Minggu, 11 Desember 2016

Pesan Natal dari Malang



Saya mengikuti ibadah natal pertama pada di tahun ini pada tanggal 11 desember. Natal di kota malang, di hari minggu, pagi.

Seperti biasa setiap ibadah tentunya ada elemen khotbah. Khotbah memiliki bobot yang tinggi dalam ibadah, setidaknya itu yang diyakini tokoh reformatoris. Khobah pada hari natal biasanya lebih spesial. Selain isinya yang seputaran kelahiran Yesus, pembicaranya juga berasal dari luar.

Khotbah pada hari itu dibawakan oleh dosen dan pengajar homiletika di salah satu sekolah teologi di Malang. Jika dibandingkan dengan Ps. Gilbert L, pengikutnya di twitter tidak seberapa, seribuan orang. Jika dia menulis status ataupun memasukkan gambar di fb penyukanya seringkali mencapai 600-an orang, sangat banyak jika dibandingkan dengan fb saya. Setidaknya itu menggambarkan sedikit tentangnya.

Khotbah di bawakan dengan berlatar Matius 1:1-17. Pesan yang dibawakan adalah Allah memulihkan umatnya. Umatnya mengalami damai, bahagia, sejahtera dari dalam dirinya. Pemulihan yang memutus ikatan dosa yang biasa dikenal dosa individual. Allah tidak memulihkan ekonomi, kesehatan, politik atau hal luaran lainnya.

Pertanyaannya adalah apakah kelahiran Yesus di dunia hanya bertujuan demikian? Apakah Yesus abai dengan dosa struktural?
                                   
Dosa

Dosa merupakan natur dan pelanggaran terhadap hukum Allah. Pelanggaran pertama kali dilakukan oleh adam dan Hawa (dosa asal). Mereka berdosa dan naturnya menjalar ke seluruh manusia. Akibatnya manusia telah berdosa sekalipun masih dalam kandungan (Mazmur 51:5). Manusia juga berdosa ketika ia berpikir, berkata dan berperilaku tidak sesuai dengan hukum Allah (dosa aktual).

Dosa ini mengakibatkan gambar dan rupa Allah rusak. Manusia rusak total (total depravity) secara spiritual namun ia dapat melakukan perilaku moral yang sesuai dengan hukum Allah (kebaikan alamiah, kebaikan sipil, kebaikan agamawi). Walaupun perilakunya baik namun tidak benar di mata Allah (Roma 3:10). Tetapi tidak berarti apa yang baik tersebut Allah tidak kehendaki. Umat Niniwe dituntut Allah untuk bertobat melalui seruan nabi Yunus, pertobatan tersebut dalam artian perilaku moral karena umat Allah bersifat partikularistik, eksklusif bagi bangsa Israel.

Dosa tersebut merusak hubungan manusia dengan Allah, dirinya sendiri, sesama dan lingkungan. Keterpisahan manusia dengan Allah menyatakan kematian rohani. Manusia juga bergelut dengan dirinya tentang pemikiran, nafsu dan keinginan. Manusia menjadi serigala bagi sesamanya, saling memangsa demi kepuasan. Lingkunganpun menerima akibat, dengan habis dibabat.

Dosa individual (dosa asal dan aktual) diakui dalam tradisi ajaran Injili. Dosa tersebut merambat pada struktur sosial kehidupan yang dibentuk manusia, baik itu ekonomi, politik, hukum, sosial, budaya. Dosa tersebut melembaga dan berbentuk sistem. Dosa itu tidak lepas dari penilaian Allah. Kebijakan-kebijakan yang tidak adil, mempermiskin, memperbodoh, menindas, mengintimidasi bertentangan dengan hukum Allah.

Dalam Kitab-kitab Perjanjian Lama, umat Allah diberi larangan membebankan bunga kepada orang miskin. Juga hukum yang melindungi supaya orang tidak menjadi miskin, yaitu dalam peraturan tahun Sabat dan tahun Yobel. Dalam peraturan-peraturan tersebut sangat jelas kaitan antara norma-norma sosial dan motivasi-motivasi religius saling mendukung untuk mentransformasi struktur sosial-ekonomi yang menindas masyarakat. Asumsi teologisnya adalah, bahwa Allah adalah Pembebas yang telah membebaskan umat-Nya supaya mereka juga membebaskan sesamanya. Allah menghukum mereka yang mencatut dan memberi bunga atas pinjaman yang diberikan kepada orang miskin (Yehezkiel 22:12). Nabi-nabi juga mencela pembagian tanah yang tidak adil ketika penguasa-penguasa merampas tanah rakyat dan mengusir mereka ke perbatasan (Hosea 5:10; Yesaya 5:8).

Kehadiran Yesus

Yesus hadir ke dunia tidak hanya menyimbolkan Allah yang ingin menyelamatkan manusia berdosa. Allah juga memberi teladan dan bersolidaritas terhadap manusia yang berdosa. Ia pernah merasa ditinggalkan oleh Allah (Mat. 27:46). Ia pernah merasakan konflik dengan dirinya sendiri (Mat. 26:38). Ia juga hidup menjadi dan bersama orang yang menderita akibat tatanan masyarakat.

Dosa itu hadir melalui satu orang tetapi berdampak sosial-struktural. Struktur yang dibentuk oleh manusia namun juga mengkondisikan manusia. Penderitaan tidak hanya ada di dalam ruang batin tetapi juga akibat tatanan masyarakat yang tidak adil. Yesus datang ke dunia menghadirkan teladan. Ia menyuarakan pembebasan terhadap dosa. Suaranya seperti pedang bermata dua, yang menusuk ke dalam pertimbangan dan pemikiran manusia (Ibr. 4:12). Tetapi suaranya juga mengganggu tatanan masyarakat. oleh karenanya, orang yang diuntungkan dengan tatanan tersebut (penguasa, alim ulama dan orang kaya) seringkali berseteru dengan Yesus.

Dalam Perjanjian Lama, tindakan Allah membebaskan umat-Nya yang tertindas merupakan tindakan melayani (diakonein), sedangkan dalam Perjanjian Baru, kedatangan Yesus ke dunia adalah bertujuan untuk melayani (diakonein). Jadi pelayanan adalah suatu tindakan yang berorientasi pada tindakan Allah yang menyelamatkan, sehingga manusia akan menentukan kehidupan yang sejati sebagai gambar Allah.

Dasar alkitabiah kita sangat kuat untuk mendukung pembebasan terhadap orang-orang tertindas dan sengsara, seperti orang miskin dalam ikatan struktur yang tidak adil. Hal ini juga yang seharusnya menjadi dasar umat kekristenan meneladani praksis tersebut. 

Pembebasan yang Yesus inginkan bersifat menyeluruh (individual dan struktural) tetapi belum sepenuhnya terlaksana. Pembebasan penuh akan terjadi di kedatangan Yesus ke dua (Kis. 1:7). Apakah Yesus menginginkan kesejateraan ekonomi, politik, kesejahteraan jasmani, dsb.? Ya, Dia ingin. Tugas manusia sekarang adalah menjadi saksinya sampai ke ujung bumi (Kis. 1:8). Saksi kepada manusia yang terjerat dosa.

