidup bersama mereka, merasakan apa yang mereka rasakan dan berada dipihak mereka.

Melalui peleburan diri dengan mereka yang paling hina dan terpinggirkan, kebencian yang berbuah dari benih harga diri yang tinggi tidak akan bertumbuh subur. Ia seperti ditanam di tanah yang kering. Kitapun tidak lagi disibukkan oleh masalah-masalah sepele yang bisa menghabiskan waktu sebagian hidup kita akibat rasa benci.

Jumat, 25 November 2016

Keberpihakan Kristen


Mengasihi sesama manusia tentu itu ada di setiap ajaran agama. Dalam ajaran kristen, perintah itu merupakan perintah utama yang merupakan inti dari hukum taurat. “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu... kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”, kata Yesus untuk menjawab pertanyaan ahli Taurat mengenai perintah yang paling utama.

Perintah mengasihi sesama manusia ini sendiri telah diteladani Yesus melalui kehidupannya. Yesus mengasihi terutama bagi mereka yang berdosa, miskin dan terpinggirkan. Yesus mengasihi mereka yang berbeda agama dan suku yang seringkali menjadi tembok pemisah sosial di dalam masyarakat. Yesus mengasihi tanpa memandang SARA.

Ajaran kasih itu pula hadir di setiap tulisan pastoral Paulus kepada jemaat-jemaat yang tersebar di berbagai tempat. Namun yang menariknya ada kalimat di salah satu surat Paulus mengenai perbuatan baik terhadap semua orang tetapi diutamakan kepada kawan-kawan yang seiman (Gal. 6:10).

Di dalam tradisi teologi kristen ada yang mengajarkan untuk mengutamakan mereka yang miskin dan terpinggirkan untuk menyalurkan kasih. Teologi ini biasanya lahir di tengah konteks ketidakadilan sosial yang sebagian besar ada di dunia ketiga ataupun bagian Selatan. Teolog-teolog dan pemuka agama menyuarakan suara mereka yang tidak didengar untuk memperjuangkan keadilan layaknya para nabi. Kritik profetis ditujukan kepada mereka yang berkuasa dan yang melanggengkan penindasan.

Kegaduhan politik

Di tengah kegaduhan politik di Jakarta menjelang pemilihan gubernur, kegaduhan semakin menguat ketika Ahok terlibat kasus penistaan agama apalagi ia telah ditetapkan sebagai tersangka. Berbagai respon masyarakat bermunculan, entah itu yang mendukung ataupun bersimpati kepada Ahok hingga yang ingin secepatnya memenjarakan Ahok.

Kegaduhan politik di Jakarta ini meredam berbagai suara-suara lain yang terjadi di Indonesia. Kasus mengenai penangkapan para aktivis di Papua dan para petani yang dirampas tanahnya oleh negara kalah seksi dibandingkan kasus Ahok. Padahal mereka inilah mewakili suara-suara yang ditindas dan terpinggirkan.

Identitas Ahok yang beragama kristen memang seringkali menjadi pijakan keberpihakan orang-orang kristen. Hal ini tampak dari dukungannya di media sosial yang menyandingkannya dengan Yusuf bahkan Yesus sendiri. Ahok dianggap orang benar yang mengalami derita karena imannya. Apalagi dengan ajaran Paulus untuk mengutamakan orang-orang beriman, semakin kuatlah pegangan orang kristen untuk mengutamakan Ahok.

Mengenai iman

Iman diberikan Allah kepada manusia itu merupakan anugrah Allah bukan karena perbuatan manusia. Sebagian besar tradisi teologi kristen tentunya meyakini ini. Namun, iman itu sendiri tidak berwujud materi, manusia yang dianugrahkan Allah iman hanya Allah sendiri yang mengetahuinya. Di dalam pengetahuan Allah yang kekal, 

Allah telah mengenal dan mengetahui umat pilihanNya di segala tempat dan di sepanjang zaman, tetapi bagi manusia itu merupakan misteri.
Manusia dapat salah menilai terhadap iman orang lain. Orang yang dulunya rajin ibadah, rutin mengikuti kegiatan agama, namun ternyata dapat meninggalkan imanya, seperti kisah Himeneus dan Filetus dalam surat Paulus kepada Timotius.

Penilaian yang salah terhadap orang lainpun mungkin terhadap diri sendiri. Perasaan, pikiran dan kehendak manusia sudah tercemar oleh dosa dan rentan akan salah. Yesus pernah memberikan perumpamaan mengenai hari terakhir, mereka yang tidak masuk dalam sorga terkejut ketika di penghakiman terakhir karena mereka telah bernubuat, mengusir setan hingga melakukan banyak mujizat demi Tuhan tetapi tetap ditolak (Mat. 7:22).

