Pemilihan umum presiden Amerika telah menjadi berita mendunia. Pesta politik tersebut seakan tidak hanya dialami orang amerika namun juga sampai di Indonesia. Berita di telivisi Indonesiapun tidak lepas dari informasi terbaru mengenai pemilihan tersebut.
Yang menarik adalah seorang calon presiden dari partai
republik yang terkenal eksentrik. Donald Trump, seorang konglomerat yang
menjadi kandidat memimpin Amerika.
Menurut survey dari situs barna.org, donald trump mendapat dukungan lebih banyak oleh kaum
Injili di Amerika dibandingkan kaum lainnya. Dibandingkan Clinton, Donald Trump
lebih menguntungkan bagi sebagian kaum Injili.
Sebenarnya Donald Trump bukanlah calon yang sesuai dengan
kriteria moral Injili. Trump telah menikah tiga kali, pengusaha industri
perjudian, pemilik klub striptis dan sederetan panjang dosa-dosa Trump.
Franklin Graham, anak dari tokoh Injili Dunia, Billy Graham,
mengatakan di situs Christianpost.com bahwa
tidak ada orang yang sempurna di dunia. Pemimpin hebat di dalam Alkitabpun
memiliki kekurangan kecuali Yesus. Diantara dua pilihan presiden Amerika yang
sekarangpun Franklin Graham menyatakan Donald Trump alternative yang lebih
baik.
Selain dari Franklin Graham adapula Robert Jeffress, seorang
gembala yang memiliki 12.000 jemaat menjadi pendukung Donald Trump. Tidak
seperti Franklin Graham, Robert jeffress mengibaratkankan rakyat diantara dua
pilihan, terang dan gelap, baik dan buruk, benar dan tidak benar. Kaum
Injilipun dihimbau untuk memilih sesuai dengan kriteria pertama yang dimiliki
oleh Donald Trump.
Salah satu kebijakan yang rencananya akan dijalankan Trump
di dalam situs bbc.com adalah
melarang orang Muslim untuk masuk ke Amerika. Islam menurut Trump menjadi
pemicu kebencian terhadap Amerika. Sampai masalah ini tidak diselesaikan maka
umat Islam dilarang masuk ke Amerika karena bisa mengakibatkan teror dan
berbagai kekerasan.
Islamophobia dan xenophobia yang tercermin dari sikap Trump ini sebenarnya
mencerminkan ketakutan orang-orang Amerika lainnya. Pasca serangan oleh
kelompok ekstrimis di klub gay California semakin mengukuhkan posisi Trump.
Saya kemudian mencoba mencari alasan kaum Injili tersebut
medukung calon Presiden dari partai republik ini. Menurut salah satu situs
Kristen Injili populer di Amerika, Christianity
Today, beberapa alasan kaum Injili memilih calon tersebut karena perang
budaya yang selama ini dimenangkan oleh kaum liberal ingin diambil alih oleh kaum
Injili, selain daripada itu, berbeda dengan partai demokrat yang mendukung
multietnis dan lintas agama begitu pula kebijakan luar negerinya yang dianggap
lembek, Donald Trump justru menutup pintu bagi pengungsi ke Amerika.
Ketakutan itu tidak hanya mengenai ancaman teror, namun juga
mengenai persaingan kuantitas umat. Jika presentase Amerika saat ini adalah
sekian persen beragama kristen maka bagaimana perkembangan atau kemerosotannya
pada tahun-tahun berikutnya? Jika pengungsi Muslim mulai berdatangan ke Amerika,
maka apa dampaknya pada prensentase umat kristen disana? Bagaimana budaya
kristen akan berpengaruh dengan situasi ini?
Tidak semua memang kaum Injili mendukung pilihan ini, ada
juga yang mengecamnya. Donald Trump dianggap tidak mencerminkan pemimpin
kristen. Kekristenan seharusnya terbuka untuk menolong orang dengan latar
belakang agama ataupun etnis apapun, layaknya orang Samaria baik hati dalam
perumpamaan Yesus.
Injili konservatif dapat mentolerir berbagai pelanggaran
moral maupun kebijakan yang bertentangan dengan prinsip moral Injili. Misalnya
saja dukungan Trump terhadap LGBT dan juga
kebebasan aborsi yang dulunya dengan usaha sekuat tenaga digagalkan kaum
konservatif ini. Tetapi tidak dapat mentolerir mengenai ras dan agama lain yang
masuk di Amerika.
Mengenai agama, memang Injili konservatif garis keras
menganggap sangat penting karena berkaitan dengan masalah nanti di kekekalan. Jika
salah pilih potongan rambut penyesalan hanya 1 bulan, salah pilih pasangan
hidup palingan seumur hidup tetapi salah pilih iman maka berdampak kekal.
Seperti yang ditulis di status facebook.
Iman kepercayaan terlepas dengan praktek hidup yang
menjunjung keadilan dan juga kepedulian terhadap sesama.
Ajaran yang lebih mengutamakan mengenai kekalan namun
mengabaikan masalah kemanusiaan dan juga keadilan terhadap sesama mungkin
inilah yang dikategorikan Karen Armstrong, penulis Sejarah Tuhan, sebagai kaum
fundamentalisme.
Ketidakadilan dapat saja ditunggangi oleh kaum
fundamentalisme ini demi kepentingan kekekalan. Aksi pemboman yang mengorbankan
nyawa demi agama tidak jauh berbeda dengan kaum fundamentalisme di Amerika ini.
Bedanya pelaku melakukan melalui kebijakan-kebijakan struktural yang tidak pro
terhadap kemanusiaan.
0 komentar:
Posting Komentar