Lalu bagaimana dengan tatanan masyarakat saat ini? Apakah kesaksian juga perlu sampai ke tahap itu? tentunya perlu, jika tatanan masyarakat tersebut tidak adil, hanya untuk kepentingan segelintir orang.

Konteks Masyarakat Kita

Indonesia mengalami kemajuan dalam kesenjangan ekonomi. 1% orang Indonesia hampir menguasai 50% kekayaan negara. Ketidakadilan sosial terpampang jelas di wajah kita. Keadilan sosial yang tertera dalam Pancasila sekadar hiasan.

Banyak orang-orang menderita akibat tatanan yang tidak adil. Ketidakadilan tersebut tidak hanya ekonomi namun sejalan dengan politik. Orang-orang kayalah yang menguasai demokrasi Indonesia. tidak perlu referensi dan analisa ketat untuk mengetahuinya.

Dosa tentunya telah mengakar secara struktural. Pemulihan ekonomi-politik pun juga Allah inginkan. Membebaskan orang yang menderita akibat diusir dari tanahnya, direbut hak-haknya, digusur dari rumahnya, direnggut nyawanya merupakan maksud Yesus datang ke dunia. Entah bagaimanapun solusinya namun pengabaian terhadap hal ini juga merupakan pengabaian pesan natal itu sendiri.



Minggu, 27 November 2016

Benci



Ekspresi kebencian dapat ditemui di keseharian. Melihat berita di tv, membaca koran, berselancar di media sosial, hingga relasi keseharian dapat tampak wajah kebencian yang biasa dipertotonkan. Kebencian terhadap agama, suku, ras dan antar golongan bisa dipicu hanya akibat perbedaan. Kata-kata makian hingga tindakan kekerasan merupakan ekspresi yang terlihat.

Biasa juga dikabarkan orang-orang mengerumuni pencuri hanya untuk berlomba untuk menghadiahi pukulan. Di keseharianpun terkadang hal sepele bisa memicu kebencian, masalah pinjam-meminjam bolpen hingga meminta kertas untuk mencetak tugas dapat memicu sumpah serapah ketika di bangku kuliah.

Kebencian itu mudah ditemukan dan bisa hadir kepada siapa saja. namun, kebencian itu menguras waktu, pikiran dan tenaga. Yesus mengajar tentang berdamailah dengan saudara sebelum melakukan ritual ibadah di dalam Matius 5:23-24:

Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.”

Berdamai dengan saudara adalah lingkaran orang-orang dekat, tetapi Yesus memberi teladan juga untuk berdamai dengan siapapun bahkan dengan orang-orang yang tidak dikenal dan membenci kita. Ketika Yesus disalib ia dapat berdamai dengan orang-orang yang mengutuk, mengadili hingga yang menghujam paku di tangan dan kakinya. Yesus mengampuni mereka karena mereka tidak tahu apa yang diperbuatnya.

Gus Mus yang belum lama ini diberitakan di cerca di media sosial pun telah meneladankan untuk berdamai dengan orang yang mencercanya. Kebencian memang mudah timbul di tengah harga diri yang begitu tinggi. Harga diri bisa dibalut dengan agama, suku, ras dan antar golongan atau kepentingan-kepentingan untuk melegitimasi kebencian.

Yesus hadir ke dunia dengan mengosongkan dirinya agar menjadi sama seperti manusia. Yesus tidak hanya merendahkan diri tetapi meniadakan dirinya untuk menunjukkan kasihnya dan solidaritasnya kepada manusia yang menderita akibat dosa. Di tengah duniapun ia meleburkan dirinya dengan orang-orang yang paling hina dan terpinggirkan. Yesus meleburkan diri dengan orang Samaria, pemungut cukai, pelacur, penyakit kusta, orang-orang miskin dengan cara hidup bersama mereka, merasakan apa yang mereka rasakan dan berada dipihak mereka.

Melalui peleburan diri dengan mereka yang paling hina dan terpinggirkan, kebencian yang berbuah dari benih harga diri yang tinggi tidak akan bertumbuh subur. Ia seperti ditanam di tanah yang kering. Kitapun tidak lagi disibukkan oleh masalah-masalah sepele yang bisa menghabiskan waktu sebagian hidup kita akibat rasa benci.

Jumat, 25 November 2016

Keberpihakan Kristen


Mengasihi sesama manusia tentu itu ada di setiap ajaran agama. Dalam ajaran kristen, perintah itu merupakan perintah utama yang merupakan inti dari hukum taurat. “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu... kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”, kata Yesus untuk menjawab pertanyaan ahli Taurat mengenai perintah yang paling utama.

Perintah mengasihi sesama manusia ini sendiri telah diteladani Yesus melalui kehidupannya. Yesus mengasihi terutama bagi mereka yang berdosa, miskin dan terpinggirkan. Yesus mengasihi mereka yang berbeda agama dan suku yang seringkali menjadi tembok pemisah sosial di dalam masyarakat. Yesus mengasihi tanpa memandang SARA.

Ajaran kasih itu pula hadir di setiap tulisan pastoral Paulus kepada jemaat-jemaat yang tersebar di berbagai tempat. Namun yang menariknya ada kalimat di salah satu surat Paulus mengenai perbuatan baik terhadap semua orang tetapi diutamakan kepada kawan-kawan yang seiman (Gal. 6:10).

Di dalam tradisi teologi kristen ada yang mengajarkan untuk mengutamakan mereka yang miskin dan terpinggirkan untuk menyalurkan kasih. Teologi ini biasanya lahir di tengah konteks ketidakadilan sosial yang sebagian besar ada di dunia ketiga ataupun bagian Selatan. Teolog-teolog dan pemuka agama menyuarakan suara mereka yang tidak didengar untuk memperjuangkan keadilan layaknya para nabi. Kritik profetis ditujukan kepada mereka yang berkuasa dan yang melanggengkan penindasan.

Kegaduhan politik

Di tengah kegaduhan politik di Jakarta menjelang pemilihan gubernur, kegaduhan semakin menguat ketika Ahok terlibat kasus penistaan agama apalagi ia telah ditetapkan sebagai tersangka. Berbagai respon masyarakat bermunculan, entah itu yang mendukung ataupun bersimpati kepada Ahok hingga yang ingin secepatnya memenjarakan Ahok.

Kegaduhan politik di Jakarta ini meredam berbagai suara-suara lain yang terjadi di Indonesia. Kasus mengenai penangkapan para aktivis di Papua dan para petani yang dirampas tanahnya oleh negara kalah seksi dibandingkan kasus Ahok. Padahal mereka inilah mewakili suara-suara yang ditindas dan terpinggirkan.