Iman tidak hanya di terwujud melalui kata namun juga melalui perbuatan. noticia (pengertian/pengetahuan), asensus (persetujuan) dan fiducia (ketaatan kepada kebenaran) tidak bisa terpisah untuk menggambarkan pengertian iman. Iman tanpa perbuatan pada dasarnya mati seperti dituliskan dalam surat Yakobus.

Iman dinyatakan melalui perbuatan telah diajarkan oleh Yesus melalui keberpihakannya kepada orang miskin, terpinggirkan dan tertindas. Ketika Yesus ditanya oleh ahli Taurat tentang siapakah sesama manusia, Yesus menceritakan kisah orang Samaria yang murah hati. 

Orang Samaria di zaman itu menyimbolkan orang yang terpinggirkan dan tertindas dalam konteks agama, sosial, politik. Sesama manusia justru ditujukan kepada orang Samaria, bukan orang lewi ataupun imam yang digambarkan Yesus tidak peduli terhadap penderitaan sesama manusia.

Beriman tidak hanya melalui kata namun juga perbuatan. Perlawanan teman-teman di Papua terhadap berbagai pelanggaran HAM, perlawanan para petani terhadap perampasan tanah di desa Sukamulya merupakan wujud peminggiran dan penindasan yang terjadi sekarang ini. Perlawanan mereka bukti tindakan yang sesuai dengan hukum moral Allah. Allah membenci penindasan dan peminggiran yang merupakan antetesis dari mengasihi sesama manusia.


Penilaian iman yang benar setidaknya telah ada dalam perlawanan teman-teman Papua dan para petani di Sukamulya. Mereka dapat mewakili ‘kawan-kawan beriman’ yang diistilahkan Paulus yang perlu diutamakan seperti ajaran Yesus. Hingar bingar politik Jakarta yang menguat setelah kasus Ahok setidaknya tidak membuat orang kristenpun hanya jatuh pada keberpihakan identitas namun lupa dengan mereka yang terpinggirkan dan tertindas. 

Senin, 14 November 2016

Komunitas Berbasis Manusiawi


Baru-baru ini aksi massa yang dilakukan sebagai wujud solidaritas antar umat Islam terhadap penistaan agama telah dilakukan. Aksi massa tersebut menyatukan ratusan ribu orang dari berbagai elemen gerakan dan berasal dari berbagai daerah. Tidak hanya cukup sampai disitu, aksi massa lanjutan rencananya akan dilakukan jika harapan dari suara-suara mereka tidak terwujud.

Aksi massa tersebut memang ditunggangi berbagai macam kepentingan, mulai dari sentimen agama, rasis, kekecewaan politik, kepentingan para elit politik bercampur baur menjadi satu. Solidaritas lintas kelaspun menyatu di Jakarta. Orang miskin, kelas menengah, para elit politik, ulama-ulama bergabung untuk bersuara.

Jika melihat pada kejadian terdahulu, sentimen yang membawa isu ras dan agama rentan menimbulkan konflik horizontal, sesama rakyat. Entah ada hubungannya atau tidak, beberapa hari setelah aksi massa tersebut,  terjadi teror bom di Samarinda yang melukai empat orang anak kecil. Bahkan terdengar dengan jelas melalui video-video di YouTube makian terhadap etnis tertentu ketika aksi massa dilakukan.

Kasus yang dimulai dari orasi Ahok di kepulauan seribu ini terlihat dibalut oleh kepentingan agama. “Aksi bela Islam” adalah slogan yang disuarakan. Berbagai tafsiran untuk mendukung gerakan massa ini disuguhkan kepada publik. Berbagai tafsiran terhadap ucapan Ahok dan juga tafsiran kitab suci silih berganti di media massa.

Aksi massa tersebut sebenarnya adalah ciri negara demokrasi. Demokrasi tanpa demonstrasi itu ibarat pesan es teh gak pakai es. Orang yang mengutuk aksi massa atau juga yang menganggap aksi massa sudah tidak relevan mungkin perlu perenungan ulang.

Namun, aksi massa ini pula setidaknya perlu memikirkan isu-isu yang substantif. Isu-isu seperti keadilan, kesejahteraan manusia dan lingkungan seharusnya turut menjadi perhatian. Sayangnya aksi massa sebesar ini tidak dilakukan disaat pengrusakan lingkungan akibat korporasi besar melalui perkebunan dan tambang semakin massif. Demonstrasi tidak dilakukan disaat banyaknya orang Papua hilang seakan tak berjejak. Suara massa tidak ada untuk menuntut keadilan disaat kesenjangan sosial semakin curam.

