Pembangunan yang dijalankan pada rezim
pemerintahan tidak hanya meraup anggaran belanja negara yang besar, namun
seringkali mengorbankan perampasan tanah rakyat secara paksa. Tanah rakyat
seringkali dihargai dengan murah kepada negara atau perusahaan. Berbagai
konflikpun semakin tahun semakin meningkat berdasarkan pantauan Konsorsium
Pembaruan Agraria tahun lalu. Fenomena itu terlihat dari perlawanan petani
menghadapi “kerakusan tanah” pemilik modal yang didukung oleh aparat. Tidak
jarang para pejuang yang mempertahankan tanah dikriminalisasi dan difitnah.
Sebutan anti pembangunan hingga komunis ditujukan kepada mereka. Contohnya adalah
pendeta Sugianto dan guru ngaji Rajiman di Tulung Bawang, begitu juga yang
terbaru, Joko Prianto di Rembang.
Agama kristen perlu berefleksi dalam
melaksanakan praksis misi di tengah konteks saat ini. Kekristenan seharusnya
tidak boleh diam ditengah ketidakadilan. Peran serta agama kristen pula harus
menyentuh pada keadilan agraria melalui penataan ulang kepemilikan dan
pengelolaan atas tanah.
Tanah,
Ibu kita.
Allah menciptakan bumi bukan untuk
dimiliki segelintir orang. Bumi diciptakan Allah demi kesejahteraan seluruh
makhluk. Lynn White pernah menuliskan dalam artikel pendeknya, The Historical Roots of Our Ecological Crisis,
bahwa akar masalah kerusakan bumi itu adalah agama kristen. Kekristenan menjadi
dasar untuk melegitimasi eksploitasi atas alam secara massif. Hal tersebut
didasarkan pada Kejadian 1:28 dan sifat antroposentris dalam pengajarannya.
Namun, dalam kitab yang sama pula sebenarnya diajarkan manusia untuk mengelola/steward (Kejadian 2; Mazmur 24:1).
Pada zaman dulu Allah memberikan tanah
kepada bangsa Israel untuk dimiliki secara komunal dan bukan barang pribadi
yang diperdagangkan. Inilah yang menyebabkan Nabot tidak mau menjual tanahnya
kepada Raja Ahab (1 Raja-Raja 21). Masyarakat dahulu pula menggunakan tanah dan
hasil produksinya digilir secara periodik (Avila, 1983:6).
Tanah pula tidak sekadar dihuni oleh
orang yang masih hidup, namun juga roh dan jasad orang yang sudah mati
(Kejadian 49:29-32; Bilangan 26:52-55). Dari tanah pula manusia diciptakan
sehingga ia tidak hanya bernilai ekonomis, tetapi memiliki makna spiritual,
kultural dan sosial. Tanah sudah selayaknya disebut sebagai ibu pertiwi.
Status
tanah yang berubah
Seiring dengan berjalannya waktu,
perubahan status tanah terjadi. Hal ini diakibatkan penjajahan dan pendudukuan.
Peraih nobel perdamaian pernah berkata:
“ketika orang Eropa datang ke Afrika
mereka punya Alkitab dan kami punya tanah. Mereka mengajak kami berdoa. Selesai
berdoa kami punya Alkitab dan orang Eropa punya tanah kami.”
Ketika terjadi kolonialisasi satu negara
ke negara lain, maka terjadi perubahan status tanah. Status tanah berganti ke
tangan penjajah. Hal lain yang mempengeruhi adalah penjualan tanah. Tanah telah
dikomodifikasi. Begitu juga akibat industrialisasi dan pembangunan pemukiman
dan infrastruktur. Tanah ciptaan Tuhan telah dikomodifikasi dan dieksploitasi
tidak lagi dipelihara untuk sumber hidup dan kepentingan bersama.