Identitas Ahok yang beragama kristen memang seringkali menjadi pijakan keberpihakan orang-orang kristen. Hal ini tampak dari dukungannya di media sosial yang menyandingkannya dengan Yusuf bahkan Yesus sendiri. Ahok dianggap orang benar yang mengalami derita karena imannya. Apalagi dengan ajaran Paulus untuk mengutamakan orang-orang beriman, semakin kuatlah pegangan orang kristen untuk mengutamakan Ahok.

Mengenai iman

Iman diberikan Allah kepada manusia itu merupakan anugrah Allah bukan karena perbuatan manusia. Sebagian besar tradisi teologi kristen tentunya meyakini ini. Namun, iman itu sendiri tidak berwujud materi, manusia yang dianugrahkan Allah iman hanya Allah sendiri yang mengetahuinya. Di dalam pengetahuan Allah yang kekal, 

Allah telah mengenal dan mengetahui umat pilihanNya di segala tempat dan di sepanjang zaman, tetapi bagi manusia itu merupakan misteri.
Manusia dapat salah menilai terhadap iman orang lain. Orang yang dulunya rajin ibadah, rutin mengikuti kegiatan agama, namun ternyata dapat meninggalkan imanya, seperti kisah Himeneus dan Filetus dalam surat Paulus kepada Timotius.

Penilaian yang salah terhadap orang lainpun mungkin terhadap diri sendiri. Perasaan, pikiran dan kehendak manusia sudah tercemar oleh dosa dan rentan akan salah. Yesus pernah memberikan perumpamaan mengenai hari terakhir, mereka yang tidak masuk dalam sorga terkejut ketika di penghakiman terakhir karena mereka telah bernubuat, mengusir setan hingga melakukan banyak mujizat demi Tuhan tetapi tetap ditolak (Mat. 7:22).

Iman tidak hanya di terwujud melalui kata namun juga melalui perbuatan. noticia (pengertian/pengetahuan), asensus (persetujuan) dan fiducia (ketaatan kepada kebenaran) tidak bisa terpisah untuk menggambarkan pengertian iman. Iman tanpa perbuatan pada dasarnya mati seperti dituliskan dalam surat Yakobus.

Iman dinyatakan melalui perbuatan telah diajarkan oleh Yesus melalui keberpihakannya kepada orang miskin, terpinggirkan dan tertindas. Ketika Yesus ditanya oleh ahli Taurat tentang siapakah sesama manusia, Yesus menceritakan kisah orang Samaria yang murah hati. 

Orang Samaria di zaman itu menyimbolkan orang yang terpinggirkan dan tertindas dalam konteks agama, sosial, politik. Sesama manusia justru ditujukan kepada orang Samaria, bukan orang lewi ataupun imam yang digambarkan Yesus tidak peduli terhadap penderitaan sesama manusia.

Beriman tidak hanya melalui kata namun juga perbuatan. Perlawanan teman-teman di Papua terhadap berbagai pelanggaran HAM, perlawanan para petani terhadap perampasan tanah di desa Sukamulya merupakan wujud peminggiran dan penindasan yang terjadi sekarang ini. Perlawanan mereka bukti tindakan yang sesuai dengan hukum moral Allah. Allah membenci penindasan dan peminggiran yang merupakan antetesis dari mengasihi sesama manusia.


Penilaian iman yang benar setidaknya telah ada dalam perlawanan teman-teman Papua dan para petani di Sukamulya. Mereka dapat mewakili ‘kawan-kawan beriman’ yang diistilahkan Paulus yang perlu diutamakan seperti ajaran Yesus. Hingar bingar politik Jakarta yang menguat setelah kasus Ahok setidaknya tidak membuat orang kristenpun hanya jatuh pada keberpihakan identitas namun lupa dengan mereka yang terpinggirkan dan tertindas. 

Senin, 14 November 2016

Komunitas Berbasis Manusiawi


Baru-baru ini aksi massa yang dilakukan sebagai wujud solidaritas antar umat Islam terhadap penistaan agama telah dilakukan. Aksi massa tersebut menyatukan ratusan ribu orang dari berbagai elemen gerakan dan berasal dari berbagai daerah. Tidak hanya cukup sampai disitu, aksi massa lanjutan rencananya akan dilakukan jika harapan dari suara-suara mereka tidak terwujud.

Aksi massa tersebut memang ditunggangi berbagai macam kepentingan, mulai dari sentimen agama, rasis, kekecewaan politik, kepentingan para elit politik bercampur baur menjadi satu. Solidaritas lintas kelaspun menyatu di Jakarta. Orang miskin, kelas menengah, para elit politik, ulama-ulama bergabung untuk bersuara.

Jika melihat pada kejadian terdahulu, sentimen yang membawa isu ras dan agama rentan menimbulkan konflik horizontal, sesama rakyat. Entah ada hubungannya atau tidak, beberapa hari setelah aksi massa tersebut,  terjadi teror bom di Samarinda yang melukai empat orang anak kecil. Bahkan terdengar dengan jelas melalui video-video di YouTube makian terhadap etnis tertentu ketika aksi massa dilakukan.

Kasus yang dimulai dari orasi Ahok di kepulauan seribu ini terlihat dibalut oleh kepentingan agama. “Aksi bela Islam” adalah slogan yang disuarakan. Berbagai tafsiran untuk mendukung gerakan massa ini disuguhkan kepada publik. Berbagai tafsiran terhadap ucapan Ahok dan juga tafsiran kitab suci silih berganti di media massa.

Aksi massa tersebut sebenarnya adalah ciri negara demokrasi. Demokrasi tanpa demonstrasi itu ibarat pesan es teh gak pakai es. Orang yang mengutuk aksi massa atau juga yang menganggap aksi massa sudah tidak relevan mungkin perlu perenungan ulang.

Namun, aksi massa ini pula setidaknya perlu memikirkan isu-isu yang substantif. Isu-isu seperti keadilan, kesejahteraan manusia dan lingkungan seharusnya turut menjadi perhatian. Sayangnya aksi massa sebesar ini tidak dilakukan disaat pengrusakan lingkungan akibat korporasi besar melalui perkebunan dan tambang semakin massif. Demonstrasi tidak dilakukan disaat banyaknya orang Papua hilang seakan tak berjejak. Suara massa tidak ada untuk menuntut keadilan disaat kesenjangan sosial semakin curam.

Peran agama sebenarnya juga bukan hanya mengurusi perkara pembelaan terhadap agamanya. Di dalam tradisi kekristenan sendiri mengenal yang namanya apologetika. Salah satu tugas apologetika adalah pembelaan ketika iman kristen diserang. Selain tugas pembelaan, agama-agama juga berperan untuk menjadikan bumi ini semakin layak untuk ditinggali, melalui perjuangan menegakkan keadilan, kesejahteraan manusia dan lingkungan.

Penafsiran setiap agama untuk menemukan nilai-nilai transformatif yang berdampak bagi dunia memiliki peranan penting. Agama kristen sendiri memiliki sejarah gelap, kemanusiaan pernah dihargai sangat rendah dengan alasan kebenaran. Manusia diasingkan hingga dibunuh atas nama kebenaran. Sejarah kekristenan pernah sangat mengerikan dan berdarah-darah, dimana agama dapat menggerakkan pengikutnya untuk saling membenci dibandingkan menyatukan.

