Baru-baru
ini aksi massa yang dilakukan sebagai wujud solidaritas antar umat Islam
terhadap penistaan agama telah dilakukan. Aksi massa tersebut menyatukan
ratusan ribu orang dari berbagai elemen gerakan dan berasal dari berbagai
daerah. Tidak hanya cukup sampai disitu, aksi massa lanjutan rencananya akan
dilakukan jika harapan dari suara-suara mereka tidak terwujud.
Aksi
massa tersebut memang ditunggangi berbagai macam kepentingan, mulai dari
sentimen agama, rasis, kekecewaan politik, kepentingan para elit politik
bercampur baur menjadi satu. Solidaritas lintas kelaspun menyatu di Jakarta.
Orang miskin, kelas menengah, para elit politik, ulama-ulama bergabung untuk
bersuara.
Jika
melihat pada kejadian terdahulu, sentimen yang membawa isu ras dan agama rentan
menimbulkan konflik horizontal, sesama rakyat. Entah ada hubungannya atau
tidak, beberapa hari setelah aksi massa tersebut, terjadi teror bom di Samarinda yang melukai
empat orang anak kecil. Bahkan terdengar dengan jelas melalui video-video di
YouTube makian terhadap etnis tertentu ketika aksi massa dilakukan.
Kasus
yang dimulai dari orasi Ahok di kepulauan seribu ini terlihat dibalut oleh
kepentingan agama. “Aksi bela Islam” adalah slogan yang disuarakan. Berbagai
tafsiran untuk mendukung gerakan massa ini disuguhkan kepada publik. Berbagai
tafsiran terhadap ucapan Ahok dan juga tafsiran kitab suci silih berganti di
media massa.
Aksi
massa tersebut sebenarnya adalah ciri negara demokrasi. Demokrasi tanpa
demonstrasi itu ibarat pesan es teh gak pakai es. Orang yang mengutuk aksi
massa atau juga yang menganggap aksi massa sudah tidak relevan mungkin perlu
perenungan ulang.
Namun,
aksi massa ini pula setidaknya perlu memikirkan isu-isu yang substantif. Isu-isu
seperti keadilan, kesejahteraan manusia dan lingkungan seharusnya turut menjadi
perhatian. Sayangnya aksi massa sebesar ini tidak dilakukan disaat pengrusakan
lingkungan akibat korporasi besar melalui perkebunan dan tambang semakin
massif. Demonstrasi tidak dilakukan disaat banyaknya orang Papua hilang seakan
tak berjejak. Suara massa tidak ada untuk menuntut keadilan disaat kesenjangan
sosial semakin curam.
Peran
agama sebenarnya juga bukan hanya mengurusi perkara pembelaan terhadap
agamanya. Di dalam tradisi kekristenan sendiri mengenal yang namanya
apologetika. Salah satu tugas apologetika adalah pembelaan ketika iman kristen
diserang. Selain tugas pembelaan, agama-agama juga berperan untuk menjadikan
bumi ini semakin layak untuk ditinggali, melalui perjuangan menegakkan
keadilan, kesejahteraan manusia dan lingkungan.
Penafsiran
setiap agama untuk menemukan nilai-nilai transformatif yang berdampak bagi
dunia memiliki peranan penting. Agama kristen sendiri memiliki sejarah gelap,
kemanusiaan pernah dihargai sangat rendah dengan alasan kebenaran. Manusia
diasingkan hingga dibunuh atas nama kebenaran. Sejarah kekristenan pernah
sangat mengerikan dan berdarah-darah, dimana agama dapat menggerakkan
pengikutnya untuk saling membenci dibandingkan menyatukan.
Tinggal
di bumi seharusnya menjadikan kita
komunitas berbasis manusiawi, lintas agama dan etnik. Kesadaran akan sejarah
secara realistis itu penting bagi pembentukan komunitas berbasis manusiawi.
Kesadaran akan sejarah yang kelam membuat kita belajar untuk mencurigai ajaran
agama yang seringkali diperalat untuk berbagai kepentingan dan meninggalkan
nilai-nilai kemanusiaan.
Agama
merupakan basis dalam masyarakat tetapi juga rentan dipakai sebagai manipulasi
ideologis oleh berbagai kelompok. Tidak ada agama yang bebas ideologi, justru
mereka yang ingin membebaskan diri dari ideologi akan mudah ditunggangi untuk
kepentingan mereka yang kuat yang mempertahankan status quo.
Didalam
dunia agama harus sadar akan ekonomi-politik yang mengkondisikan basis
kehidupan masyarakat. Paul Knitter, di dalam bukunya satu bumi banyak agama, menuliskan
seandainya setiap agamapun bersatu dan mengerjakan tanggung jawab global tetapi
tidak mempedulikan analisa ekonomi-politik juga rentan dipakai alat kekuasaan.
Kebenaran
universal yang seharusnya dipegang oleh setiap manusia adalah adanya
penderitaan akibat ketidakadilan, kemiskinan dan rusaknya bumi akibat manusia.
Keberpihakan dan mengutamakan mereka yang miskin dan menderita yang pernah
didengungkan oleh teologi pembebasan bisa dijadikan alternatif untuk
mempersatukan.
Di
tengah berbagai konflik bermuatan SARA, Prof. Tamrin Tomagola mengemukakan di
sebuah diskusi, tidak lepas dari persoalan ekonomi-politik. Ketimpangan
ekonomi-politik merupakan mesiu bagi meledakkan konflik selain lapisan luar
ataupun konteks yang mendukung. Oleh karena itu tidak heran, satu provokator
dapat menjadi pemantik meledaknya konflik di Ambon, namun tidak di Sulawesi
Utara. SulUt tidak mudah di sulut.
Konflik
yang merebak bermuatan SARA rentan meluas menjadi konflik horizontal yang
meresahkan rakyat. Intoleransi menjadi kata-kata yang sering dibicarakan.
Intoleransi membuat resah dan gerah tetapi disayangkan kita tidak terlalu resah
dan gerah dengan ketidakadilan sosial, kesejahteraan manusia dan lingkungan.
Hal ini dapat dilihat dari twit peneliti LIPI senior, ketika membahas kasus
ocehan Ahok yang dianggap menista Islam disebarluaskan jauh lebih banyak
dibandingkan ketika membahas keadilan sosial.
Konflik
dan keresahan yang tidak substansial bisa jadi menguntungkan bagi sebagian
orang dan rentan ditunggangi oleh kepentingan. Namun yang pastinya hal tersebut
tidak membuat kita semakin sadar akan musuh utama kemanusiaan. Konflik
horizontal justru membuat kita berprasangka buruk hingga saling benci terhadap
mereka yang berbeda tetapi tidak benci dengan ketidakadilan.