Rabu, 23 Agustus 2017

Urgensi Misi Kristen bagi Keadilan Ekologis



Pembangunan yang dijalankan pada rezim pemerintahan tidak hanya meraup anggaran belanja negara yang besar, namun seringkali mengorbankan perampasan tanah rakyat secara paksa. Tanah rakyat seringkali dihargai dengan murah kepada negara atau perusahaan. Berbagai konflikpun semakin tahun semakin meningkat berdasarkan pantauan Konsorsium Pembaruan Agraria tahun lalu. Fenomena itu terlihat dari perlawanan petani menghadapi “kerakusan tanah” pemilik modal yang didukung oleh aparat. Tidak jarang para pejuang yang mempertahankan tanah dikriminalisasi dan difitnah. Sebutan anti pembangunan hingga komunis ditujukan kepada mereka. Contohnya adalah pendeta Sugianto dan guru ngaji Rajiman di Tulung Bawang, begitu juga yang terbaru, Joko Prianto di Rembang.

Agama kristen perlu berefleksi dalam melaksanakan praksis misi di tengah konteks saat ini. Kekristenan seharusnya tidak boleh diam ditengah ketidakadilan. Peran serta agama kristen pula harus menyentuh pada keadilan agraria melalui penataan ulang kepemilikan dan pengelolaan atas tanah.


Tanah, Ibu kita.

Allah menciptakan bumi bukan untuk dimiliki segelintir orang. Bumi diciptakan Allah demi kesejahteraan seluruh makhluk. Lynn White pernah menuliskan dalam artikel pendeknya, The Historical Roots of Our Ecological Crisis, bahwa akar masalah kerusakan bumi itu adalah agama kristen. Kekristenan menjadi dasar untuk melegitimasi eksploitasi atas alam secara massif. Hal tersebut didasarkan pada Kejadian 1:28 dan sifat antroposentris dalam pengajarannya. Namun, dalam kitab yang sama pula sebenarnya diajarkan manusia untuk mengelola/steward (Kejadian 2; Mazmur 24:1).

Pada zaman dulu Allah memberikan tanah kepada bangsa Israel untuk dimiliki secara komunal dan bukan barang pribadi yang diperdagangkan. Inilah yang menyebabkan Nabot tidak mau menjual tanahnya kepada Raja Ahab (1 Raja-Raja 21). Masyarakat dahulu pula menggunakan tanah dan hasil produksinya digilir secara periodik (Avila, 1983:6).

Tanah pula tidak sekadar dihuni oleh orang yang masih hidup, namun juga roh dan jasad orang yang sudah mati (Kejadian 49:29-32; Bilangan 26:52-55). Dari tanah pula manusia diciptakan sehingga ia tidak hanya bernilai ekonomis, tetapi memiliki makna spiritual, kultural dan sosial. Tanah sudah selayaknya disebut sebagai ibu pertiwi.

Status tanah yang berubah

Seiring dengan berjalannya waktu, perubahan status tanah terjadi. Hal ini diakibatkan penjajahan dan pendudukuan. Peraih nobel perdamaian pernah berkata:

“ketika orang Eropa datang ke Afrika mereka punya Alkitab dan kami punya tanah. Mereka mengajak kami berdoa. Selesai berdoa kami punya Alkitab dan orang Eropa punya tanah kami.”

Ketika terjadi kolonialisasi satu negara ke negara lain, maka terjadi perubahan status tanah. Status tanah berganti ke tangan penjajah. Hal lain yang mempengeruhi adalah penjualan tanah. Tanah telah dikomodifikasi. Begitu juga akibat industrialisasi dan pembangunan pemukiman dan infrastruktur. Tanah ciptaan Tuhan telah dikomodifikasi dan dieksploitasi tidak lagi dipelihara untuk sumber hidup dan kepentingan bersama.