Tinggal di  bumi seharusnya menjadikan kita komunitas berbasis manusiawi, lintas agama dan etnik. Kesadaran akan sejarah secara realistis itu penting bagi pembentukan komunitas berbasis manusiawi. Kesadaran akan sejarah yang kelam membuat kita belajar untuk mencurigai ajaran agama yang seringkali diperalat untuk berbagai kepentingan dan meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan.

Agama merupakan basis dalam masyarakat tetapi juga rentan dipakai sebagai manipulasi ideologis oleh berbagai kelompok. Tidak ada agama yang bebas ideologi, justru mereka yang ingin membebaskan diri dari ideologi akan mudah ditunggangi untuk kepentingan mereka yang kuat yang mempertahankan status quo.

Didalam dunia agama harus sadar akan ekonomi-politik yang mengkondisikan basis kehidupan masyarakat. Paul Knitter, di dalam bukunya satu bumi banyak agama, menuliskan seandainya setiap agamapun bersatu dan mengerjakan tanggung jawab global tetapi tidak mempedulikan analisa ekonomi-politik juga rentan dipakai alat kekuasaan.

Kebenaran universal yang seharusnya dipegang oleh setiap manusia adalah adanya penderitaan akibat ketidakadilan, kemiskinan dan rusaknya bumi akibat manusia. Keberpihakan dan mengutamakan mereka yang miskin dan menderita yang pernah didengungkan oleh teologi pembebasan bisa dijadikan alternatif untuk mempersatukan.

Di tengah berbagai konflik bermuatan SARA, Prof. Tamrin Tomagola mengemukakan di sebuah diskusi, tidak lepas dari persoalan ekonomi-politik. Ketimpangan ekonomi-politik merupakan mesiu bagi meledakkan konflik selain lapisan luar ataupun konteks yang mendukung. Oleh karena itu tidak heran, satu provokator dapat menjadi pemantik meledaknya konflik di Ambon, namun tidak di Sulawesi Utara. SulUt tidak mudah di sulut.

Konflik yang merebak bermuatan SARA rentan meluas menjadi konflik horizontal yang meresahkan rakyat. Intoleransi menjadi kata-kata yang sering dibicarakan. Intoleransi membuat resah dan gerah tetapi disayangkan kita tidak terlalu resah dan gerah dengan ketidakadilan sosial, kesejahteraan manusia dan lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari twit peneliti LIPI senior, ketika membahas kasus ocehan Ahok yang dianggap menista Islam disebarluaskan jauh lebih banyak dibandingkan ketika membahas keadilan sosial.

Konflik dan keresahan yang tidak substansial bisa jadi menguntungkan bagi sebagian orang dan rentan ditunggangi oleh kepentingan. Namun yang pastinya hal tersebut tidak membuat kita semakin sadar akan musuh utama kemanusiaan. Konflik horizontal justru membuat kita berprasangka buruk hingga saling benci terhadap mereka yang berbeda tetapi tidak benci dengan ketidakadilan.












Kamis, 10 November 2016

411

Tidak lama setelah demo yang mengatasnamakan Islam 4 November lalu berselang, terdengar lagi isu demo susulan yang akan dilakukan. Demo susulan tersebut awalnya saya dengar dari WA group, tidak hanya itu, isunya juga demo ditunggangi kelompok tertentu yang akan melakukan aksi bom bunuh diri. Selang berapa lama setelah info dari WA kemudian saya juga membaca status teman di FB bahwa sekolah tempat dia mengajar mendapatkan ancaman bom.

Berawal dari kasus Ahok yang dianggap menista agama kemudian demo akbar di Jakarta  hingga isu-isu belum jelas mengenai bom tentunya meresahkan. Rakyat resah dengan pernyataan Ahok sehingga memicu gerakan massa dari berbagai daerah melakukan demonstrasi, adapula rakyat yang resah karena diakhir demo ada kerusuhan hingga rakyat resah karena ancaman bom. 

Mengenai Ahok, kubu Islam sendiri terlihat terbelah menanggapi isu ini. Ada yang menganggap Ahok penista agama ada pula yang tidak. FPI adalah salah satu ormas yang menghujat keras Ahok. Media sosial juga menjadi penggerak kemarahan massa dengan status-status yang menjelaskan kesalahan Ahok.

isu mengenai agama, etnis dan rasis memang sangat cepat menjadi bahan bakar massa untuk melakukakan pergerakan. Kita dapat belajar dari kasus Ambon, Poso, Sampang, Sampit hingga Jakarta. Rakyat kemudian menjadi korban akibat isu tersebut sehingga terjadi konflik horizontal hingga dapat mengorbankan nyawa.

Isu SARA, melalui sentimen etnik dan agama merupakan sumbu pemicu ledakan bom konflik di Indonesia. Namun, menurut Prof. Tamrin, yang pernah di siram teh ketika diskusi oleh Munarman dan disiarkan langsung tvO**, isu SARA hanyalah tampilan luar dari konflik. Ibarat sebuah bom rumah, selain sumbu, bom tersebut juga memiliki lapisan luar dan amunisi di dalamnya.

Lapisan luar sebuah bom yang menjadi fasilitator konflik dimulai dari konteks lokal, nasional dan Internasional. Konflik dapat terjadi dapat terlihat dari beberapa indikator dari konteks lokal. Indikator tersebut antara lain maukah kita bertetangga, bersekolah, bekerja, berorganisasi hingga yang tertinggi menikah dengan orang yang berbeda SARA. Dalam konteks Nasional dapat terlihat dari “penyekatan” SARA dalam lingkungan pemerintahan dan juga konteks internasional yang menopang aksi konflik.

Amunisi merupakan akar dari konflik. Akar tersebut adalah struktur ekonomi-politik. Ketimpangan ekonomi-politik, ketidakadilan, menjadi amunisi yang ampuh untuk meledakkan konflik. Sumbu yang tampak melalui perbedaan etnik dan agama merupakan tampilan luar yang di isi oleh ketidakadilan untuk memicu ledakan konflik.

Jika lapisan luar, amunisi dan sumbu telah selesai dibuat maka yang terakhir beraksi untuk meledakkan bom adalah pemantik. Provokator, dalam hal ini diibaratkan dengan pemantik. Jika pemantik telah dinyakan maka meledaklah bom tersebut.

Prof. Tamrin menghasilkan teori ini setelah melakukan penelitian di Halmahera dan Ambon. Menurutnya kombinasi beberapa faktor tersebutlah yang memicu konflik. Dan faktor-faktor tersebut dapat diterapkan di berbagai konflik di Indonesia.

Konflik yang diwarnai isu SARA ini rentan menjadi konflik horizontal, sesama rakyat. Tidak heran setelah kasus Ahok maka ada isu yang menyerang kaum minoritas. Kemanusiaan digilas atau viktimisasi istilah Paul Knitter, tidak hanya mereka yang diserang namun yang menyerang, tidak hanya yang ditindas tetapi juga yang menindas.