Peran agama sebenarnya juga bukan hanya mengurusi perkara pembelaan terhadap agamanya. Di dalam tradisi kekristenan sendiri mengenal yang namanya apologetika. Salah satu tugas apologetika adalah pembelaan ketika iman kristen diserang. Selain tugas pembelaan, agama-agama juga berperan untuk menjadikan bumi ini semakin layak untuk ditinggali, melalui perjuangan menegakkan keadilan, kesejahteraan manusia dan lingkungan.

Penafsiran setiap agama untuk menemukan nilai-nilai transformatif yang berdampak bagi dunia memiliki peranan penting. Agama kristen sendiri memiliki sejarah gelap, kemanusiaan pernah dihargai sangat rendah dengan alasan kebenaran. Manusia diasingkan hingga dibunuh atas nama kebenaran. Sejarah kekristenan pernah sangat mengerikan dan berdarah-darah, dimana agama dapat menggerakkan pengikutnya untuk saling membenci dibandingkan menyatukan.

Tinggal di  bumi seharusnya menjadikan kita komunitas berbasis manusiawi, lintas agama dan etnik. Kesadaran akan sejarah secara realistis itu penting bagi pembentukan komunitas berbasis manusiawi. Kesadaran akan sejarah yang kelam membuat kita belajar untuk mencurigai ajaran agama yang seringkali diperalat untuk berbagai kepentingan dan meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan.

Agama merupakan basis dalam masyarakat tetapi juga rentan dipakai sebagai manipulasi ideologis oleh berbagai kelompok. Tidak ada agama yang bebas ideologi, justru mereka yang ingin membebaskan diri dari ideologi akan mudah ditunggangi untuk kepentingan mereka yang kuat yang mempertahankan status quo.

Didalam dunia agama harus sadar akan ekonomi-politik yang mengkondisikan basis kehidupan masyarakat. Paul Knitter, di dalam bukunya satu bumi banyak agama, menuliskan seandainya setiap agamapun bersatu dan mengerjakan tanggung jawab global tetapi tidak mempedulikan analisa ekonomi-politik juga rentan dipakai alat kekuasaan.

Kebenaran universal yang seharusnya dipegang oleh setiap manusia adalah adanya penderitaan akibat ketidakadilan, kemiskinan dan rusaknya bumi akibat manusia. Keberpihakan dan mengutamakan mereka yang miskin dan menderita yang pernah didengungkan oleh teologi pembebasan bisa dijadikan alternatif untuk mempersatukan.

Di tengah berbagai konflik bermuatan SARA, Prof. Tamrin Tomagola mengemukakan di sebuah diskusi, tidak lepas dari persoalan ekonomi-politik. Ketimpangan ekonomi-politik merupakan mesiu bagi meledakkan konflik selain lapisan luar ataupun konteks yang mendukung. Oleh karena itu tidak heran, satu provokator dapat menjadi pemantik meledaknya konflik di Ambon, namun tidak di Sulawesi Utara. SulUt tidak mudah di sulut.

Konflik yang merebak bermuatan SARA rentan meluas menjadi konflik horizontal yang meresahkan rakyat. Intoleransi menjadi kata-kata yang sering dibicarakan. Intoleransi membuat resah dan gerah tetapi disayangkan kita tidak terlalu resah dan gerah dengan ketidakadilan sosial, kesejahteraan manusia dan lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari twit peneliti LIPI senior, ketika membahas kasus ocehan Ahok yang dianggap menista Islam disebarluaskan jauh lebih banyak dibandingkan ketika membahas keadilan sosial.

Konflik dan keresahan yang tidak substansial bisa jadi menguntungkan bagi sebagian orang dan rentan ditunggangi oleh kepentingan. Namun yang pastinya hal tersebut tidak membuat kita semakin sadar akan musuh utama kemanusiaan. Konflik horizontal justru membuat kita berprasangka buruk hingga saling benci terhadap mereka yang berbeda tetapi tidak benci dengan ketidakadilan.












Kamis, 10 November 2016

411

Tidak lama setelah demo yang mengatasnamakan Islam 4 November lalu berselang, terdengar lagi isu demo susulan yang akan dilakukan. Demo susulan tersebut awalnya saya dengar dari WA group, tidak hanya itu, isunya juga demo ditunggangi kelompok tertentu yang akan melakukan aksi bom bunuh diri. Selang berapa lama setelah info dari WA kemudian saya juga membaca status teman di FB bahwa sekolah tempat dia mengajar mendapatkan ancaman bom.