Di Indonesia sendiri hukum nasional saat ini bukan berpihak kepada para petani namun melindungi mereka yang berinvestasi. Hal ini berawal dari kedatangan penjajahan Belanda yang sedikit demi sedikit mengubah hak milik atas tanah agar dimiliki beberapa pejabat atau warga Belanda yang bermukim di Indonesia. Melaluinya pemerintah membentuk UU Agrarisch Besluit yang diundangkan dalam Staatblad No. 118, 1870. Pada era tersebutlah modal swasta Eropa berduyun-duyun datang mencengkram Indonesia. disaat yang sama muncul berbagai perkebunan swasta yang besar di Jawa dan Sumatra dengan segala akibatnya.

Dalam era kemerdekaan, terdapat landasan agraria yakni salah satu pasal dalam UUD 45 pasal 33 tentang falsafah tata kelola sumberdaya alam: bumi dan air beserta kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Seabad setelah Agrarisch Wet ditetapkan, pada 1960, pemerintah mengeluarkan undang-undang baru yang pertama mengatur tentang agraria, yang dikenal dengan UUPA no 5 tahun 1960.

Di era Soeharto, rezim Orde Baru, melupakan UUPA 1960, kementrian agraria dihapuskan, kemudian menandatangani undang pokok tentang kehutanan nomor 5 tahun 1967, undang-undang yang tidang mengakar pada semangat UUPA no 5 tahun 1960. Undang-undang kehutanan tersebut memfasilitasi investasi lokal dan asing di wilayah hutan.

Wajah pembangunan justru mewariskan wajah kolonial. Kebijakan-kebijakan diperuntukkan “empire” bukan petani. Semboyan buruh dan petani sebagai soko guru revolusi maupun pembangunan telah disalahartikan. Buruh dan petani menjadi korban di era pembangunan dan hanya menerima “tetesan” pembangunan. Era orde baru yang menggiring kemajuan ekonomi juga bergandengan dengan perampasan tanah (land grabbing) di berbagai tempat di Indonesia. PT Freeport mendapatkan konsesi di Papua, PT Inco di Sulawesi Selatan dan PT BNIL di Sumatra. Rakyat seringkali hanya menjadi korban hukum pembangunan, kekayaan alam diperah oleh pendatang.  

Peran kekristenan

Peran agama dalam kepemilikan tanah seringkali mendua. Seperti yang dikatakan Desmond Tutu diatas pula telah terjadi di zaman Mesir kuno. Ketidakadilan yang dilakukan para imam mengakibatkan pemberontakan oleh para petani dan budak (Epsztein, 1983:27). Kehidupan para imam yang mendapat tunjangan dari Firaun  hanyalah alat untuk melegitimasi berbagai kebijakan negara. Para imam mendoakan Firaun namun tidak mendengar jeritan petani dan para budak. Konteks demikianlah yang memunculkan seorang pembebas budak, Musa.

Tahun Yobel sendiri mengajarkan umat Israel untuk menggilir tanah untuk digarap. Tanah yang digadaikan dikembalikan pada penggarap semula atau keluarganya (Imamat 25). Hal ini juga tidak asing di Mesopotamia yang tertulis di hukum Hamurabi. Jika sedikit melirik di saat ini, bagaimana dengan Freeport?


Melihat hali ini, peran agama melalui teologi lingkungan tidak ada artinya tanpa teologi keadilan agraria dengan penataan ulang kepemilikan dan pengelolaan tanah. Manusia yang merampas tanah orang lain sebenarnya tidak hanya merampok sesamanya, tetapi juga merampok milik Allah. keadilan ekologi dan ekonomi seharusnya menjadi fokus misi kristen saat ini (Luk. 4:18-20; Mat. 25:31-46; 2 Pet. 3:1-16; Why. 21) karena manusia adalah pengelola bumi ini, bukan pemilik apalagi merusak.