Berbagai kasus tersebut justru berdampak bagi penderitaan rakyat. Namun tentunya dengan konflik horizontal antar sesama kita menjadi lupa untuk melawan musuh rakyat yang lebih besar, yakni ketidakadilan struktural yang menjadi amunisi ledakan konflik.

Ketidakadilan struktural ekonomi-politik hanya bisa dilawan dengan cara rakyat bersatu bukan terpecah belah. Jika teori Adam Smith benar, maka ada tangan yang tak tampak (invisible hand) yang justru mengambil keuntungan dari kondisi ini. Tangan tak tampak yang bersifat demonis. atau pula mungkin praktik devide et impera ala Belanda semakin disempurnakan justru sekarang ini.



       

Jumat, 07 Oktober 2016

Kelas Menengah


Kelas menengah seringkali menjadi bahan olok-olok di media sosial. Kelas menengah “ngehe” istilah yang sering dijumpai untuk menyebut mereka yang hidup sekadar bersaing dalam gaya. Kelas menengah yang tidak peduli akan permasalahan sosial ataupun sekadar reaktif kemudian berlalu begitu saja. Namun siapakah mereka kelas menengah?

Beragam definisi untuk memaknai kelas menengah, pendekatannya mulai dari ekonomi, psikologi, sosiologi, dll. Saya sendiri akan memaknai kelas menengah sebagai mereka yang lahir dari kampus. Kelas menengah ini memiliki kesadaran intelektual untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.

Pramodya Ananta Toer menyebutkan bahwa anak-anak yang memperoleh pendidikan di zamannya di sekolahkan oleh orangtua (biasanya golongan priyayi, pedagang ataupun para tuan tanah) yang memiliki harta lebih. Mereka ini disekolah untuk mendapatkan jabatan-jabatan di pemerintahan.

Namun, adapula mereka yang belajar kemudian mengorganisasi diri untuk memperjuangkan kemerdekaan di tengah konteks penjajahan zaman itu. Kelas menengah inilah yang menjadi motor kemerdekaan Indonesia. para pejuang kemerdekaan yang kita kenal adalah mereka yang terdidik dan mahir dalam berorganisasi. Mereka memiliki kesadaran intelektual untuk memperjuangkan Indonesia terbebas dari penjajahan.

Setelah lewat kemerdekaan, pergerakan kelas menengah tidak lantas hilang. Kesadaran intelektual anak-anak terdidik terbentuk untuk melawan ketimpangan kelas, kemiskinan, ketidakadilan sosial. Lawan mereka bukan lagi para penjajah asing yang menduduki tanah negeri.

Kelas menengah di Indonesia sendiri mempunyai dampak yang cukup besar bagi perubahan sosial. Yang nyata kemudian ketika soeharto diturunkan melalui perlawanan mahasiswa yang bergelora di penjuru negeri. Mereka mempertahankan idealismenya hingga rela terancam nyawa demi yang namanya perubahan.

Hingga akhirnya sekarangi, kelas menengah kemudian semakin adem ayem dan tidak terlalu tampak pergerakannya bagi perubahan di tengah masyarakat.
Apakah kepekaan sosial telah luntur di kalangan kelas menengah?

 Rejendra Singh membagi dua pergerakan sosial. Pergerakan sosial lama dan baru. pergerakan sosial lama seperti yang dilakukan oleh para intelektual terdahulu yang memiliki satu kepentingan. Mereka memiliki visi dan misi yang sama, misalnya dalam melawan penjajahan ataupun rezim pemerintahan yang buruk. Sedangkan gerakan sosial baru memiliki isu dan kepentingan yang berbeda. Mereka biasanya tergerak setelah mengetahui isu-isu yang menyebar di media sosial dan cenderung reaktif.

Media sosial saat ini sangat mempengaruhi pergerakan kelas menengah. media sosial biasanya mempengaruhi opini publik untuk melihat kenyataan sosial yang terjadi. Kelas menengah mudah melihat berbagai isu yang menjadi permasalahan di Indonesia, mulai dari kriminalitas, ketidakadilan, kemiskinan, dsb. Tampak nyata ketika kasus Mirna yang selalu diberitakan media maka yang menjadi perbincangan kelas menengah mengenai kasus tersebut. Begitu pula dengan isu-isu lainnya.

Perjuangan kelas menengah menjadi terpecah, tidak hanya itu, perjuangan hanya sebatas wacana. Perjuangan hanya sebatas hastag atau empati yang tertulis di status facebook dan twitter. Perjuangan semakin mengerucut ketika diajak berkumpul kemudian memperbincangkan masalah dan mengerucut lagi ketika diajak untuk melakukan pergerakan.

Di tengah hutan rimba isu yang di bentuk media sosial, pergerakan kelas menengah semakin kehilangan arah. Bahkan idealisme tidak jarang ditinggalkan ketika telah terjun ke dunia kerja. Kelas menengah yang menggelembung ini harus bersaing untuk mendapatkan pekerjaan, persaingannya dilakukan dengan cara apapun termasuk menyogok, seperti banyak kasus calon PNS yang dimintai uang agar dapat diterima kerja.

Kesadaran intelektual yang dimiliki para pendahulu semakin terkikis. Kesadaran kritis yang diawali dari realita sosial dan kegelisahannya mulai ditinggalkan. Kelas menengah “ngehe” pun muncul ke permukaan. Kelas menengah ini hanya sekadar kuliah, lulus, bekerja, menikah, punya rumah, mobil kemudian hidup bahagia.

Fungsi sosial seorang intelektual kelas menengah tidak lagi setajam dulu. Seorang intelektual seharusnya merasa resah melihat ketidakadilan, manipulasi politik, dsb. Atas dasar kemanusiaan sebagai nilai yang dijunjung tinggi maka rela berkorban untuk membebaskan dari-ikatan yang merusak di masyarakat. Seorang intelektual sewajibnya membumi dan mau menjalankan peran transformatif bagi perubahan sosial. Keberpihakan kepada yang lemah dan tertindas menjadi prinsip yang dipegang teguh. Tidak hanya reaktif namun relalah berkorban bagi kehidupan yang lebih baik.

  

  

Jumat, 22 Juli 2016

Iman?

Dalam metode penginjilan, ada yang dikenal dengan EE (Evangelization Explotion). Metode ini digunakan sebagian orang kristen untuk mengajarkan mengenai kekristenan kepada penganut agama lain. Tujuan penginjilan adalah melaksanakan amanat agung, memproklamasikan Injil hingga agar orang lain mengikuti iman kristen kemudian bergabung dengan gereja lokal seperti yang diajarkan oleh Peter Wagner, misiolog dari Amerika.

Saya telah menjejaki dan belajar di beberapa sekolah teologi yang berbasis Injili, metode inipun selalu saya temui dan diajarkan disekolah-sekolah teologi tersebut.