Di Indonesia sendiri hukum nasional saat
ini bukan berpihak kepada para petani namun melindungi mereka yang
berinvestasi. Hal ini berawal dari kedatangan penjajahan Belanda yang sedikit
demi sedikit mengubah hak milik atas tanah agar dimiliki beberapa pejabat atau
warga Belanda yang bermukim di Indonesia. Melaluinya pemerintah membentuk UU Agrarisch Besluit yang diundangkan dalam
Staatblad No. 118, 1870. Pada era
tersebutlah modal swasta Eropa berduyun-duyun datang mencengkram Indonesia.
disaat yang sama muncul berbagai perkebunan swasta yang besar di Jawa dan
Sumatra dengan segala akibatnya.
Dalam era kemerdekaan, terdapat landasan
agraria yakni salah satu pasal dalam UUD 45 pasal 33 tentang falsafah tata
kelola sumberdaya alam: bumi dan air beserta kekayaan yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat. Seabad setelah Agrarisch
Wet ditetapkan, pada 1960, pemerintah mengeluarkan undang-undang baru yang
pertama mengatur tentang agraria, yang dikenal dengan UUPA no 5 tahun 1960.
Di era Soeharto, rezim Orde Baru,
melupakan UUPA 1960, kementrian agraria dihapuskan, kemudian menandatangani
undang pokok tentang kehutanan nomor 5 tahun 1967, undang-undang yang tidang
mengakar pada semangat UUPA no 5 tahun 1960. Undang-undang kehutanan tersebut
memfasilitasi investasi lokal dan asing di wilayah hutan.
Wajah pembangunan justru mewariskan wajah
kolonial. Kebijakan-kebijakan diperuntukkan “empire” bukan petani. Semboyan buruh dan petani sebagai soko guru
revolusi maupun pembangunan telah disalahartikan. Buruh dan petani menjadi
korban di era pembangunan dan hanya menerima “tetesan” pembangunan. Era orde
baru yang menggiring kemajuan ekonomi juga bergandengan dengan perampasan tanah
(land grabbing) di berbagai tempat di
Indonesia. PT Freeport mendapatkan konsesi di Papua, PT Inco di Sulawesi
Selatan dan PT BNIL di Sumatra. Rakyat seringkali hanya menjadi korban hukum
pembangunan, kekayaan alam diperah oleh pendatang.
Peran
kekristenan
Peran agama dalam kepemilikan tanah
seringkali mendua. Seperti yang dikatakan Desmond Tutu diatas pula telah
terjadi di zaman Mesir kuno. Ketidakadilan yang dilakukan para imam
mengakibatkan pemberontakan oleh para petani dan budak (Epsztein, 1983:27).
Kehidupan para imam yang mendapat tunjangan dari Firaun hanyalah alat untuk melegitimasi berbagai
kebijakan negara. Para imam mendoakan Firaun namun tidak mendengar jeritan
petani dan para budak. Konteks demikianlah yang memunculkan seorang pembebas
budak, Musa.
Tahun Yobel sendiri mengajarkan umat
Israel untuk menggilir tanah untuk digarap. Tanah yang digadaikan dikembalikan
pada penggarap semula atau keluarganya (Imamat 25). Hal ini juga tidak asing di
Mesopotamia yang tertulis di hukum Hamurabi. Jika sedikit melirik di saat ini,
bagaimana dengan Freeport?
Melihat hali ini, peran agama melalui
teologi lingkungan tidak ada artinya tanpa teologi keadilan agraria dengan
penataan ulang kepemilikan dan pengelolaan tanah. Manusia yang merampas tanah
orang lain sebenarnya tidak hanya merampok sesamanya, tetapi juga merampok
milik Allah. keadilan ekologi dan ekonomi seharusnya menjadi fokus misi kristen
saat ini (Luk. 4:18-20; Mat. 25:31-46; 2 Pet. 3:1-16; Why. 21) karena manusia
adalah pengelola bumi ini, bukan pemilik apalagi merusak.