Minggu, 12 Maret 2017

Buku: Enam Dekade Ketimpangan



Berdasarkan data Januari-Desember 2016 Konsorsium Pembaharuan Agraria, konflik tanah di provinsi JaTim berada di posisi kedua. Prestasi yang patut dibanggakan? Tentu tidak. Konflik tanah bukan perlombaan sepakbola. Dalam spakbola, semakin banyak TimNas memenangkan pertandingan, maka peringkat FIFA semakin naik, rakyatpun bahagia. Namun, konfik tanah tidak seperti itu. Konflik tanah tidak jarang mengakibatkan penganiayaan, kriminalisasi hingga pembunuhan. Rakyat menderita.

Buku yang “tipis” ini ditulis oleh dua orang ahli Indonesia, Gunawan Wiradi dan Dianto Bachriadi. Buku ini menganalisis sensus pertanian setiap sepuluh tahun sejak 1963. Dalam sensus tersebut memperlihatkan ketimpangan penguasaan tanah yang berdampak juga pada konflik tanah. Konflik tanah terjadi tidak hanya tahun 2016, konflik tersebut dibuahi sejak lama oleh kebijakan negara. Kebijakan yang  justru tidak berpihak kepada yang lemah.

Di tengah mekarnya konflik tanah di Indonesia, buku ini merefleksikan apakah kebijakan negara saat ini yang paling tepat demi terciptanya keadilan. Ketika tanah diprivatisasi, dianggap sebagai sarana penggandaan kapital, petani skala kecil terpinggirkan, petani menjadi tunakisma, rasio gini kepemilikan tanah membengkak, apakah ini satu-satunya solusi bagi kemajuan negeri ini?

Konflik tanah memang tidak hanya melibatkan para petani, tetapi juga masyarakat adat dan kaum miskin kota. Namun, melalui buku ini setidaknya memberikan gambaran kecil mengenai apa yang sedang terjadi di tengah fenomena konflik tanah.

Silahkan unduh di: http://arc.or.id/wp-content/uploads/2014/11/edk.pdf 


Jumat, 10 Maret 2017

Lingkungan Hidup dan Kaum Injili


Isu mengenai lingkungan hidup dalam kekristenan Injili di Indonesia belum menjadi topik yang serius untuk diperbincangkan. Apalagi aliran Injili konservatif, seperti yang diklasifikasi oleh Roger Olson, menganggap bumi ini telah ditentukan untuk hancur binasa. Kehancuran bumi akan tiba saat Injil telah diberitakan kepada semua orang. Mereka berlomba untuk memberitakan Injil dan memalingkan muka dengan berbagai persoalan lingkungan. Tidak hanya yang konservatif, survey yang dilakukan di Amerika menunjukkan bahwa kaum Injili umumnya cenderung tidak peduli dengan persoalan lingkungan. Dan saya rasa kenyataan inipun sama seperti di Indonesia.

Namun, ada secercah cahaya dengan kepedulian sejumlah tokoh Injili di Amerika untuk mengangkat isu ini sebagai perbincangan penting. Orang Injili menurut mereka memiliki kontrubusi yang besar untuk mempengaruhi kebijakan publik yang terkait dengan isu lingkungan. Sayangnya yang tersadarkan baru sebagian kecil. Akibatnya, orang Injili disana sebagian besar berpihak pada Donald Trump ketika pemilihan presiden, presiden yang tidak percaya pemanasan global.  

Contoh persoalan lingkungan di Indonesia adalah berkurangnya sumber mata air di kota Batu. Dari sekitar seratus lebih sumber mata air menyusut menjadi kurang dari 50 titik mata air. Tidak heran masyarakat di sekitaran Gemulo menolak pembangunan hotel di lingkungan sumber air tersebut. pembangunan yang dapat berdampak pada penyusutan debit air. Pembangunan yang semakin memperkecil jumlah titik mata air di kota batu.

Apa jadinya jika manusia hidup tanpa air? Sehabis makan saja kita tak terbiasa tanpa meneguk segelas air. Mandi -tidak mungkin tanpa air- juga sudah jadi ritual keseharian. Sebagian besar tubuh kitapun terdiri atas air. Manusia tanpa air tentu tidak akan bertahan hidup. Namun, manusia bisa hidup tanpa nilai lebih yang diperoleh dari pembangunan hotel.