Pertanyaan awal yang menjadi kunci membuka jalur percakapan metode ini adalah: “jika anda meninggal, apakan anda yakin masuk surga?”. Jawaban dari pertanyaan ini tentunya diharapkan "tidak" agar dapat lanjut ke pertanyaan-pertanyaan seterusnya. Jika menjawab "ya", maka buntu sudah metode tersebut.

Metode ini berusaha meyakinkan pendengar bahwa hanya Yesuslah yang memberikan jalan keselamatan. Yesus memberikan secara cuma-cuma, bukan karena kebaikan atau perbuatan saleh manusia. Hanya melalui Yesus ada kepastian keselamatan.

Metode ini bermula dari rumusan DR. James Kennedy di USA pada tahun 1962, kemudian dianggap sukses dan menjamur hingga ke Asia termasuk Indonesia.

Harapan akan kehidupan setelah kematian tentunya menghantui semua eksistensi manusia. Surga dan nerakapun diajarkan di beberapa agama untuk menjawabnya. Jika kita hidup sesuai dengan tuntutan yang diajarkan agama maka kita masuk surga, namun jika tidak maka neraka menanti.

Keselamatan yang diperoleh secara cuma-cuma diajarkan dalam kekristenan yang didasari oleh ajaran tokoh reformator, Marthin Luther. Tidak dapat dipungkiri Luther adalah seorang penafsir Alkitab yang hebat, melalui ajarannya: sola fide, sola gracia dan sola scriptura (hanya oleh iman, anugrah dan Alkitab) telah mempengaruhi kekristenan.

Namun kepastian keselamatan melalui Yesus tentunya tidak hanya didapat melalui persetujuan akal. Iman juga adalah wujud dari tindakan dan komitmen untuk melakukan kebenaran.
Iman tidak hanya berbicara mengenai keyakinan, apalagi dengan rumusan-rumusan teoritis-sistematis dan verifikatif.

Iman (pistis) dalam Alkitab Perjanjian Baru berarti: kepercayaan, kesetiaan, keterlibatan dan komitmen. Dalam bahasa latin dikenal juga dengan kata credo yang berasal dari kata cor do.

Credo ut intellegam”, perkataan bapa gereja, Anselmus, yang sering diterjemahkan aku percaya maka aku mengerti. Cor do tersebut berarti aku berikan hatiku. Kata ini tidak menggambarkan persetujuan akal namun juga komitmen etis kepada Allah yang menuntun pada praksis nyata.

Di dalam Markus 10 menceritakan mengenai seorang muda dan kaya datang kepada Yesus. Ia bertanya mengenai perbuatan apa yang harus dilakukannya untuk memperoleh hidup yang kekal. Dituliskan bahwa pemuda tersebut telah melaksanakan hukum taurat, namun ada satu tuntutan Yesus yang sulit dilakukannya, yakni menjual hartanya kemudian berikanlah kepada orang-orang miskin. Tuntutan tersebut membuat pemuda tersebut pergi dengan kecewa.

Iman tidak hanya syarat bagi kehidupan setelah kematian, iman hadir bukan saja diiringi dengan motif keselamatan yang akan datang, iman itu nyata dalam keseharian.

Yesus di dalam Injil meminta para murid untuk berkomitmen terlibat dalam misinya. Keberpihakan dan juga solidaritas kepada mereka yang lemah, miskin dan tertindas merupakan nilai-nilai yang tak dapat dikesampingkan. Memberi makan mereka yang lapar, mengesampingkan kepentingan diri dan rasa berhak mereka, melawan sistem yang korup, hadir bersama mereka yang terpinggirkan merupakan praksis nyata yang Yesus lakukan.


Bahkan ada kisah yang sangat sering didengar, orang Samaria yang baik hati, dia (orang Samaria) yang justru diambil contoh oleh Yesus mengenai penegakkan praksis iman yang benar. Orang Samaria, diakui pada zamannya, merupakan orang-orang yang memiliki kepercayaan yang salah. Namun, Yesus tidak mengambil contoh melalui mereka pemeluk kepercayaan yang “benar”.

Pemberitaan Injil yang didasari motif surga dan neraka sebaiknya juga didasari atas keperihatinan yang nyata saat ini. Selain motif surga dan neraka sebaiknya orang kristen juga ingat, ada teman-teman papua baru-baru ini didiskriminasikan, kekayaan alam papua tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat disana, kebijakan-kebijakan pemerintah yang seringkali merugikan rakyat, perampasan tanah, kesenjangan sosial yang menjadi-jadi, dan permasalahan sosial lainnya.

jika kekristenan yang mengaku beriman namun melupakan terhadap masalah-masalah yang nyata di keseharian, maka perlu dipertanyakan, iman yang mana?

Kamis, 14 Juli 2016

Donald Trump dan Kaum Injili


Pemilihan umum presiden Amerika telah menjadi berita mendunia. Pesta politik tersebut seakan tidak hanya dialami orang amerika namun juga sampai di Indonesia. Berita di telivisi Indonesiapun tidak lepas dari informasi terbaru mengenai pemilihan tersebut.

Yang menarik adalah seorang calon presiden dari partai republik yang terkenal eksentrik. Donald Trump, seorang konglomerat yang menjadi kandidat memimpin Amerika.

Menurut survey dari situs barna.org, donald trump mendapat dukungan lebih banyak oleh kaum Injili di Amerika dibandingkan kaum lainnya. Dibandingkan Clinton, Donald Trump lebih menguntungkan bagi sebagian kaum Injili.

A definition of these faith segments is at the bottom of this post.
Sebenarnya Donald Trump bukanlah calon yang sesuai dengan kriteria moral Injili. Trump telah menikah tiga kali, pengusaha industri perjudian, pemilik klub striptis dan sederetan panjang dosa-dosa Trump.

Franklin Graham, anak dari tokoh Injili Dunia, Billy Graham, mengatakan di situs Christianpost.com bahwa tidak ada orang yang sempurna di dunia. Pemimpin hebat di dalam Alkitabpun memiliki kekurangan kecuali Yesus. Diantara dua pilihan presiden Amerika yang sekarangpun Franklin Graham menyatakan Donald Trump alternative yang lebih baik.

Selain dari Franklin Graham adapula Robert Jeffress, seorang gembala yang memiliki 12.000 jemaat menjadi pendukung Donald Trump. Tidak seperti Franklin Graham, Robert jeffress mengibaratkankan rakyat diantara dua pilihan, terang dan gelap, baik dan buruk, benar dan tidak benar. Kaum Injilipun dihimbau untuk memilih sesuai dengan kriteria pertama yang dimiliki oleh Donald Trump.

Salah satu kebijakan yang rencananya akan dijalankan Trump di dalam situs bbc.com adalah melarang orang Muslim untuk masuk ke Amerika. Islam menurut Trump menjadi pemicu kebencian terhadap Amerika. Sampai masalah ini tidak diselesaikan maka umat Islam dilarang masuk ke Amerika karena bisa mengakibatkan teror dan berbagai kekerasan.
Islamophobia dan xenophobia yang tercermin dari sikap Trump ini sebenarnya mencerminkan ketakutan orang-orang Amerika lainnya. Pasca serangan oleh kelompok ekstrimis di klub gay California semakin mengukuhkan posisi Trump.

