Senin, 14 November 2016

Komunitas Berbasis Manusiawi


Baru-baru ini aksi massa yang dilakukan sebagai wujud solidaritas antar umat Islam terhadap penistaan agama telah dilakukan. Aksi massa tersebut menyatukan ratusan ribu orang dari berbagai elemen gerakan dan berasal dari berbagai daerah. Tidak hanya cukup sampai disitu, aksi massa lanjutan rencananya akan dilakukan jika harapan dari suara-suara mereka tidak terwujud.

Aksi massa tersebut memang ditunggangi berbagai macam kepentingan, mulai dari sentimen agama, rasis, kekecewaan politik, kepentingan para elit politik bercampur baur menjadi satu. Solidaritas lintas kelaspun menyatu di Jakarta. Orang miskin, kelas menengah, para elit politik, ulama-ulama bergabung untuk bersuara.

Jika melihat pada kejadian terdahulu, sentimen yang membawa isu ras dan agama rentan menimbulkan konflik horizontal, sesama rakyat. Entah ada hubungannya atau tidak, beberapa hari setelah aksi massa tersebut,  terjadi teror bom di Samarinda yang melukai empat orang anak kecil. Bahkan terdengar dengan jelas melalui video-video di YouTube makian terhadap etnis tertentu ketika aksi massa dilakukan.

Kasus yang dimulai dari orasi Ahok di kepulauan seribu ini terlihat dibalut oleh kepentingan agama. “Aksi bela Islam” adalah slogan yang disuarakan. Berbagai tafsiran untuk mendukung gerakan massa ini disuguhkan kepada publik. Berbagai tafsiran terhadap ucapan Ahok dan juga tafsiran kitab suci silih berganti di media massa.

Aksi massa tersebut sebenarnya adalah ciri negara demokrasi. Demokrasi tanpa demonstrasi itu ibarat pesan es teh gak pakai es. Orang yang mengutuk aksi massa atau juga yang menganggap aksi massa sudah tidak relevan mungkin perlu perenungan ulang.

Namun, aksi massa ini pula setidaknya perlu memikirkan isu-isu yang substantif. Isu-isu seperti keadilan, kesejahteraan manusia dan lingkungan seharusnya turut menjadi perhatian. Sayangnya aksi massa sebesar ini tidak dilakukan disaat pengrusakan lingkungan akibat korporasi besar melalui perkebunan dan tambang semakin massif. Demonstrasi tidak dilakukan disaat banyaknya orang Papua hilang seakan tak berjejak. Suara massa tidak ada untuk menuntut keadilan disaat kesenjangan sosial semakin curam.

Peran agama sebenarnya juga bukan hanya mengurusi perkara pembelaan terhadap agamanya. Di dalam tradisi kekristenan sendiri mengenal yang namanya apologetika. Salah satu tugas apologetika adalah pembelaan ketika iman kristen diserang. Selain tugas pembelaan, agama-agama juga berperan untuk menjadikan bumi ini semakin layak untuk ditinggali, melalui perjuangan menegakkan keadilan, kesejahteraan manusia dan lingkungan.

Penafsiran setiap agama untuk menemukan nilai-nilai transformatif yang berdampak bagi dunia memiliki peranan penting. Agama kristen sendiri memiliki sejarah gelap, kemanusiaan pernah dihargai sangat rendah dengan alasan kebenaran. Manusia diasingkan hingga dibunuh atas nama kebenaran. Sejarah kekristenan pernah sangat mengerikan dan berdarah-darah, dimana agama dapat menggerakkan pengikutnya untuk saling membenci dibandingkan menyatukan.

Tinggal di  bumi seharusnya menjadikan kita komunitas berbasis manusiawi, lintas agama dan etnik. Kesadaran akan sejarah secara realistis itu penting bagi pembentukan komunitas berbasis manusiawi. Kesadaran akan sejarah yang kelam membuat kita belajar untuk mencurigai ajaran agama yang seringkali diperalat untuk berbagai kepentingan dan meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan.

Agama merupakan basis dalam masyarakat tetapi juga rentan dipakai sebagai manipulasi ideologis oleh berbagai kelompok. Tidak ada agama yang bebas ideologi, justru mereka yang ingin membebaskan diri dari ideologi akan mudah ditunggangi untuk kepentingan mereka yang kuat yang mempertahankan status quo.

Didalam dunia agama harus sadar akan ekonomi-politik yang mengkondisikan basis kehidupan masyarakat. Paul Knitter, di dalam bukunya satu bumi banyak agama, menuliskan seandainya setiap agamapun bersatu dan mengerjakan tanggung jawab global tetapi tidak mempedulikan analisa ekonomi-politik juga rentan dipakai alat kekuasaan.

Kebenaran universal yang seharusnya dipegang oleh setiap manusia adalah adanya penderitaan akibat ketidakadilan, kemiskinan dan rusaknya bumi akibat manusia. Keberpihakan dan mengutamakan mereka yang miskin dan menderita yang pernah didengungkan oleh teologi pembebasan bisa dijadikan alternatif untuk mempersatukan.

Di tengah berbagai konflik bermuatan SARA, Prof. Tamrin Tomagola mengemukakan di sebuah diskusi, tidak lepas dari persoalan ekonomi-politik. Ketimpangan ekonomi-politik merupakan mesiu bagi meledakkan konflik selain lapisan luar ataupun konteks yang mendukung. Oleh karena itu tidak heran, satu provokator dapat menjadi pemantik meledaknya konflik di Ambon, namun tidak di Sulawesi Utara. SulUt tidak mudah di sulut.

Konflik yang merebak bermuatan SARA rentan meluas menjadi konflik horizontal yang meresahkan rakyat. Intoleransi menjadi kata-kata yang sering dibicarakan. Intoleransi membuat resah dan gerah tetapi disayangkan kita tidak terlalu resah dan gerah dengan ketidakadilan sosial, kesejahteraan manusia dan lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari twit peneliti LIPI senior, ketika membahas kasus ocehan Ahok yang dianggap menista Islam disebarluaskan jauh lebih banyak dibandingkan ketika membahas keadilan sosial.

Konflik dan keresahan yang tidak substansial bisa jadi menguntungkan bagi sebagian orang dan rentan ditunggangi oleh kepentingan. Namun yang pastinya hal tersebut tidak membuat kita semakin sadar akan musuh utama kemanusiaan. Konflik horizontal justru membuat kita berprasangka buruk hingga saling benci terhadap mereka yang berbeda tetapi tidak benci dengan ketidakadilan.












0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Featured Post Via Labels

Instagram Photo Gallery