Dalam metode penginjilan, ada yang dikenal dengan EE (Evangelization Explotion). Metode ini
digunakan sebagian orang kristen untuk mengajarkan mengenai kekristenan kepada
penganut agama lain. Tujuan penginjilan adalah melaksanakan amanat agung, memproklamasikan Injil hingga agar orang lain mengikuti iman kristen kemudian bergabung dengan gereja lokal seperti yang diajarkan oleh Peter Wagner, misiolog dari Amerika.
Saya telah menjejaki dan belajar di beberapa sekolah teologi
yang berbasis Injili, metode inipun selalu saya temui dan
diajarkan disekolah-sekolah teologi tersebut.
Pertanyaan awal yang menjadi kunci membuka jalur percakapan
metode ini adalah: “jika anda meninggal, apakan anda yakin masuk surga?”. Jawaban
dari pertanyaan ini tentunya diharapkan "tidak" agar dapat lanjut ke
pertanyaan-pertanyaan seterusnya. Jika menjawab "ya", maka buntu sudah metode
tersebut.
Metode ini berusaha meyakinkan pendengar bahwa hanya
Yesuslah yang memberikan jalan keselamatan. Yesus memberikan secara cuma-cuma, bukan
karena kebaikan atau perbuatan saleh manusia. Hanya melalui Yesus ada kepastian
keselamatan.
Metode ini bermula dari rumusan DR. James Kennedy di USA
pada tahun 1962, kemudian dianggap sukses dan menjamur hingga ke Asia termasuk
Indonesia.
Harapan akan kehidupan setelah kematian tentunya menghantui
semua eksistensi manusia. Surga dan nerakapun diajarkan di beberapa agama untuk
menjawabnya. Jika kita hidup sesuai dengan tuntutan yang diajarkan agama maka kita
masuk surga, namun jika tidak maka neraka menanti.
Keselamatan yang
diperoleh secara cuma-cuma diajarkan dalam kekristenan yang didasari oleh
ajaran tokoh reformator, Marthin Luther. Tidak dapat dipungkiri Luther adalah
seorang penafsir Alkitab yang hebat, melalui ajarannya: sola fide, sola gracia
dan sola scriptura (hanya oleh iman,
anugrah dan Alkitab) telah mempengaruhi kekristenan.
Namun kepastian keselamatan melalui Yesus tentunya tidak
hanya didapat melalui persetujuan akal. Iman juga adalah wujud dari tindakan
dan komitmen untuk melakukan kebenaran.
Iman tidak hanya berbicara mengenai keyakinan, apalagi
dengan rumusan-rumusan teoritis-sistematis dan verifikatif.
Iman (pistis)
dalam Alkitab Perjanjian Baru berarti: kepercayaan, kesetiaan, keterlibatan dan
komitmen. Dalam bahasa latin dikenal juga dengan kata credo yang berasal dari kata cor
do.
“Credo ut intellegam”,
perkataan bapa gereja, Anselmus, yang sering diterjemahkan aku percaya maka aku
mengerti. Cor do tersebut berarti aku
berikan hatiku. Kata ini tidak menggambarkan persetujuan akal namun juga
komitmen etis kepada Allah yang menuntun pada praksis nyata.
Di dalam Markus 10 menceritakan mengenai seorang muda dan
kaya datang kepada Yesus. Ia bertanya mengenai perbuatan apa yang harus
dilakukannya untuk memperoleh hidup yang kekal. Dituliskan bahwa pemuda
tersebut telah melaksanakan hukum taurat, namun ada satu tuntutan Yesus yang
sulit dilakukannya, yakni menjual hartanya kemudian berikanlah kepada
orang-orang miskin. Tuntutan tersebut membuat pemuda tersebut pergi dengan
kecewa.
Iman tidak hanya syarat bagi kehidupan setelah kematian,
iman hadir bukan saja diiringi dengan motif keselamatan yang akan datang, iman
itu nyata dalam keseharian.
Yesus di dalam Injil meminta para murid untuk berkomitmen
terlibat dalam misinya. Keberpihakan dan juga solidaritas kepada mereka yang
lemah, miskin dan tertindas merupakan nilai-nilai yang tak dapat
dikesampingkan. Memberi makan mereka yang lapar, mengesampingkan kepentingan
diri dan rasa berhak mereka, melawan sistem yang korup, hadir bersama mereka
yang terpinggirkan merupakan praksis nyata yang Yesus lakukan.
Bahkan ada kisah yang sangat sering didengar, orang Samaria yang
baik hati, dia (orang Samaria) yang justru diambil contoh oleh Yesus mengenai penegakkan
praksis iman yang benar. Orang Samaria, diakui pada zamannya, merupakan
orang-orang yang memiliki kepercayaan yang salah. Namun, Yesus tidak mengambil
contoh melalui mereka pemeluk kepercayaan yang “benar”.
Pemberitaan Injil yang didasari motif surga dan neraka
sebaiknya juga didasari atas keperihatinan yang nyata saat ini. Selain motif
surga dan neraka sebaiknya orang kristen juga ingat, ada teman-teman papua
baru-baru ini didiskriminasikan, kekayaan alam papua tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat disana, kebijakan-kebijakan pemerintah yang
seringkali merugikan rakyat, perampasan tanah, kesenjangan sosial yang menjadi-jadi, dan
permasalahan sosial lainnya.
jika kekristenan yang mengaku beriman namun melupakan
terhadap masalah-masalah yang nyata di keseharian, maka perlu dipertanyakan,
iman yang mana?