Saya kemudian mencoba mencari alasan kaum Injili tersebut medukung calon Presiden dari partai republik ini. Menurut salah satu situs Kristen Injili populer di Amerika, Christianity Today, beberapa alasan kaum Injili memilih calon tersebut karena perang budaya yang selama ini dimenangkan oleh kaum liberal ingin diambil alih oleh kaum Injili, selain daripada itu, berbeda dengan partai demokrat yang mendukung multietnis dan lintas agama begitu pula kebijakan luar negerinya yang dianggap lembek, Donald Trump justru menutup pintu bagi pengungsi ke Amerika.

Ketakutan itu tidak hanya mengenai ancaman teror, namun juga mengenai persaingan kuantitas umat. Jika presentase Amerika saat ini adalah sekian persen beragama kristen maka bagaimana perkembangan atau kemerosotannya pada tahun-tahun berikutnya? Jika pengungsi Muslim mulai berdatangan ke Amerika, maka apa dampaknya pada prensentase umat kristen disana? Bagaimana budaya kristen akan berpengaruh dengan situasi ini?

Tidak semua memang kaum Injili mendukung pilihan ini, ada juga yang mengecamnya. Donald Trump dianggap tidak mencerminkan pemimpin kristen. Kekristenan seharusnya terbuka untuk menolong orang dengan latar belakang agama ataupun etnis apapun, layaknya orang Samaria baik hati dalam perumpamaan Yesus.

Injili konservatif dapat mentolerir berbagai pelanggaran moral maupun kebijakan yang bertentangan dengan prinsip moral Injili. Misalnya saja dukungan Trump terhadap LGBT dan juga  kebebasan aborsi yang dulunya dengan usaha sekuat tenaga digagalkan kaum konservatif ini. Tetapi tidak dapat mentolerir mengenai ras dan agama lain yang masuk di Amerika.

Mengenai agama, memang Injili konservatif garis keras menganggap sangat penting karena berkaitan dengan masalah nanti di kekekalan. Jika salah pilih potongan rambut penyesalan hanya 1 bulan, salah pilih pasangan hidup palingan seumur hidup tetapi salah pilih iman maka berdampak kekal. Seperti yang ditulis di status facebook.
Iman kepercayaan terlepas dengan praktek hidup yang menjunjung keadilan dan juga kepedulian terhadap sesama.

Ajaran yang lebih mengutamakan mengenai kekalan namun mengabaikan masalah kemanusiaan dan juga keadilan terhadap sesama mungkin inilah yang dikategorikan Karen Armstrong, penulis Sejarah Tuhan, sebagai kaum fundamentalisme.

Ketidakadilan dapat saja ditunggangi oleh kaum fundamentalisme ini demi kepentingan kekekalan. Aksi pemboman yang mengorbankan nyawa demi agama tidak jauh berbeda dengan kaum fundamentalisme di Amerika ini. Bedanya pelaku melakukan melalui kebijakan-kebijakan struktural yang tidak pro terhadap kemanusiaan.

Kamis, 07 Juli 2016

Pelayanan

Dalam kekristenan, para pendeta, penginjil, guru Injil, dsb biasanya pekerjaannya disebut sebagai pelayanan. Disebut pelayanan karena mereka ditugaskan bukanlah sebagai tuan tetapi hamba. Allah adalah pemilik, sehingga sering juga disebut hamba Tuhan.

Status hamba yang tidak memiliki hak apapun bahkan atas nyawanya sendiri mengakibatkan pelayanan yang dikerjakan butuh pengorbanan. Pengorbanan waktu, tenaga bahkan dana tidak terabaikan.

Dalam sejarah menceritakan banyak pula orang-orang secara militan melakukan tugas pelayanan. Tugas pelayanan melalui penginjilan dan aksi sosial tidak jarang mengorbankan nyawa para pelayan.

Pengorbanan adalah nilai yang dijunjung tinggi sebagai dalam pelayanan. Atas dasar pelayananpun organisasi gereja rela mengupah rendah. Tidak jarang keluar keluhan dari mulut para hamba Tuhan mengenai pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari-hari. Namun apa daya, ya itulah pengorbanan, bagian dari pelayanan.

Pengorbanan tersebut adalah tindakan yang mulia, tidak semua orang dapat betah hidup pas-pasan hingga berkekurangan. Jarang ada orang yang menyingkirkan egonya bagi kepentingan yang dianggap lebih tinggi, apapun itu.

Namun di satu sisi adapula orang yang menggantungkan hidupnya melalui pelayanan justru berkelimpahan harta. Tanpa perlu lagi memikirkan apa yang akan dimakan esok hari, tanpa memusingkan uang sekolah anak, tanpa diganggu oleh kecemasan hidup di masa depan.

Yesus telah mengajarkan bahwa selain ego diri sendiri terkadang ada nilai lain yang lebih utama. Yesus pernah memerintahkan orang kaya untuk menjual seluruh harta miliknya dan diberikan kepada orang miskin. Yesus memerintahkan muridNya untuk mengikutiNya kemudian hidup layaknya kelas bawah. Yesus sendiri hidupnya dikorbankan melalui salib bagi nilai kerajaan Allah.

Kerelaan melalui pengorbanan adalah tuntutan bagi para pengikut Yesus. Pengorbanan adalah wujud solidaritas bagi sesama yang menderita. Allah bersolidaritas tidak hanya sekadar rasa namun ia mengosongkan dirinya kemudian menjadi manusia. tidak hanya menjadi manusia, ia pula hidup bersama orang-orang yang menderita secara spiritual dan sosial.

Yesus menentang penderitaan yang diakibatkan oleh dosa individu maupun sosial. Penderitaan tidak hanya sebatas masalah spiritual namun juga masalah hidup keseharian. Allah memperhatikan apa yang kita makan, minum dan yang di kenakan.

Di dalam pelayananpun demikian, memang masalah kehidupan bukan yang utama tetapi hal itu tidak serta merta diabaikan. Jika alasan pelayanan kemudian organisasi mengabaikan kebutuhan hidup para pelayan justru akan terjerumus dalam eksploitasi.

Eksploitasi merupakan suatu pengisapan usaha seseorang atau kelompok bagi kepentingan orang atau kelompok lainnya. Atas nama pelayanan istilah ini sepertinya tidak layak dikenakan, namun jika kesenjangan sosial nyata di antara para pelayan, terutama satu organisasi, maka perlu dipertanyakan. Semoga tidak ada.

Selasa, 05 Juli 2016

Dialog antar agama



Di tengah konteks pluralitas agama di Indonesia tidak jarang terjadi konflik antar agama. Penutupan rumah ibadah, pembakaran masjid dan gereja, pengusiran orang yang memiliki kepercayaan lain adalah contoh akibat dari konflik tersebut.
 

Usaha-usaha dilakukanpun muncul untuk menghindari, meminimalisir hingga menghilangkan konflik. Salah satu yang dilakukan melalui dialog antar agama.
 