Lingkungan hidup dan kemanusiaan tentunya berkaitan erat. Rusaknya alam maka berdampak pula pada kehidupan manusia. Allah sendiri telah berpesan agar memelihara bumi ciptaanNya. Pesan untuk mengasihi sesama dalam Injil tentu juga menjadi aneh dengan tidak pedulinya kita terhadap lingkungan hidup. Tidak perlu pandangan hirearkis dalam ciptaan Allah, yang meninggikan derajat manusia dibandindingkan ciptaan lain, dilenyapkan. Cinta terhadap alam adalah wujud cinta terhadap Allah dan sesama manusia.

mengharapkan bergesernya isu kepada persoalan lingkungan dalam dunia Injili mungkin juga akan membutuhkan waktu. Contohnya saja ketika interpretasi dan inspirasi berteologi Asia dan negara belahan dunia ketiga lainnya mulai sadar untuk mandiri, kaum Injili sendiri masih memuja superioritas Barat. Ini terlihat dari kurangnya suara-suara dari Asia yang terlibat dalam konferensi Injili sedunia pada awal abad ke-20. kemudian dapat terlihat juga dari keterlibatnya Injili dalam isu kemanusiaan. Keterlibatan tersebut dapat dikatakan telat. Ketika dunia telah terdampak oleh berbagai bencana kemanusiaan, perang merajalela, kesenjangan sosial, fasisme menggelora, kaum Injili yang baru menunjukkan sikap kepeduliannya di konferensi Lausanne pada 1974. Kali ini isu bergeser lagi ke persoalan mengenai kerusakan lingkungan, harapan untuk kaum Injili terlibat saat ini ibarat pertanyaan Filipus kepada Natanael ketika ia mengatakan telah menemukan mesias: “Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazareth?”   


Sabtu, 28 Januari 2017

Korupsi


Kasus korupsi patrialis akbar kocak juga. dia mewakili seorang yang agamis. Perawakannya sesuai standar agama. Menentang LGBT dan pemimpin kafir. Tidak lupa gelar di depan nama yang meyakinkan itu. Partnernya korupsi seorang pendeta, Basuki Hariman. Mereka berdua tidak bersaudara dalam iman namun dalam uang.

Agama memang dapat menjadi wadah yang cocok bagi penghisapan dan penindasan sesama. Agama dapat memanipulasi tetapi juga dapat menjadi alat subversi. itu sudah terbukti dari zaman para nabi. Kedua orang di atas menjadi contoh. Kata-kata manis dan perilaku moral yang terpuji tapi terjerat korupsi.

Sebenarnya di tengah moralisme kehidupan agama kita, cara mereka patut diapresiasi. Beragama saat ini disibukkan dengan simbol-simbol luaran. Kita bergelut sebatas moralitas individual-spiritual. LGBT kita tentang sampai ke akar, namun tidak dengan kasus perampasan tanah. Orang beristri dua menjadi topik panas tapi tidak dengan kasus pelanggaran HAM. Kita memuji gelontoran uang diberikan pengusaha dalam rumah ibadah, yang bisa jadi hasil eksploitasi dari keringat buruh. Sikap dermawan pejabat sangat disanjung terlepas dari asal usul kekayaan yang mereka akumulasi. Moralisme ini menjadi sarana pelanggengan korupsi. Untuk rakyat, mereka menjadi tidak kritis terhadap penguasa. Untuk penguasa, menjadi alat manipulasi umat.

Mengenai kasus korupsi, tidak hanya baru kali ini, dia terus mewarnai media. Individu-individu terus diciduk akibatnya. Tidak main-main, sampai yang mantan menteripun terlibat. Korupsi sudah membudaya, katanya. Tapi dengan banyaknya kasus korupsi yang ada, sangat mungkin juga didukung dengan struktur.

