Kamis, 14 Juli 2016

Donald Trump dan Kaum Injili


Pemilihan umum presiden Amerika telah menjadi berita mendunia. Pesta politik tersebut seakan tidak hanya dialami orang amerika namun juga sampai di Indonesia. Berita di telivisi Indonesiapun tidak lepas dari informasi terbaru mengenai pemilihan tersebut.

Yang menarik adalah seorang calon presiden dari partai republik yang terkenal eksentrik. Donald Trump, seorang konglomerat yang menjadi kandidat memimpin Amerika.

Menurut survey dari situs barna.org, donald trump mendapat dukungan lebih banyak oleh kaum Injili di Amerika dibandingkan kaum lainnya. Dibandingkan Clinton, Donald Trump lebih menguntungkan bagi sebagian kaum Injili.

A definition of these faith segments is at the bottom of this post.
Sebenarnya Donald Trump bukanlah calon yang sesuai dengan kriteria moral Injili. Trump telah menikah tiga kali, pengusaha industri perjudian, pemilik klub striptis dan sederetan panjang dosa-dosa Trump.

Franklin Graham, anak dari tokoh Injili Dunia, Billy Graham, mengatakan di situs Christianpost.com bahwa tidak ada orang yang sempurna di dunia. Pemimpin hebat di dalam Alkitabpun memiliki kekurangan kecuali Yesus. Diantara dua pilihan presiden Amerika yang sekarangpun Franklin Graham menyatakan Donald Trump alternative yang lebih baik.

Selain dari Franklin Graham adapula Robert Jeffress, seorang gembala yang memiliki 12.000 jemaat menjadi pendukung Donald Trump. Tidak seperti Franklin Graham, Robert jeffress mengibaratkankan rakyat diantara dua pilihan, terang dan gelap, baik dan buruk, benar dan tidak benar. Kaum Injilipun dihimbau untuk memilih sesuai dengan kriteria pertama yang dimiliki oleh Donald Trump.

Salah satu kebijakan yang rencananya akan dijalankan Trump di dalam situs bbc.com adalah melarang orang Muslim untuk masuk ke Amerika. Islam menurut Trump menjadi pemicu kebencian terhadap Amerika. Sampai masalah ini tidak diselesaikan maka umat Islam dilarang masuk ke Amerika karena bisa mengakibatkan teror dan berbagai kekerasan.
Islamophobia dan xenophobia yang tercermin dari sikap Trump ini sebenarnya mencerminkan ketakutan orang-orang Amerika lainnya. Pasca serangan oleh kelompok ekstrimis di klub gay California semakin mengukuhkan posisi Trump.

Saya kemudian mencoba mencari alasan kaum Injili tersebut medukung calon Presiden dari partai republik ini. Menurut salah satu situs Kristen Injili populer di Amerika, Christianity Today, beberapa alasan kaum Injili memilih calon tersebut karena perang budaya yang selama ini dimenangkan oleh kaum liberal ingin diambil alih oleh kaum Injili, selain daripada itu, berbeda dengan partai demokrat yang mendukung multietnis dan lintas agama begitu pula kebijakan luar negerinya yang dianggap lembek, Donald Trump justru menutup pintu bagi pengungsi ke Amerika.

Ketakutan itu tidak hanya mengenai ancaman teror, namun juga mengenai persaingan kuantitas umat. Jika presentase Amerika saat ini adalah sekian persen beragama kristen maka bagaimana perkembangan atau kemerosotannya pada tahun-tahun berikutnya? Jika pengungsi Muslim mulai berdatangan ke Amerika, maka apa dampaknya pada prensentase umat kristen disana? Bagaimana budaya kristen akan berpengaruh dengan situasi ini?

Tidak semua memang kaum Injili mendukung pilihan ini, ada juga yang mengecamnya. Donald Trump dianggap tidak mencerminkan pemimpin kristen. Kekristenan seharusnya terbuka untuk menolong orang dengan latar belakang agama ataupun etnis apapun, layaknya orang Samaria baik hati dalam perumpamaan Yesus.

Injili konservatif dapat mentolerir berbagai pelanggaran moral maupun kebijakan yang bertentangan dengan prinsip moral Injili. Misalnya saja dukungan Trump terhadap LGBT dan juga  kebebasan aborsi yang dulunya dengan usaha sekuat tenaga digagalkan kaum konservatif ini. Tetapi tidak dapat mentolerir mengenai ras dan agama lain yang masuk di Amerika.

Mengenai agama, memang Injili konservatif garis keras menganggap sangat penting karena berkaitan dengan masalah nanti di kekekalan. Jika salah pilih potongan rambut penyesalan hanya 1 bulan, salah pilih pasangan hidup palingan seumur hidup tetapi salah pilih iman maka berdampak kekal. Seperti yang ditulis di status facebook.
Iman kepercayaan terlepas dengan praktek hidup yang menjunjung keadilan dan juga kepedulian terhadap sesama.

Ajaran yang lebih mengutamakan mengenai kekalan namun mengabaikan masalah kemanusiaan dan juga keadilan terhadap sesama mungkin inilah yang dikategorikan Karen Armstrong, penulis Sejarah Tuhan, sebagai kaum fundamentalisme.

Ketidakadilan dapat saja ditunggangi oleh kaum fundamentalisme ini demi kepentingan kekekalan. Aksi pemboman yang mengorbankan nyawa demi agama tidak jauh berbeda dengan kaum fundamentalisme di Amerika ini. Bedanya pelaku melakukan melalui kebijakan-kebijakan struktural yang tidak pro terhadap kemanusiaan.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Featured Post Via Labels

Instagram Photo Gallery