Istilah dialog antar agama ini sempat menjadi istilah yang “haram” bagi sebagian aliran kristen. Dialog dianggap telah mengorbankan keunikan ajaran kristen disebabkan tokoh dialog antar agama yang terkenal dari golongan pluralis.
 

Dialog identik dengan pencarian kebenaran yang dapat ditemukan dalam masing-masing agama. Setiap agama memiliki kebenaran dan jalan keselamatannya masing-masing. Yesus adalah jalan kebenaran bagi umat kristen, taurat bagi umat Yahudi dan Al-Quran bagi umat Islam, bersama saling mencerahkan dan merefleksikan hingga berjalan lebih jauh menuntun pada keadilan.
 

Dialog dihindarkan tetapi mau tidak mau ditengah konteks keberagaman agama dialog harus diperhadapkan. Tidak lagi berjalan sendiri (ignorant), eksklusif ataupun apologetis dalam beragama yang tidak menyelesaikan persoalan konflik.
Dialog namun tetap menjunjung keunikan ajaran kristenpun dibentuk. 


Dialog tersebut tidak lagi mencari persamaan teologis namun persamaan dalam kehidupan bermasyarakat. berdialog namun tetap berpegang pada inti Injil yakni Finalitas Yesus.
 

Dialog antar agama yang demikianpun membuka jalan bagi pemeluk agama lain untuk mengenal Yesus dan dialogpun dapat menjadi sarana bagi penginjilan.
 

Tentunya dengan asumsi tidak akan terjadi kedamaian antar sesama sebelum berdamai dengan Allah. Konflik yang terjadiberakar pada rusaknya hubungan manusia dengan Allah. Perdamaian antar sesama sejatinya juga terlebih dahulu berdamai dengan Allah. Penginjilanpun hadir dalam motif dialog antar agama.
 

Mengenai penginjilan sebenarnya tidak masalah, asalkan jangan menjadi kepentingan terselebung. Motif tersebut harus siap ditelanjangi agar terjalin dialog yang baik (sejalan dengan prinsip kejelasan, kebenaran dan kejujuran), namun juga harus menerima motif yang sama dari penganut agama lain.
 

Mengenai hal ini tentunya dialog tidak terlepas dari pembahasan teologis. Jika motif-motif tersebut disembunyikan justru akan menjadi menimbulkan permasalahan yang baru. seperti bom waktu, konflikpun lama-kelamaan akan meledak.

Di tengah keberagaman dialog seharusnya menjadikan setiap kelompok agama terbiasa dengan perbedaan. Perbedaan mungkin mengakibatkan ketidaknyamanan, tetapi perbedaan tersebut tidak boleh dihapus atau disembunyikan.

Hidup dalam toleransi di tengah perbedaan harus diwujudkan. Tidak perlu menyamakan apa yang telah berbeda ataupun menyembunyikannya. Hiduplah dalam keberagaman dengan rasa kebersamaan.




   
 

Transformasi individu atau transformasi sosial?


 



Di zaman dimana manusia meninggikan uang di atas segalanya teuntunya kemanusiaanpun terabaikan. Manusia hanya menjadi makhluk ekonomi dan bisa disamakan dengan binatang. Keserakahan manusia akan uang seakan telah menjadi natur yang tak bisa disangkali apalagi disokong dengan sistem dunia yang meninggikan hak-hak pribadi.
 

Dengan sistem globalisasi saat ini justru sulit kita menemukan solusi atas masalah-masalah sosial di dunia sekarang. Kesenjangan sosial justru semakin nyata. Tidak jarang di media sosial ditampilkan orang kelaparan di belahan bumi lain tetapi ada orang yang berlimpah kekayaan di belahan bumi lainnya.
 

Apakah globalisasi adalah biang keladi masalah-masalah sosial ini? Bisa jadi dan banyak para ahli berpendapat demikian.
Tetapi di satu sisi globalisasi dapat menjadi kendaraan penginjilan. “Globalisasi bukanlah ancaman tetapi kesempatan”, katanya.
 

Globalisasi dapat membuka jalan bagi transformasi individu-individu yang belum mengenal Allah. Melalui transformasi individu dapat meredam keganasan globalisasi. Transformasi sosial dapat terjadi jika didahului oleh transformasi individu.
 

Apakah memang transformasi individu-individu itu begitu hebatnya sehingga dapat meredam keganasan globalisasi?
 

Manusia sekalipun telah percaya Yesus dan percaya akan penebusan dosa yang dikerjakan Yesus tetapi dia tetap adalah pendosa. Tidak mungkin ada manusia yang dapat betul-betul suci ketika ada di dunia selain Yesus. “Simul justus et peccator”, kata tokoh reformasi kristen, Marthin Luther. Di saat yang sama kita dibenarkan, kita juga pendosa.
 

Dalam kisah umat Israel dalam Perjanjian Lamapun terlihat bagaimana perjuangan umat Allah untuk hidup sesuai dengan tuntutan Taurat. Kehidupan sosial yang Allah inginkan tidak tercermin dalam kehidupan umat pilihan Allah. Allah telah menetapkan aturan kehidupan tetapi sering diabaikan oleh umatNya.
 

Transformasi individu belum tentu dapat serta merta sejalan dengan transformasi sosial. Penginjilan yang dilakukan bukanlah satu-satunya solusi ketidakbiadaban globalisasi. Justru tanpa kepedulian sosial, penginjilan hanyalah tindakan proselitisasi.
 

Selain dari individu-individu yang di transformasi perlu juga transformasi sosial secara struktural. Struktur ekonomi politik di masyarakat seharus juga mempertimbangkan akan keadilan dan kesetaraan bagi seluruh umat manusia.
 

Bukankah perombakan struktur ekonomi politik akan mengkondisikan kehidupan individu-individu di masyarakat? Namun dengan demikian globalisasi bukanlah lagi kesempatan tetapi ancaman.
 

Perubahan struktural ini diperlukan pula usaha dari individu-individu tetapi bedanya usaha ini terbebas dari apapun latar belakang kepercayaannya asalkan ia mempunyai cita-cita yang sama yakni mewujudkan masyarakat adil.
 

Allah melaksanakan misinya di dunia tentunya tidak hanya sebatas melalui gereja tetapi juga dapat melalui seluruh umat manusia. Allah dalam Perjanjian Lama telah menceritakan bangsa yang dikategorikan kafir justru menjadi alat Allah untuk melaksanakan misiNya di tengah dunia.
 

Memang keadilan dan kesetaraan itu hanyalah harapan semu, gombalisasi, katanya, tetapi apakah dengan demikian kita membiarkan ketidakadilan merajai? Memang keadilan dan kesetaraan itu hanya ada di pemerintahan Allah yang akan datang tetapi Allah pun menuntut kita untuk memperjuang nilai-nilai kerajaan Allah tersebut di masa kini.
Diberdayakan oleh Blogger.

Featured Post Via Labels

Instagram Photo Gallery