Hal ini terlihat dari kekuasaan dan kapital/uang yang menjadi pasangan harmonis dalam arena demokrasi kita. Dengan kekuasaan seseorang dapat mengakumulasi uang, demikian juga sebaliknya, cara memperoleh kekuasaan adalah dengan uang. Tidak heran seseorang dapat mengeluarkan banyak uang demi memasarkan namanya kepada rakyat agar gambarnya di coblos. Capaian milyar hingga triliunan dikeluarkan. Sehingga penelitianpun mengatakan korupsi merupakan masalah umum di negara demokrasi seperti ini. Slogan ‘dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat’ menjadi ‘dari rakyat, oleh pejabat, untuk kepentingan bisnis’.

Korupsi yang telah terstruktur tidak bisa dilawan dengan kacamata moralis keagamaan. Pelaku tidak bisa hanya dilihat sebagai individu yang jahat. Korupsi tidak hanya dilihat kejahatan personal karena kurangnya kedekatan dengan Allah.  korupsi ditandingi bukan dengan hujatan terhadap moralitas di atas mimbar ibadah. Korupsi tidak hanya ditumpas melalui doa bagi penegakan hukum kita. Walaupun semua hal tersebut bukannya tidak penting.

Agama yang dikikis hanya mengurusi masalah moral keagamaan menjadi sarana pelanggengan kekuasaan orde baru. contohnya partai politik islam yang hanya berkutat di urusan moral, namun tercerai dengan keadilan sosial. Ditambah ‘legitimate performance’ yang berhasil memberikan standar hidup layak, tidak heran masih banyak orang memimpikan kembali ke era itu.

Era orde baru memperlihatkan jelas, korupsi yang diakibatkan politik dikuasai militer dan disokong pebisnis. Korupsi yang telah mengurat akar tersebut memicu reformasi. Salah satu cara menghentikan korupsi era reformasi melalui pembentukan KPK. Sayangnya, hingga kini korupsi terus merajai.

Demokrasi ala kapitalisme dengan perkawinan kekuasaan dan kapital harus dipikirkan ulang. Apakah ini sistem terbaik bagi negeri ini? Rakyat perlu berperan aktif, lingkup agama seharusnya tidak hanya lembaga moralisme. Struktur yang mengakibatkan ketidakadilan sosial akibat korupsi adalah dosa yang Allah kutuk. jika abai terhadap hal ini, jangan heran fanatisme agama bertumbuh subur. Mereka mewarnai arena publik. Mungkin itu juga cara Tuhan menegur keagamaan kita.   



Rabu, 11 Januari 2017

Kekristenan dan Fanatisme Agama


Gejala-gejala hingga aksi fanatisme agama telah tampak nyata di Indonesia. Fanatisme beragama terwujud dalam kebencian terhadap perbedaan. Kata-kata makian hingga ancaman keluar begitu saja demi membela agama. Aksi teror mengatasnamakan agamapun hadir hingga merenggut nyawa manusia.

Fanatisme beragama ini semakin terlihat ketika dan setelah isu penistaan agama yang dilakukan gubernur Jakarta. Mereka mengatasnamakan kebhinekaan dan persatuan NKRI. Walaupun demikian, rasa benci terhadap yang berbeda identitas tidak bisa disembunyikan.

Yang menarik setelah berbagai fenomena yang tampak di permukaan, berbagai reaksi pula hadir dari berbagai kalangan termasuk kalangan kristen. Saya yang tinggal dalam lingkungan sekolah teologi melihat upaya penyuaraan terhadap keberagaman. Parade budaya dari beragam latar belakang etnis ditampilkan pada acara desa di daerah kami.

Reaksi pula muncul dari tokoh-tokoh agama. Ada yang jarang menulis status di FB atau Twitter mengenai realitas sosio-politik di Indonesia tiba-tiba menyuarakan keberpihakannya. Padahal biasanya hanya menulis ajaran-ajaran moral ataupun kata-kata motivasi yang selalu tak kugubris.