Berawal dari kasus Ahok yang dianggap menista agama kemudian demo akbar di Jakarta  hingga isu-isu belum jelas mengenai bom tentunya meresahkan. Rakyat resah dengan pernyataan Ahok sehingga memicu gerakan massa dari berbagai daerah melakukan demonstrasi, adapula rakyat yang resah karena diakhir demo ada kerusuhan hingga rakyat resah karena ancaman bom. 

Mengenai Ahok, kubu Islam sendiri terlihat terbelah menanggapi isu ini. Ada yang menganggap Ahok penista agama ada pula yang tidak. FPI adalah salah satu ormas yang menghujat keras Ahok. Media sosial juga menjadi penggerak kemarahan massa dengan status-status yang menjelaskan kesalahan Ahok.

isu mengenai agama, etnis dan rasis memang sangat cepat menjadi bahan bakar massa untuk melakukakan pergerakan. Kita dapat belajar dari kasus Ambon, Poso, Sampang, Sampit hingga Jakarta. Rakyat kemudian menjadi korban akibat isu tersebut sehingga terjadi konflik horizontal hingga dapat mengorbankan nyawa.

Isu SARA, melalui sentimen etnik dan agama merupakan sumbu pemicu ledakan bom konflik di Indonesia. Namun, menurut Prof. Tamrin, yang pernah di siram teh ketika diskusi oleh Munarman dan disiarkan langsung tvO**, isu SARA hanyalah tampilan luar dari konflik. Ibarat sebuah bom rumah, selain sumbu, bom tersebut juga memiliki lapisan luar dan amunisi di dalamnya.

Lapisan luar sebuah bom yang menjadi fasilitator konflik dimulai dari konteks lokal, nasional dan Internasional. Konflik dapat terjadi dapat terlihat dari beberapa indikator dari konteks lokal. Indikator tersebut antara lain maukah kita bertetangga, bersekolah, bekerja, berorganisasi hingga yang tertinggi menikah dengan orang yang berbeda SARA. Dalam konteks Nasional dapat terlihat dari “penyekatan” SARA dalam lingkungan pemerintahan dan juga konteks internasional yang menopang aksi konflik.

Amunisi merupakan akar dari konflik. Akar tersebut adalah struktur ekonomi-politik. Ketimpangan ekonomi-politik, ketidakadilan, menjadi amunisi yang ampuh untuk meledakkan konflik. Sumbu yang tampak melalui perbedaan etnik dan agama merupakan tampilan luar yang di isi oleh ketidakadilan untuk memicu ledakan konflik.

Jika lapisan luar, amunisi dan sumbu telah selesai dibuat maka yang terakhir beraksi untuk meledakkan bom adalah pemantik. Provokator, dalam hal ini diibaratkan dengan pemantik. Jika pemantik telah dinyakan maka meledaklah bom tersebut.

Prof. Tamrin menghasilkan teori ini setelah melakukan penelitian di Halmahera dan Ambon. Menurutnya kombinasi beberapa faktor tersebutlah yang memicu konflik. Dan faktor-faktor tersebut dapat diterapkan di berbagai konflik di Indonesia.

Konflik yang diwarnai isu SARA ini rentan menjadi konflik horizontal, sesama rakyat. Tidak heran setelah kasus Ahok maka ada isu yang menyerang kaum minoritas. Kemanusiaan digilas atau viktimisasi istilah Paul Knitter, tidak hanya mereka yang diserang namun yang menyerang, tidak hanya yang ditindas tetapi juga yang menindas.

Berbagai kasus tersebut justru berdampak bagi penderitaan rakyat. Namun tentunya dengan konflik horizontal antar sesama kita menjadi lupa untuk melawan musuh rakyat yang lebih besar, yakni ketidakadilan struktural yang menjadi amunisi ledakan konflik.

Ketidakadilan struktural ekonomi-politik hanya bisa dilawan dengan cara rakyat bersatu bukan terpecah belah. Jika teori Adam Smith benar, maka ada tangan yang tak tampak (invisible hand) yang justru mengambil keuntungan dari kondisi ini. Tangan tak tampak yang bersifat demonis. atau pula mungkin praktik devide et impera ala Belanda semakin disempurnakan justru sekarang ini.



       
Diberdayakan oleh Blogger.

Featured Post Via Labels

Instagram Photo Gallery