Di samping dampak yang buruk oleh fanatisme agama ini, adapula dampak baik yang dapat di petik. Ada yang dulunya mungkin tidak mau tahu terhadap kondisi sosio-politik di Indonesia dipaksa harus tahu. Ada yang dulunya mencoba netral dipaksa untuk berpihak - sekalipun yang terlihat hanya berpihak pada Ahok -. Semua ini terjadi karena permasalahan diberitakan di televisi dapat juga dialami kapan saja dan oleh siapa saja. Bisa saja aksi pemboman terjadi di Malang tidak di Samarinda, demikian juga dengan pelarangan ibadah ataupun pemboikotan makanan hingga anti sana dan sini.

Jika melihat reaksi dari kalangan kristen maka suara-suara yang dikumandangkan lebih banyak menyangkut penerimaan terhadap perbedaan. Akar masalah yang terjadi disini bisa jadi hanya mengenai isu ajaran agama yang keliru. Ajaran agama yang menjadi bibit fanatisme ini harus dilawan dengan ajaran lain yang lebih terbuka terhadap perbedaan.

Bibit fanatisme yang timbul dari ajaran agama yang keliru tentu bisa saja diterima. Namun tidak bisa juga dipungkiri, fanatisme agama yang dapat berwujud aksi terorisme diawali juga dari ketidakpuasan kondisi ekonomi-politik yang ada di Indonesia bahkan dunia.

Ketidakpuasan terhadap tatanan ekonomi-politik yang ada di Indonesia dapat menjadi lahan yang subur bagi bibit fanatisme agama. Kondisi kesenjangan ekonomi yang tidak dapat dipungkiri, perampasan tanah demi infrastruktur dan industrialisasi yang terjadi, rumah-rumah orang miskin yang digusur hingga politik oligarki yang menjadi permasalahan negeri tampak nyata di depan mata.

Hal ini terlihat oleh aksi Rachmawati Soekarnoputri dan juga kawan-kawan lainnya yang ditangkap akibat isu makar, mereka mengambil celah ini. Mereka kemudian ingin memberikan alternatif melalui kembali pada UUD 1945 yang asli. Adapula yang ingin memberikan alternatif dengan mendirikan negara Islam seturut dengan syariat Islam.

Melihat ini tentunya dengan berbagai ajaran dan aksi fanatisme yang terjadi tidak sepenuhnya akibat ajaran agama yang keliru. Ajaran agama yang keliru itu adalah bagian dari elemen lainnya, yakni ketidakpuasan terhadap ekonomi-politik yang ada. Permasalahan itu nyata dan banyak yang menderita akibatnya.


Yang patut di tunggu adalah bagaimana reaksi kristen terhadap faktor ekopol tersebut. Jika hanya mengangkat isu mengenai kebhinekaan, keharmonisan, pluralisme bisa jadi hanya aksi-aksi reaktif yang akan selalu kita temui dan saksikan dari kalangan kristen.   

Minggu, 01 Januari 2017

Pertentangan Paulus dengan Kaisar


Disamping kontribusinya yang banyak dalam penulisan kitab-kitab Perjanjian Baru, Paulus juga banyak memberikan inspirasi bagi pergerakan misi. Berdasarkan surat-suratnya dan juga kisah tentangnya, banyak orang ingin mempelajari strategi, metode hingga praktek bermisi ala Paulus.

Sekalipun begitu, teladan misi yang dipungut seringkali hanya sekisaran pertambahan jemaat, pemberitaan Injil, praktek apologetik namun jarang yang melihat aspek politis apalagi melalui pertentangannya dengan kekuasaan atau pemerintahan.

Kaitan antara ajaran Paulus dan pemerintah biasanya hanya berdasarkan Roma 13:1 yang menjadi ayat favorit utuk menjawab etika politik kristen: "Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah."

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan perintah tersebut, tetapi jika itu melegitimasi untuk diam di tengah kenyataan pemerintahan yang tidak adil, maka tentunya harus dipertimbangkan ulang. 

Antara Stoa, Epikurus dan gerakan kaum Zelot

Di tengah konteks kehidupan yang dihadapi Paulus ada dua ekstrim sikap terhadap pemerintah. Sikap yang pertama adalah melakukan perlawanan melalui tindakan radikal. Mereka ini adalah kaum Zelot. Mereka akan melakukan apapun untuk merebut kekuasaan, baik itu dengan aksi kekerasan dan terorisme. Yang kedua adalah gerakan menarik diri ala Stoa dan Epikurus. Mereka bersikap apolitis, membenci bahkan menjauhi masyarakat. Pemerintahan bagi mereka adalah hal yang kotor dan duniawi sehingga harus dihindari.

Di tengah kedua ekstrem tersebut hadirlah tulisan Roma 13:1. Paulus menyatakan bahwa pemerintahan bukanlah sesuatu yang kotor dan harus dijauhi, pemerintah itu berasal dari Allah. penyataan Paulus itu sangat mungkin ditujukan kepada mereka yang terjangkit ajaran Stoa dan Epikurus. Taat kepada pemerintah bukanlah hal kejahatan, karena pemerintahanpun berasal dari Allah.

Namun di sisi lain, di tengah pemberhalaan kepada Kaisar pada zamannya, Paulus juga memberikan perlawanan. Yesus Kristus yang diberitakan itu berdimensi konfrontatif terhadap  tatanan pemerintahan yang ada.

Pemberitaan Yesus

Yesus adalah yang diurapi, dia sebagai mesias yang menjadi paket khotbah dalam misi Paulus. Pemberitaannya ini mengandung bahaya karena istilah ini memiliki konotasi politis: Dia akan menjadi raja dan penguasa.

Kematiannya tidaklah membuktikan pergerakannya gagal. Ia adalah Tuhan yang bangkit dan berotoritas yang patut ditaati, entah itu orang Yahudi, Yunani atau Romawi.

Hal ini tentunya bertentangan dengan kultus kaisar. Eckhard Schnabel, dalam buku Rasul Paulus sang Misionaris, menuliskan bahwa semua orang di daerah jajahannya diwajibkan ikut dalam penyembahan kepada Kaisar. Ia juga menggambarkan perayaan tahunan yang dilakukan untuk menghormati kaisar, namun Paulus mengharapkan jemaat di Korintus untuk tidak menghadiri pesta tersebut (1 Kor. 8:4-6; 10:21).

Selain itu juga ia menyerang legitimasi keputusan pemerintahan Romawi ketika menyatakan kebangkitan Yesus. penegasan bahwa kematiannya di kayu salib adalah rencana keselamatan Allah dimaknai sebagai Pilatus alat Allah. Jika Yesus adalah juruselamat seharusnya penguasa Romawi di provinsi Yudea tidak menyalibkan Dia.

Ada pula pemberitaan Yesus yang disalibkan, bangkit dan dinantikan bertentangan dengan tatanan kota karena struktur egaliternya, tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan. Dengan tatanan hirearkis yang menekankan keallahan sang Kaisar dan anggota keluarga kaisar maka iman dan ketaatan kepada Yesus yang disalibkan adalah kriminal.

Melihat hal ini, Paulus tentunya tidak mengajarkan bahwa kita harus pasif di tengah kelaliman dan ketidakadilan pemerintah. Yesus yang diberitakannya juga melawan tatanan hidup yang tak seimbang. 

Melihat pemerintahan yang tidak adil juga menuntut kita bertanya, seperti yang Petrus dan Yohanes tanyakan, “mana yang benar: taat kepada manusia atau kepada Allah?”. Ketika kita coba tarik sedikit dalam konteks kita, melihat para petani direnggut tanahnya, orang miskin digusur, pelanggaran HAM diabaikan, kekayaan yang dimonopoli segelintir orang apakah ini sudah melawan ketetapan Allah atau justru kita berdalih ini hanya sekadar perspektif?


Diberdayakan oleh Blogger.

Featured Post Via Labels

Instagram Photo Gallery